Selasa, 01 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 022

Kwee Ceng mengucap terima kasih sambil berlutut dan mengangguk, habis itu baru ia mengundurkan diri.

Tin Ok menghela napas pula perlahan. Ia sangsi apa Kwee Ceng dapat wariskan kepandaiannya itu dengan sempurna.

Semenjak itu, semakin rajin guru ini mengajari muridnya. Adalah kehendak mereka agar si murid maju cepat. Mereka khawatir kalah berlomba dengan Khu Cie Kee menampak kemajuannya In Cie Peng itu. Akan tetapi sulit bagi mereka untuk mewujudkan kehendak itu. Sekalipun seorang yang berotak cemerlang sulit untuk dibikin maju dalam tempo yang pendek, apa pula Kwee Ceng yang bebal, yang lambat kesadarannya, malah makin didesak, ia membuatnya semakin banyak kesalahan.

Pagi itu Siauw Eng ajari Kwee Ceng ilmu pedang Wat Lie Kiam dijurus keempat yang bernama “Di cabang pohon menyerang lutung putih”. Untuk itu perlu orang berlompat tinggi dan jumpalitan. Murid ini mencoba berlompat, selama tujuh atau delapan kali, ia selalu gagal, percuma gurunya ajari mesti begini mesti begitu. Siauw Eng menjadi sangat berduka, hingga ia berlinang air mata, dengan lemparkan pedangnya, ia tinggalkan muridnya.

Kwee Ceng terperanjat, ia menyusul, memanggil¬-manggil, tapi gurunya berjalan terus. Ia menjadi masgul sekali, hingga ia berdiri menjublak. Ia tahu semua gurunya ingin ia maju, maka itu, ia mejadi sangat menyesal. ia menjadi gelisah menampak guru¬-gurunya mulai perlihatkan roman tidak puas. ia masih berdiam tatkala dari belakang, ia dengar teriakannya putri Gochin: “Engko Ceng, mari lekas, mari lekas!”

Kapan ini bocah menoleh, ia tampak putri itu yang duduk di atas seekor kuda, mengasih lihat roman cemas berbareng gembira. “Ada apa?” ia tanya.

“Mari lekas lihat!” sahut putri Temuchin itu. “Banyak burung rajawali lagi bertarung!”

“Aku lagi berlatih,” Kwee Ceng beritahu.

Putri itu tertawa. “Apakah kau tidak dapat melatih dengan baik dan kembali dimarahin gurumu?” dia tanya.

Kwee Ceng jujur, ia mengangguk.

Putri itu masih tertawa. “Hebat pertarungan itu!” ia kata pula mendesak. “Mari lekas lihat!”.

“Aku tidak mau,” sahut Kwee Ceng. Ia ingat perlakuannya Siauw Eng barusan, ia berduka sekali, lenyap kegembiraannya.

Akhirnya si putri menjadi tidak sabaran. “Aku sendiri sampai tidak melihat, karena aku datang untuk mengajak kau!” katanya. “Kalau tetap kau tidak hendak pergi melihat, selanjutnya kau jangan pedulikan aku lagi!”

“Pergi kau kembali dan melihatnya sendiri,” Kwee Ceng bilang. “Bukankah sama kalau kau menceritakannya kepadaku?”

Gochin lompat turun dari kudanya. “Sudahlah, kau tidak mau pergi, aku juga tidak mau pergi…” bilangnya sambil cemberut. “Aku tidak tahu, rajawali yang hitam yang menang atau yang putih…”

“Apakah itu sepasang rajawali putih yang besar yang berkelahi?” Kwee Ceng tanya.

“Benar! Kawanan si hitam banyak tapi si putih lihay, sudah enam atau tujuh ekor si hitam yang mampus…”

Mendengar itu, hati Kwee Ceng tertarik juga. “Mari!” katanya, dan ia tarik tangan si tuan putri, buat diajak naik bersama ke atas kudanya, guna kabur ke kaki lembah di mana terlihat belasan ekor rajawali hitam tengah mengurung dan menyerang rajawali putih, hingga sayap mereka pada rontok berhamburan.

Rajawali putih lebih besar dan patuknya terlebih kuat, hebat setiap patukan dan cengkeramannya. Demikian seekor musuhnya yang terlambat berkelit, kena disambarnya, lalu bangkainya jatuh di depan Gochin.

Sebentar saja sudah banyak penduduk yang datang melihat pertempuran rajawali itu, malah Temuchin yang mendengar kabar itu juga turut muncul. Ia datang dengan mengajak Ogotai dan Tuli.

Sering Kwee Ceng, Gochin dan Tuli main-main bersama di lembah itu, hampir setiap hari tampak sepasang burung rajawali putih itu, terhadap burung itu mereka mendapat kesan yang baik, maka itu tidak heran kalau sekarang mereka mengharap kemenangan si putih hingga mereka berteriak-¬teriak memberi semangat si putih. Kata mereka itu saling ganti: “Hayo putih, patuk padanya! Awas di kiri, ada musuh, lekas berbalik! Bagus! Bagus! Kejar padanya! Kejar!”

Lagi dua ekor rajawali hitam jatuh mati, tetapi sepasang rajawali putih juga telah mendapat luka, bulunya yang putih ternoda darahnya yang merah.

Seekor rajawali hitam yang tubuhnya lebih besar daripada yang lainnya, lantas berbunyi berulang-ulang, lalu kira-kira sepuluh kawannya terbang pergi, tinggal lagi tiga, yang masih bertempur dengan seru. Menampak itu, semua penonton bersorak-sorai. Habis itu, tiga ekor si hitam lantas kabur, satu si putih mengejar.

Habis pertarungan itu, orang banyak hendak bubaran, justru itu, di udara terdengar riuh suara burung tadi, lalu tertampak belasan si hitam terbang kembali, ke jurang, menerjang si putih yang lagi berdiri sambil merapikan bulunya.

“Bagus!” berseru Temuchin, yang menyaksikan siasat perang si hitam.

Hebat si putih, dia melawan sebisanya, dia matikan satu musuhnya, tetapi akhirnya ia jatuh karena luka-¬lukanya. Sudah begitu, kira-kira sepuluh ekor musuhnya itu masih menyerbu terus.

Kwee Ceng bertiga, Tuli dan Gochin menjadi kaget dan cemas, malah Gochin lantas menangis. “Ayah, lekas panah!” ia teriaki ayahnya.

Temuchin sebaliknya berkata kepada Ogotai dan Tuli: “Si rajawali hitam menang perang, mereka itu menggunakan siasat, maka ingatlah kamu!”

Dua putra itu mengangguk

Habis membunuh si putih, kawanan si hitam terbang ke arah sebelah liang di atas jurang, dari liang itu tampak munculnya dua kepala anak rajawali putih yang mencoba membuat perlawanan.

“Ayah, masih kau tidak mau memanah?” tanya Gochin sambil menangis.




Temuchin tertawa, segera ia siapkan panahnya, terus ia menarik, lalu anak panahnya nancap di badannya seekor rajawali hitam itu, yang rubuh terbinasa dengan segera.

Riuh tempik sorak memuji Khan yang besar itu.

“Coba kau memanah!” kata Temuchin seraya menyerahkan panahnya kepada Ogotai.

Putra itu menurut, ia memanah, ia merubuhkan seekor rajawali hitam itu.

Tuli pun mencoba, dan ia juga berhasil merubuhkan seekor. Setelah itu, semua sisa burung rajawali hitam itu terbang kabur.

Panglima-panglima Temuchin lantas turut memanah, tetapi burung-burung hitam itu sudah terbang tinggi, sulit untuk mengenai mereka. Pun burung itu dapat menyampok anak panah.

“Siapa yang dapat memanah burung itu, ia akan mendapat hadiah!” Temuchin berseru.

Jebe si Jago Panah berdiri di samping Temuchin, ia berniat pertontonkan ilmu panahnya Kwee Ceng, ia turunkan panahnya, ia dekati Kwee Ceng untuk menyerahkan panahnya itu. “Kau berlutut! Kau panah lehernya burung itu!” ia menyuruh dengan suara perlahan.

Kwee Ceng ambil panah itu, ia tekuk sebelah kakinya, dengan tangan kiri memegang busur dan tangan kanan mencekal anak panah berikut talinya, ia lantas menarik hingga busur itu, atau tangannya menjadi melengkung. Busur itu beratnya dua ratus kati tapi ia dapat menariknya, karena setelah sepuluh tahun berguru kepada Kanglam Liok Koay, tenaganya menjadi besar sekali.

Dua ekor burung rajawali hitam terbang berendeng, datangnya dari arah kiri. Tidak tempo lagi, Kwee Ceng menarik tangan kanannya, menarik habis hingga busur itu melengkung sepenuhnya, sembari menarik, ia mengincar.

“Ser!” demikian anak panah menyambar, dan seekor rajawali rubuh, sia-sia ia mencoba berkelit. Tepat ia terpanah batang lehernya. Tapi anak panah itu tembus, terus menyambar perutnya rajawali yang kedua, yang jadi rubuh bersama di sampingnya si tukang panah.

Menampak itu, orang banyak bersorak dengan pujiannya. Itulah yang dibilang, sekali memanah dua ekor burung. Dan karena ini, sisa burung yang lainnya terbang kabur, tidak lagi berputaran di atas jurang.

“Serahkan burung itu kepada ayahku!” Gochin berbisik di kupingnya Kwee Ceng.

Si anak muda menurut, ia memungut dua bangkai burung itu, ia lari kepada Temuchin, tekuk sebuah lututnya, kedua tangannya diangkat tinggi, untuk persembahkan burung itu.

Seumurnya Temuchin paling menyukai panglima yang gagah perkasa dan orang kosen, sekarang ia saksikan Kwee Ceng serta sikapnya itu, ia menjadi girang sekali.

Harus diketahui, untuk di utara ini, burung rajawali besar luar biasa, kalau sepasang sayapnya direntangkan, lebar panjangnya sampai setombak lebih, bulu sayapnya pun kuat bagaikan besi, kapan ia menyambar ke bawah, dapat cekuk seekor kuda kecil atau kambing besar, malah adakalanya harimau atau macan tutul pun mesti lari dari burung ini.

Sekarang bocah ini bisa memanah sekaligus dua ekor, hebat!

Temuchin suruh pengiringnya ambil burung itu. “Anak yang baik, kau hebat!” katanya pada si bocah.

“Guruku yang mengajari,“ sahut Kwee Ceng yang tidak hendak mensia-siakan Jebe, gurunya.

Temuchin tertawa pula. “Gurunya Jebe, muridnya juga Jebe!” pujinya. Di dalam bahasa Mongol, “Jebe” itu berarti “ahli panah yang lihay atau dewa panah”

Tuli hendak bantu adik angkatnya itu, ia kata kepada ayahnya, “Ayah tadi bilang, siapa yang berhasil memanah, dia bakal dihadiahkan sesuatu, sekarang saudaraku ini memanah sekaligus dua ekor, ayah hendak menghadiahkan dia apa?”

“Apa pun boleh!” sahut ayahnya itu, yang terus tanya Kwee Ceng, “Kau menghendaki apa?”

Tuli girang sekali. “Benarkah barang apa pun boleh?” ia tegaskan ayahnya.

“Apakah aku dapat mendustai anak-anak?” ayahnya itu tertawa.

Semua orang mengawasi Kwee Ceng, sebab heran mereka atas sikapnya Khan mereka itu. Ingin mereka mengetahui apa yang si bocah bakal minta.

“Khan yang agung telah perlakukan aku begini baik, ibuku pun telah punya segalanya, karena itu tidak usahlah aku diberikan apa-apa lagi,” berkata Kwee Ceng dengan jawabannya.

Temuchin tertawa lebar. “Kau anak yang berbakti, dalam segala hal kau lebih dulu ingat ibumu!” katanya. “Kau sendiri, apakah yang kau kehendaki? Kau sebutkan saja, jangan takut!”

Kwee Ceng perdengarkan suara perlahan, dengan kedua kakinya ia berlutut di depan kudanya khan yang besar itu. Ia berkata: “Aku sendiri tidak menghendaki apa-apa, aku hendak mewakilkan seseorang mohon suatu hal…”

“Apakah itu?” tanya Temuchin.

“Tusaga, cucunya Wang Khan itu busuk dan jahat,” ia berkata. “Kalau Putri Gochin dinikahkan dengannya, dibelakang hari mestinya tuan putri menderita, maka itu aku mohon dengan sangat supaya janganlah tuan putri dijodohkan dengan dia itu” sambungnya kemudian.

Melengak Temuchin mendengar permintaan itu, lalu akhirnya tertawa terbahak.

“Sungguh ucapan kanak-kanak!” katanya. “Mana dapat. Baiklah, hendak aku menghadiahkan kau serupa mustika!” Ia loloskan golok pendek di pinggangnya, ia sodorkan itu pada si bocah.

Semua panglima menjadi kagum dan memuji, agaknya mereka sangat ketarik hati. Golok pendek itu adalah goloknya khan mereka sendiri, golok mustika yang pernah dipakai membinasakan banyak musuh. Coba khan itu tidak terlanjur melepas kata, tidak mungkin serahkan goloknya.

Kwee Ceng menghaturkan terima kasih, ia sambuti golok itu, yang sarungnya terbuat dari emas dan gagang golok berukir emas berkepala harimau, ditabur sepotong batu kumala hitam, dimana ada terukir pula kata-kata: “Golok pribadi Khan Temuchin”. Di sebelah itu masih ada ukiran dua baris kata-kata, bunyinya: “Membunuh musuh dan memusnahkan musuh bagai menyembelih harimau dan kambing”.

Temuchin berkata, “Musuh-musuhku tak usahlah aku sendiri yang membunuhnya, kau anak kecil, kaulah yang mewakilkan aku membunuh mereka!”

Belum lagi Kwee Ceng sahuti si khan, mendadak Gochin menangis, terus ia lompat naik ke atas kudanya lantas kasih kabur!

Temuchin keras bagaikan berhati besi akan tetapi menyaksikan putrinya yang paling ia sayangi itu begitu bersusah hati, hatinya menjadi lemah, maka ia menghela napas. Terus ia putar kudanya, untuk pulang ke kemahnya.

Semua panglima dan pangeran mengikuti dari jauh¬jauh.

Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, ia hunus golok pendek itu dan melihat sinarnya yang tajam, yang seperti mendatangkan hawa dingin adem. Pada golok itu berpeta tanda darah, yang menyatakan entah berapa banyak korban yang telah dimakan. habis membuat main itu golok, ia masuki ke dalam sarungnya. Kemudian ia cabut pedangnya sendiri, untuk melatih Wat Lie Kiam-hoat. Ia masih tidak berhasil menyempurnakan jurus “Di cabang pohon menyerang lutung putih”. Kalau ia tidak melompat terlalu rendah ia tentu tak keburu menggerakkan pedangnya. Ia menahan sabar, ia mencoba pula, ia malah makin gagal, hingga ia bermandikan keringat. Tengah berlatih, ia dengar suara berkelengannya kuda, tampak Gochin lari mendatangi dengan kudanya.

Putri itu tiba terus lompat turun dari kudanya, terus rebahkan diri di atas rumput, sebelah tangannya dipakai untuk menunjang kepalanya. Ia tidak ganggu Kwee Ceng, yang lagi berlatih, hanya ia menonton. Hanya ketika ia saksikan kawan itu sangat mengeluarkan tenaga, ia berkata: “Sudah, engko Ceng, jangan berlatih terus, mari beristirahat!”

“Kau jangan ganggu aku, aku tidak punya waktu untuk temani kau berbicara,” kata Kwee Ceng.

Gochin berdiam, lalu tertawa mengawasi kawannya. Ia menanti sekian lama, lalu mengeluarkan sapu tangannya, yang kedua ujungnya ia gumpal masing-masing, lalu timpuki itu kepada si anak muda. “Kau susutlah peluhmu!” katanya.

Kwee Ceng bersuara perlahan, agaknya ia terkejut, tetapi ia antap sapu tangan jatuh di sampingnya, ia sendiri terus berlatih.

Gochin terus mengawasi, sampai satu kali ia angkat kepalanya, ia dengar suara berisik dari kedua anak burung rajawali putih di atas tebing, menyusul mana segera terdengar suara yang keras tetapi agak hebat dari si rajawali putih besar yang terbang datang. Dialah burung tadi, yang mengejar kawanan burung hitam itu, yang rupanya baru kembali. Dia rupanya bermata tajam, ia sudah lantas ketahui pasangannya mati. Ia lantas terbang berputaran, suaranya sedih.

Kwee Ceng berhenti berlatih, ia mengawasi burung itu.

“Engko Ceng, lihat bagaimana harus dikasihani burung itu…” berkata Gochin.

“Pasti ia sangat berduka,” sahut si engko Ceng itu.

Sekali lagi burung besar itu perdengarkan suara nyaring, terus ia terbang ke atas seperti memasuki mega.

“Mau apa ia terbang ke atas?” tanya tuan putri itu.

Belum berhenti suaranya Gochin, burung itu sudah terbang turun pula, sangat cepat, tujuannya ke jurang, atau tahu-tahu ia telah serbu batu gunung yang besar, maka di detik lain, ia sudah roboh tidak bernyawa lagi!

Kwee Ceng dan Gochin terkejut sekali. Mereka menjerit dan sama-sama mencelat. Untuk sejenak itu, keduanya terdiam.

“Sungguh harus dihormati! Sungguh harus dihormati!” tiba-tiba mereka dengar satu suara nyaring di belakang mereka, hingga mereka menjadi heran, lekas-lekas keduanya berpaling. Mereka melihat tosu atau imam, yang berkumis abu-abu tetapi mukanya merah dadu, yang tangannya mencekal hudtim atau kebutan pertapa, yang aneh dandanannya, sebab ia telah membuat tiga konde kecil di atas kepalanya, beroman sebagai huruf “pin”, sedang jubahnya bersih sekali, tidak ada abunya sedikit juga, tidak biasanya untuk orang yang berada di gurun pasir. Dan ia pun berbicara dalam bahasa Tionghoa.

Gochin tidak mengerti bahasa itu. Ia pun sudah lantas menoleh pula, memandang ke atas tebing, dan segera ia berkata: “Bagaimana dengan kedua anak burung itu? Bapak dan ibunya telah mati…”

Sarang di liang atas tebing itu sukar dipanjat orang, kedua burung itu masih kecil, belum bisa terbang, cara bagaimana mereka bisa mencari makan? Bukankah mereka itu bakal mati kelaparan….?

Kwee Ceng menjublak sekian lama, baru ia buka suara. “Kecuali orang bersayap dan dapat terbang naik ke atas sana, baru anak-anak burung itu dapat di tolong…” katanya. Ia pegang pula pedangnya dan mulai lagi dengan latihannya. Ia masih saja tidak berhasil melatih jurus keempat yang baru diajari gurunya.

Tiba-tiba terdengar suara dingin di belakangnya, “Dengan belajar secara demikian, seratus tahun lagi juga tidak bakal berhasil!”

Kwee Ceng berhenti bersilat, ia menoleh. Ia awasi imam berkonde tiga itu. Ia menjadi tidak senang. “Apa katamu?” ia tanya.

Si imam tersenyum, ia tidak menyahuti, hanya mendadak ia maju mendekati, lalu Kwee Ceng merasai bahunya kaku, lalu dengan satu kelebatan, pedangnya telah pindah tangan kepada si imam itu.

Pernah Kwee Ceng diajari gurunya yang kedua, Cu Cong, ilmu dengan tangan kosong merampas senjata musuh, akan tetapi ia belum dapat menyakinkan itu dengan sempurnya, belum ia menginsyafi gayanya, maka itu, kagum ia untuk lihaynya ini imam, gerakannya tidak kelihatan. Mana bisa ia membela diri atau berkelit? Berbareng dengan itu, ia berkhawatir untuk Gochin. Maka segera ia melompat ke depan tuan putri itu, ia hunus golok hadiahnya Temuchin, untuk bersiap melindungi putri ini.

“Lihat biar tegas!” bersuara si imam itu, yang tidak pedulikan sikapnya, hanya ia mencelat ke atas, hingga tahu-tahu ia sudah jalankan jurus yang Kwee Ceng tak sanggup pelajari itu, sedang turunnya si imam adalah sangat cepat tetapi tenang. Bocah ini berdiri melengak, mulutnya terbuka lebar.

Si imam lempar pedangnya ke tanah, ia tertawa.

“Burung rajawali putih itu harus dihormati, turunannya pun tak boleh tak ditolongi!” ia berkata, setelah mana, ia lompat untuk lari ke jurang, untuk mendaki dengan cepat, gerakannya bagai lutung atau kera. Ia berlari dengan kaki, menjambret dan merembet dengan tangan, sebentar kemudian, ia sudah mencapai hingga di atas jurang, di dekat liang yang merupakan sarang burung rajawali putih itu.

Hati Kwee Ceng dan Gochin berdenyut keras tak hentinya. Mereka kagum, heran dan khawatir untuk keselamatan si imam. Jurang itu tinggi, tebing dan semua batunya licin. Hancur-luluhlah kalau orang jatuh dari atasnya. Di atas tebing itu si imam tampak menjadi kecil tubuhnya.

“Bagaimana?” tanya Gochin yang memeramkan matanya.

“Hampir tiba!” sahut Kwee Ceng. “Bagus! Bagus..!“

Gochin kasih turun kedua tangannya, ia melihat si imam lompat ke liang, tubuhnya seperti terpelanting jatuh, hingga ia menjerit kaget. Akan tetapi si imam tiba dengan selamat, dan dengan ulur kedua tangannya, ia mulai menangkap dua anak rajawali itu, untuk kemudian dimasukkan ke dalam sakunya, dilain saat, ia sudah mulai turun pula. Dia Tiba di bawah dengan tak kalah cepatnya sewaktu ia mendaki.

Kwee Ceng dan Gochin lari menghampiri, si imam merogoh keluar kedua anak burung itu, mengangsurkan seraya ia tanya Gochin, “Bisakah kamu merawat anak-anak burung ini?”

“Bisa, bisa, bisa!” sahut si putri dengan cepat seraya menyambuti.

“Hati-hati, jangan sampai tanganmu kena dipatuk!” memperingati si imam. “Burung ini kecil akan tetapi patokannya sakit sekali.”

Gochin loloskan benang ikatan rambutnya, dengan itu ia ikat kaki kedua burung itu. Ia girang bukan main. “Aku nanti ambilkan daging untuk memeliharanya!”

“Eh, tunggu dulu!” kata si imam. “Kau mesti berjanji padaku satu hal, baru aku serahkan burung ini padamu!”

“Apakah itu?” si putri tanya.

“Aku ingin kau tidak beritahu siapapun juga bahwa aku telah mendaki jurang itu dan mengambil anak burung ini,” kata si imam.

“Baik,” sahut si nona. “Hal itu sebenarnya sulit juga, tapi biarlah aku tidak menyebutkannya.”

Si imam ini tertawa, ia berkata: “Kalau nanti sepasang anak burung ini menjadi besar, mereka bakal menjadi sangat kuat dan galak, maka itu diwaktu mengasih makannya kau mesti hati-hati.”

“Aku tahu,” sahut Gochin, yang girangnya bukan main. Ia kata kepada Kwee Ceng: “Engko Ceng, burung ini kita bagi seorang seekor, akan tetapi sekarang akulah yang bawa dulu, untuk memeliharanya. Akur?”

Kwee Ceng mengangguk. Gochin lantas lompat naik ke atas kudanya dan kabur pergi.

Kwee Ceng bengong mengawasi tuan putri itu, lalu di lain pihak ia kagumi si imam ini yang demikian lihay, pandai mainkan jurusnya yang sulit itu. Ia menjadi seperti kehilangan semangat.

Si imam konde tiga itu pungut pedangnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya, habis itu ia memutar tubuhnya sembari tertawa, untuk berlalu.

“To… totiang, jangan pergi dulu…!” Kwee Ceng berkata, agaknya ia baru sadar, hingga susah ia membuka mulutnya.

“Kenapa?” si imam tanya. Ia tertawa pula.

Bocah ini menggaruk-garuk kepalanya, rupanya sulit ia berbicara. tapi Cuma sejenak, lantas ia jatuhkan diri berlutut di depan si imam dan manggut-manggut, entah sampai berapa puluh kali.

“Eh, untuk apa kau pay-kui terhadapku?” si imam tanya, tertawa.

Mendadak Kwee Ceng mengucurkan air mata. Ia lihat si imam demikian sabar dan ramah, ia seperti menghadapi sanaknya yang terdekat. “Totiang, aku sangat bebal…” ia kata kemudian. “Aku belajar rajin dan ulet akan tetapi tetap aku tidak dapat belajar dengan sempurna hingga karenanya aku membuat keenam guruku menjadi tidak senang…”

“Habis, apakah yang kau kehendaki?” tanya si imam, tetap tertawa.

“Siang dan malam aku berlatih, tetap aku gagal…” Kwee Ceng berkata pula.

“Apakah kau ingin petunjukku?” imam itu tanya lagi.

“Benar!” Dan Kwee Ceng mendekam pula, mengangguk-angguk lagi.

“Aku lihat kau jujur dan bersungguh hati, begini saja,” kata si imam. “Tiga hari lagi bulan pertengahan, selagi rembulan terang menderang, aku nantikan kau di atas puncak. Tapi kau tidak boleh beritahu hal ini kepada siapapun juga!” Ia menunjuk ke puncak yang ia sebutkan.

Kwee Ceng menjadi bingung. “Aku… aku… tidak dapat mendaki…!” katanya.

Si imam sudah lantas berjalan, ia tidak memperdulikannya lagi, ia jalan terus.

“Kalau begini, sengaja totiang hendak menyulitkan aku,” pikir Kwee Ceng, “Terang dia tidak ingin mengajari aku…” Cuma sesaat ia berpikir pula: “Aku toh bukannya tidak punya guru yang pandai? Di depan mataku toh ada enam guru yang bersungguh-sungguh mengajari aku? Dasar aku yang tolol! Apa daya sekarang? Meski totiang lihay sekali, mana dapat aku mewariskan kapandaiannya itu? Percuma aku belajar dengannya…”

Bocah ini menjadi tawar hatinya. Tapi matanya masih mengawasi ke puncak. Lalu ia ingat pula pelajarannya, maka terus ia berlatih lagi. Ia baru pulang sesudah matahari turun dari gunung dan ia rasai perutnya lapar.

Tiga hari telah lewat. Hari itu Han Po Kie ajarkan muridnya ilmu cambuk Kim-liong-pian. Senjata lemas itu beda dengan golok atau lainnya senjata tajam, kalau tenaga latihannya kurang orang tak akan terlukai kerenanya, sebaliknya, dia sendiri yang bisa bercelaka. Demikian sudah terjadi, satu kali Kwee Ceng salah menggeraki tangannya dan cambuknya mengenai kepalanya sendiri!

Po Kie menjadi mendongkol, ia sentil kupingnya si murid itu, yang kepalanya telah menjelut!

Kwee Ceng tutup mulut, ia belajar terus.

Melihat orang bersungguh hati, lenyap rasa dongkolnya Po Kie. Ia membiarkan saja walaupun si murid lagi-lagi membuat beberapa kesalahan.






OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar