Senin, 31 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 021

Kanglam Liok Koay jalan perlahan-lahan, untuk merundingkan urusan mereka.

“Mayat Tan Hian Hong dipotong dada dan perutnya, entah itu perbuatan kawan atau lawan…” kata Han Po Kie.

“Itulah aneh, aku tak dapat menerkanya,” bilang Tin Ok. “Yang paling perlu ialah mencari tahu dimana beradanya Tiat Sie.”

“Memang selama ia belum disingkirkan, kita selalu terancam bahaya,” menyatakan Cu Cong.

“Sakit hatinya ngoko mesti dibalas!” kata Siauw Eng.

Karena ini kemudian Po Kie bersama Siauw Eng dan Kim Hota lantas pergi mencari. Mereka mencari bukan hanya disekitar tempat itu, malah diteruskan hingga beberapa hari, mereka tidak peroleh hasil.

“Wanita itu rusak matanya terkena tok-leng toako, mestinya racun senjata itu bekerja, maka mungkin ia mampus di dalam selat!” kata Po Kie kemudian sepulangnya mereka.

Dugaan ini masuk akal. tapi Tin Ok tetap khawatir, ia baru merasa tentram kalau sudah dengan tangannya sendiri bisa raba mayatnya Tiat Sie si Mayat Besi itu. Ia menginsyafi lihaynya Bwee Tiauw ong. Tentang perasaannya ini ia tidak utarakan, ia khawatir saudara-saudaranya susah hati.

Sejak itu Kanglam Liok Koay menetap di gurun pasir, ajari ilmu silat kepada Kwee Ceng dan Tuli yang juga diajari ilmu perang. Dan Jebe bersama boroul turut memberi petunjuk juga. Hanya kalau malam, Kwee Ceng dipanggil belajar sendirian untuk diajari ilmu pedang, senjata rahasia dan ilmu meringankan tubuh. Sebab diwaktu siang mereka diajar menunggang kuda, main panah dan ilmu tombak.

Kwee Ceng bebal, namun di sisi lain ada sifatnya yang baik. Ia tahu ia mesti membalas sakit hati ayahnya, untuk itu ilmu silat penting, dari itu, ia belajar dengan rajin sekali. Untuk itu ia dapatlah disebut pisau tumpul kalau digosok terus bisa menjadi tajam.

Cu Cong bersama Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng mengajarakan ilmu kegesitan, kemajuannya sedikit, tapi ajarannya Han Po Kie dan Lam Hie Jin tentang pokok dasar silat, ia mengerti dengan cepat, malah ia segera dapatkan maknanya itu.

Sang tempo berjalan dengan pesat, sepuluh tahun sudah lewat. Sekarang Kwee Ceng telah menjadi anak tanggung berumur enam belas tahun. Dua tahun lagi akan tiba saatnya janji pibu, adu kepandaian. Maka Kanglam Liok Koay perhebat pengajarannya, hingga untuk sementara muridnya dilarang belajar naik kuda dan memanah, siang malam terus belajar silat tangan kosong dan pedang.

Angin mulai reda, salju yang turun secara besar¬besaran baru berhenti, walaupun demikian untuk daerah di gurun pasir utara, hawa udara masih dingin. Dalam iklim demikian, pada harian Ceng Beng, Kanglam Liok Koay membawa barang-barang sembahyangan ke kuburannya thio A Seng, untuk sembahyangi saudara yang sudah beristirahat untuk selamanya di alam baka itu. Kwee Ceng juga diajak bersama.

Tempat kediaman bangsa Mongol tidak tetap, maka itu untuk pergi ke kuburan, rombongan ini mesti melarikan kuda mereka setengah harian, baru mereka tiba. Mereka atur barang sembahyangan, pasang hio, lalu pai-kui. Malah Siauw Eng berkata dalam hatinya: “Ngo-ko, belasan tahun kami didik anak ini, sayang dia bebal, dia tidak dapat terima semua pengajaran kita, mohon bantuan kau, untuk lindungidia, biarlah tahun lusa, dalam pertandingan di Kee-hin, dia tidak sampai memalukan nama kita Kanglam Cit Koay!”

Sepuluh tahun enam saudara itu tinggal di utara, rambut dan kumis jenggot mereka sudah mulai berwarna abu-abu, tapi Siauw Eng, walaupun ia tidak secantik dulu, masih ada sisa keelokannya, ia tetap menarik hati.

Di situ ada tulang-tulang yang berserakan, Cu Cong jadi seperti melamun. Ia ingat pada Bwee Tiauw Hong, yang sia-sia saja dicari, orangnya tidak ketemu, mayatnya juga tidak ada. Kalau tidak mati, si Mayat Besi mestinya tak bisa bersembunyi terus -menerus. Kemana perginya wanita siluman itu?

Dalam sepuluh tahun itu, kepandaian Liok Koay juga bertambah. Umpamanya Tin Ok, ia utamakan “Hok Mo Thung-hoat”, ilmu tongkatnya, “Tongkat Menakluk Iblis”. Ia bersiap sedia menyambut Tiauw Hong.

Lam Hie Jin paling menyanyangi Kwee Ceng, si bebal tapi rajin. Ia ingat, dulu ia pun ulet seprti bocah ini. Kali ini, ia tampak kemajuan Kwee Ceng, yang membuat ia girang. Habis pai-kui, Kwee Ceng bangkit, ia kena injak sebuah batu kecil, ia terpeleset, tapi cepat sekali, ia dapat imbangi tubuhnya, dia tak jadi jatuh. Ia tersenyum kepada Kim Hoat, yang melihatnya.

“Mari!” katanya seraya ia lompat dengan tangan kiri melindungi diri, tangan kanan ia sampok pundak muridnya itu.

Kwee Ceng terkejut tapi ia dapat menangkis, hanya ketika ia geraki tangannya itu, lekas ia kasih turun pula!

Menampak itu, Hie Jin tersenyum. Sekarang ia meninju ke dada.

“Coba kau kasih lihat kebiasaanmu, kau layani sie¬suhu berlatih,” Shiuw Eng menganjurkan. “Kau kasih ngo-suhu lihat padamu!”

“Sie-suhu” yaitu guru keempat dan “ngo-suhu” guru ke lima.

Baru sekarang Kwee Ceng mengerti, serangannya Hie Jin pun dibatalkan ditengah jalan, untuk tukar itu dengan sambaran tangan kiri ke pinggang. kali ini si murid melompat mundur. Ia berlaku cepat, tapi Hie Jin lebih cepat pula, dengan satu enjotan tubuh, guru yang keempat ini sudah menyusul dan tangan kanannya kembali menjambak pundak. dengan, Kwee Ceng berkelit.

“Balas menyerang, anak tolo!” Po Kie berseru. “Kenapa mau diserang terus?”

Anjuran ini diturut, Kwee Ceng membalas. Ia gunakan ajaran Lo Han Kun, ilmu silat “Tangan Arhat” dari guru she Han itu, yaitu bagian Kay San Ciang-hoat. Membuka Gunung. Ia pun dapat menempur dengan seru.

Selang beberapa jurus, dengan satu tolakan, Kwee Ceng dibikin terpental dan jatuh, tapi begitu jatuh, ia lompat bangun pula, cuma mukanya yang merah.

Hie Jin segera kasih mengerti bagian kelemahannya.

Selagi guru itu berbicara, tiba-tiba terdengar dua kali suara tertawa, yang datangnya dari pepohonan lebat disamping mereka. Cu Cong dan Kim Hoat terperanjat. “Siapa?!” mereka tanya. Mereka pun lompat untuk cegah jalanan orang buat lari turun.

Orang yang tertawa itu tidak lari, ia justru muncul dari tempatnya persembunyiannya, hingga tampak nyata satu nona elok dengan muka putih potongan telur dan kedua pipinya bersemu merah. Masih ia tersenyum. “Engko Ceng, apakah kau kena dihajar suhu?” ia tanya.

Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Siapa suruh kau datang ke mari?” ia menegur.




Nona itu tertawa. “Aku senang melihat kau dihajar!” sahutnya.

Kalau Kwee Ceng likat, si nona polos dan jenaka. ia pun bukan lain daripada Gochin Baki, putrinya Temuchin, yang bersama Tuli dan pemuda she Kwee ini, usianya tak berjauhan serta biasa mereka bergaul, main bersama-sama. Ia sangat disayang ayah ibunya, ia rada manja, sedang Kwee Ceng jujur dan rada tolol.

Sering Kwee Ceng digoda, sampai mereka bentrok, tapi tak lama mereka akur pula, selamanya si nona mengaku yang salah dan rela minta maaf. Demikian mereka hidup rukun seperti saudara saja, sedang ibunya Gochin, yang ingat budi Kwee Ceng telah menolongi putrinya, perlakukan ia dengan baik, dia dan ibunya sering diantarkan pakaian dan binatang ternak, pergaualan kedua anak muda itu juga tidak dilarang.

Hari itu Gochin tahu Kwee Ceng hendak pergi pai¬bong (sembahyang kuburan), ia pergi dulu dengan menunggang kuda, ia sembunyi di antara pepohonan lebat, hingga ia saksikan segalanya. Sengaja sampai Kwee Ceng rubuh, baru ia muncul untuk menggoda anak muda itu.

Kwee Ceng malu, kurang senang dan berbareng girang.

“Apakah kau tidak senang aku datang?” tanya si nona dengan tertawa. “Baiklah, nanti aku pulang…!” Ia bicara bebas, meskipun disana ada enam orang lainnya.

“Oh, tidak, tidak!” kata Kwee Ceng lekas. “Kita pulang bersama.”

Gochin tertawa, tak jadi pergi.

Senang Cu Cong menyaksikan eratnya hubungan anak-anak ini, mereka tersenyum.

“Mana orang yang ikut denganmu?” tiba-tiba Tin Ok tanya si putri.

Gochin melengak. “Siapa?” ia tanya. “Aku datang sendirian.“

“Bukankah kakakmu pun datang, dia dibelakangmu, untuk bergurau?”

“Kakak tidak datang! Benar aku datang sendirian.”

“Liok-tee, coba lihat!” Tin Ok minta. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke pepohonan lebat di belakang kuburan.

Coan Kim Hoat pergi memeriksa. “Disini tidak ada orang,” katanya.

“Terang sekali aku dengar suara dua orang!” Tin Ok berkukuh. Tadi dengar tertawanya Gochin, menyusul suaranya seorang lain. Ia sangka orang itu adalah kawannya si nona, ia tidak perhatikan. Sekarang benar tidak ada orang disitu, ia menjadi heran. Ia lantas berpikir.

“He, tengkorak hilang satu!” tiba-tiba Kim Hoat berseru.

Dengan berlari-lari, semua orang hampiri saudara she Coan itu. Memang telah lenyap sebuah tengkorak, masih ada bekasnya di salju. Mesti baru saja ada orang mencurinya. Kembali orang heran, kaget dan curiga. Kim Hoat menjelaskan semuanya kepada Tin Ok.

“Cegat ke empat penjuru!” seru toako ini, kakak tertua. Ia sendiri mendahului lari turun gunung, saudara-saudaranya menyusul, sembari lari, ia pasang kuping.

“Disana ada tindakan kaki kuda, lekas susul!” toako ini menitah, tongkatnya menuju ke selatan. Maka saudara-saudara yang lain pun pada mengejar ke arah selatan.

“Apakah aku yang salah?” tanya Gochin pada si anak muda, perlahan bicaranya.

“Ini bukan urusanmu,”sahut Kwee Ceng. “Rupanya telah datang musuh yang lihay”.

Si nona ulur lidahnya.

Tidak lama dari itu muncul beberapa puluh penunggnag kuda, semuanya orang Mongol, yang dikepalai oleh satu pekhu-thio, pemimpin satu eskadron. Melihat tuan putrinya, dia lompat turun dari kudanya, untuk memberi hormat.

“Tuan putri, Kha Khan titahkan aku menyambut,” katanya.

“Untuk apa?” tanya si putri, keningnya mengerut.

“Ada datang utusan Wang Khan.” sahut perwira itu.

Tidak senang si nona mendengar itu, ia lantas menjadi gusar. “Aku tak mau pulang!” katanya sengit.

Pekhu-thio itu menjadi serba salah. Ia memberi hormat pula dan katanya: ”Kalau tuan putri tidak pulang, Kha Khan bakal hukum hambamu ini…”

Gochin dijodohkan dengan Tusaga, cucu Wang Khan, tapi ia erat bergaul dengan Kwee Ceng, meski tidak ada soal asmara, ia toh berat nanti akan berpisah sama anak muda ini. Sebaliknya, tak senang ia menikah sama Tusaga, yang sombong dan galak itu. Maka tak mau ia pulang.

Siauw Eng tidak turut saudara-saudaranya pergi. Ia lihat itu semua. Ia kata pada Kwee Ceng: “Anak Ceng, pergi kau temani tuan putri pulang.” Tanpa tunggu jawaban, ia larikan kudanya pergi menyusul saudara-¬saudaranya.

Gochin masih bersangsi sesaat, akhirnya ia pulang juga. Tak mau ia menentang ayahnya.

Wang Khan itu mengantar panjar, Temuchin ingin putrinya temui si utusan.

Kwee Ceng tidak mengantar terus sampai di tenda Temuchin, ia balik ke tendanya sendiri, di mana ia tinggal bersama ibunya. Ia berduka, maka ia duduk diam saja. Ketika Lie Peng, ibunya, bertanya, ia tetap membungkam.

Waktu itu terdengar suara tetabuhan, itulah tanda penyambutan pada utusan Wang Khan. Baru sekarang Lie Peng dapat mendugai hal putranya ini. Ia lantas menghibur: “Tuan putri baik sekali sama kau, tetapi kita tetap orang Han, maka itu tepat kalau ia dijodohkan sama cucunya Wang Khan…”

“Ibu, aku bukan pikirkan itu,” Kwee Ceng akhirnya mau juga buka mulutnya. “Hanya Tusaga itu kasar dan kejam, menikah sama dia, tuan putri bakal sengsara…”

Lie Peng tahu baik hati anaknya itu, ia menghela napas. “Habis apa daya kita sekarang?” katanya.

Kwee Ceng berdiam terus sampai habis bersantap malam, setelah mana ia pergi ke tenda gurunya, yang semuanya sudah pulang. Mereka itu sia-sia belaka menyusul penunggang kuda atau pencuri tengkorak itu. Kim Hoat lantas ajari muridnya jurus-jurus dari Tiang Kun, habis berlatih, muridnya pulang, untuk naik pembaringan tanpa salin pakaian lagi.

Lapat-lapat Kwee Ceng dengar tetabuhan, ia tidur terus sampai pulas. Kira-kira tengah malam, ia mendusin dengan terperanjat. Ia dengar tanda tiga kali tepuk tangan. Ia lantas bangun, ia bertindak ke tendanya menyingkap dengan hati-hati. Untuk kagetnya, di antara sinar rembulan, tampak tengkorak tepat di jalanan di muka kemahnya. Ia pun dapat lihat tegas lima liang pada tengkorak itu.

“Musuh datang cari musuh…” pikirnya. “Suhu tidak ada di sini, seorang diri mana aku sanggup melawan? Bagaimana kalau musuh menerjang ke dalam tenda untuk melukai ibuku?”

Ia ambil keputusan dengan cepat. Ia lebih dulu ambil goloknya. lalu ia singkap tenda dengan tiba-¬tiba, untuk lompat keluar, segera dupak tengkorak itu hingga mental jauh beberapa tembok. Untuk lindungi diri, ia putar goloknya. Setelah itu, dengan siap sedia, ia memandang ke sekitarnya. Di sebelah kiri di bawah pohon tampak seorang berdiri diam, mukanya tidak kelihatan. Dia cuma kata: “Kalau kau berani, mari turut aku?!”. Dia bicara dalam bahasa Tionghoa, bajunya gerombongan, tangan bajunya lebar. Itu bukan dandanan orang Mongolia.

“Siapa kau?” tanya Kwee Ceng. “Mau apa kau cari aku?”

“Kau Kwee Ceng?!” orang itu tegasi.

“Habis kau mau apa?!” tanya Kwee Ceng.

“Mana pisau belatimu yang tajam mempan besi? Mari kasih aku lihat!”

Tiba-tiba ia melompat mencelat, sampai di sisi anak muda, kakinya menendang jatuh golok orang, menyusul sebelah tangannya menekan ke dada orang.

Sebat gerakan orang itu, sampai Kwee Ceng tidak bisa lindungi goloknya. Tapi ia sempat berkelit, tangan kanannya menyambar lengan orang itu, tangan kirinya menyerang sikut. Inilah jurus “Orang-orang patah bahunya” salah satu dari jurus ilmu silat, “Membagi urat memisah Tulang”. Kalau orang itu kena diserang, tanpa ampun lagi, bahu kanannya mesti patah, terlepas sambungan sikutnya.

Ilmu silat ini Kwee Ceng dapatkan dari Cu Cong dan Cu Cong mengutamakan ini karena ia pikir, cuma dengan ilmu ini ia nanti sanggup layani Kiu Im Pek-kut Ciauw dari Bwee Tiauw Hong yang sewaktu-waktu lambat atau cepat, bakal mencari dirinya. Ilmu ini pun baru ia ciptakan sendiri, sebab tadinya ia tidak pikirkan untuk pelajarai itu. Ia melatih bersama Coan Kim Hoat. Sebagai Biauw Ciu Si-seng, si pelajar Tangan Lihay, ia bisa asah otaknya menciptakan ilmu silat itu. dan sekarang Kwee Ceng menggunakan itu untuk melawan musuhnya.

Orang itu terperanjat, untuk membebaskan diri, ia lekas serang mukanya Kwee Ceng. Ia bukannya meloloskan diri hanya menyerang. Maka kagetlah Kwee Ceng, yang lain hendak membikin patah lengan musuh; terpaksa ia lepaskan kedua tangannya dan mencelat mundur. Meski begitu, dia masih merasa sakit terkena sambaran angin serangan lawan.

Setelah itu Kwee Ceng lihat imam muda yang mukanya bersih dan tampan, yang usianya delapan atau sembilanbelas tahun. Ia pun dengar si imam atau tosu, mengatakannya dengan perlahan: “Tak kecewa pelajarannya, tidak sia-sia pengajarannya Kanglam Liok Koay selama sepuluh tahun…”

“Kau siapa?!” tegur Kwee Ceng, yang masih berjaga-jaga. “Untuk apakah kau mencari aku?”

“Mari kita berlatih pula!” kata si imam, yang tidak gubris perkataan orang. Ia pun terus menyerang tanpa tunda kata-katanya itu.

Kwee Ceng menanti tidak bergeming, ketika tangan imam itu sudah hampir sampai dadanya, ia mengegos ke kiri, tangan kiri menyambar lengan si imam dan tangan kanan menyambar ke batang leher. Kalau ia berhasil, akan copotlah batang leher si imam itu. Jurus ini oleh Cu Cong dengan lucu dinamakan “Sembari tertawa dan berbicara melepaskan rahang”.

Imam itu kenali serangan berbahaya, ia bebaskan diri pula.

Setelah belasan jurus, melihat keringan tubuh orang, yang dapat bergerak-gerak dengan pesat sekali, Kwee Ceng segera mengerti bahwa imam ini ada terlebih pandai daripadanya. Keinsyafan ini, ditambah sama kekhawatirannya akan muncul Bwee Tiauw Hong, membuat hatinya gentar, maka juga, tempo kakinya lawan melayang, kempolan kanannya kena didupak. Syukur kuda-kudanya kuat dan tendangan tak hebat, ia cuma terhuyung, tidak terluka. Karena ini, ia lantas kurung diri dengan rapat, hingga ia menjadi terdesak. Disaat kewalahan, tiba-¬tiba ia dengar seruan dari belakangnya: “Serang bagian bawahannya!”

Dengan tiba-tiba bangkitlah semangatnya Kwee Ceng. Ia kenali suara sam-suhu, gurunya yang ketiga yaitu Han Po Kie. Ia lantas menggeser ke kanan untuk terus menoleh. Untuk kegirangannya, ia tampak keenam suhunya itu telah hadir semua. Saking memusatkan perhatian pada lawan, ia sampai tidak ketahui munculnya keenam gurunya itu. Segera, menuruti petunjuk Po Kie, ia mulai menyerang bawah.

Imam itu lincah gerakannya, tetapi lemah bagian bawahnya, dan ini terlihat tegas oleh Kanglam Liok Koay, maka itu Po Kie sadarkan muridnya. Karena ini, lantas saja si imam berbalik terdesak, hingga terpaksa ia main mundur.

Kwee Ceng merangsak maju, sampai ia lihat lawannya terhuyung, tidak tempo lagi, kedua kakinya saling sambar dengan tipunya Lian-hoan Wan-yoh-twie – kaki Burung Wanyoh Berantai. Ia sampai tidak menyangka bahwa musuhnya bakal menggunakan akal.

“Awas!” teriak po Kie dan Siauw Eng yang terkejut.

Kwee Ceng kurang pengalaman, meskipun ia telah diperingatkan, sudah terlambat, kaki kanannya kena dicekal lawan, terus disempar, tak ampun lagi, tubuhnya melayang, dengan suara keras, jatuh celentang, hingga ia merasakan sakit sekali. Saking gesitnya, ia dapat lantas lompat bangun dengan gerakannya “Ikan Tambra Meletik”. Ia hendak maju pula tetapi ke enam gurunya sudah mulai kurung si imam muda.

Tosu itu tidak bersiap untuk memberikan perlawanan, ia juga tidak menunjukkan tanda hendak menerobos keluar dari kurungan, sebaliknya dengan rangkap kedua tangan, ia memberi hormat kepada Kanglam Liok Koay. Ia kata: “Teecu In Cie Peng, atas titah guruku Tiang Cun Cu Khu Totiang, teecu datang untuk memujikan suhu semua sehat-sehat!” Lantas ia berlutut untuk mengangguk-angguk.

Cu Cong berenam sangsi, mereka tidak mengulurkan tangan untuk mengasih bangun, maka itu si imam bangkit sendiri untuk terus merogoh ke dalam sakunya guna menarik keluar sesampul surat, yang mana dengan kedua tangannya, ia angsurkan kepada enam manusia aneh itu – tegasnya kepada Cu Cong.

“Mari kita bicara di dalam,” kata Kwa Tin Ok, yang dengar suara tindakan kaki mendatangi, hingga ia menduga kepada serdadu peronda bangsa Monglia.

Tanpa sangsi, In Cie Peng turut masuk.

Coan Kim Hoat menyulut lilin.

Tenda itu berperabot buruk. Di situ Cu Cong tinggal berlima, karena Siauw Eng tidur di kemahnya seorang wanita Mongolia. Melihat itu, Cie Peng mengerti orang hidup bukan main sederhananya. ia menjura ketika ia mulai berkata: “Suhu berlima banyak cape! Guruku sangat bersyukur, dia titahkan teecu datang kemari untuk menghanturkan banyak-banyak terima kasih”.

“Hm!” Tin Ok perdengarkan suara tawar, karena ia pikir: “Kalau kau datang dengan maksud baik, mengapa kau robohkan anak Ceng? Bukankah kau sengaja datang untuk pertunjuki pengaruh sebelum tiba saatnya bertanding?”

Cu Cong telah membuka sampul dan membaca suratnya. Khu Cie Kee memperingatkan bahwa sepuluh tahun sudah berlalu sejak perpisahan mereka di Kanglam dan dia turut berduka cita atas meninggalnya Thio A Seng. Ia memberitahu bahwa pada sembilan tahun yang lalu ia telah berhasil mencari turunan Yo Tiat Sim.

Mengetahui ini, Tin Ok semua terperanjat. Coan Cin Kauw banyak pengikutnya, yang tersebar luas di seluruh negara, tetapi buat cari satu nyonya yang lenyap, benar-benar sulit. Tidak dinyana, Cie Kee begitu cepat menemui nyonya itu serta anaknya. Mereka sendiri menemui Kwee Ceng secara kebetulan.

Surat itu diakhiri dengan pemberitahuan bahwa dua tahun lagi, mereka bakal bertemu di Cui Sian lauw di Kee-hin, disaat bunga-bunga mekar.

“Memang ini tulisannya Khu Totiang,” kata Cu Cong akhirnya.

“Anak turunan she Yo itu bernama Yo Kang?” Tin Ok bertanya.

“Benar,” sahut Cie Peng.

“Dia toh adik seperguruanmu?” Tin Ok menegaskan.

“Dia kakak seperguruanku,” sahut pula tosu she In itu. “Walaupun usiaku lebih tua, diwaktu memasuki perguruan, kakakku itu mendahului dua tahun.”

Dingin hatinya Kanglam Cit Koay mendengar keterangan itu. Kwee Ceng kalah oleh In Cie Peng, satu sutee, bagaimana pula ia dapat melayani Yo Kang, sang suheng? Pula heran, Khu Cie Kee tahu jelas tentang mereka, hal mereka dapatkan Kwee Ceng, hal kematiannya Thio A Seng, dan hal sekarang mereka berdiam di padang gurun ini…. Sebaliknya, mereka sendiri tidak tahu apapun perihal imam itu! Inilah tanda mereka sudah berada di bawah angin.

“Apakah barusan kau layani dia untuk mencoba¬-coba?” Tin Ok tanya pula, suaranya dingin.

“Teecu tidak berani,” jawab Cie Peng, yang khawatir oleh sikap orang.

“Sekarang kau sampaikanlah kepada gurumu itu,” bilang Tin Ok, “Walaupun Kanglam Liok Koay tidak punya guna, perjanjian di Cui Sian Lauw tidak bakal digagalkan, jadi dia tidak usah khawatir apa pun. Bilang bahwa kami tidak usah membalas dengan surat.”

Cie Peng likat, hingga ia berdiam saja.

“Ach ya, apa perlunya kau ambil itu tengkorak manusia!” Tin Ok tanya pula.

Cie Peng diam. Tak sangka ia bakal ditanyakan tentang tengkorak itu. Ia diperintah gurunya pergi ke utara untuk menyampaikan surat, ia dipesan untuk sekalian selidiki Kwee Ceng, tentang sifatnya dan ilmu silatnya. Khu Cie Kee memperhatikan putra sahabatnya, ia bermaksud baik, tetapi muridnya ini menyeleweng sedikit, walaupun ia tidak bermaksud jahat. Setibanya di Mongolia, di tepi sungai Onon, Cie Peng tidak segera menemui Kanglam Liok Koay, hanya ia mencuri lihat Kwee Ceng berlatih, malah ia menguntit juga orang pay-bong terhadap Thio A Seng hingga ia saksikan semuanya, tetapi ia dipergoki oleh Tin Ok dan kabur. Coba ia lari tanpa sebat tengkorak, yang ia lihat aneh, tidak nanti ia menerbitkan kecurigaan.

“Apakah kau ada punya hubungan sama Hek Hong Siang Sat?” tanya Tin Ok sebab orang diam saja. “Atau kau tertawakan Kanglam Cit Koay yang satu diantaranya binasa di bawah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw?”

Baru Cie Peng menjawab: “Teecu ambil tengkorak itu untuk dibuat main, tak ada maksud lainnya. Tentang Hek Hong Siang Sat dan Kiu Im Pek¬ku Jiauw, teecu tidak tahu-menahu…”

“Hm!” bersuara Tin Ok yang terus berdiam.

Cie Peng jadi jengah. “Teecu mohon diri,” katanya kemudian.

Tin Ok antar orang sampai di muka tenda. Cie Peng sekali lagi memberi hormat. Mendadak orang she Kwa ini berseru: “Kau pun jumpalitan!” dan tangan kirinya menyambar ujung baju orang di betulan dada.

Saking kaget, Cie Peng geraki kedua tangannya, untuk membebaskan diri. Inilah hebatnya, coba dia diam saja, dia Cuma akan jungkir balik. Kali ini ia membangkitkan amarahnya tetuanya Liok Koay. Tin Ok angkat tubuh orang dan membanting. maka jatuhlah ia dengan hebat, bebokongnya sakit, sampai sekian lama, baru ia bisa merayap bangun, untuk dengan terpincang-pincang ngeloyor pergi…..

“Imam cilik itu tak tahu adat, tepat toako ajar adat padanya,” kata Po Kie.

Tin Ok berdiam, selang sesaat ia menghela napas. Semua saudaranya mengerti kedukaan toako ini, mereka turut masgul pula.

“Ya, apa boleh buat….” kata Hie Jin kemudian.

“Benar, sieko,” Siauw Eng bilang. “Kita bertujuh saudara sudah puas berkelana, banyak pengalaman, baik pun yang berbahaya, kita belum pernah mengkerat atau mundur!”

Tin Ok mengangguk. “Sekarang pergilah kau pulang dan tidur,” katanya pada Kwee Ceng. “Besok akan aku ajarkan kau senjata rahasia.”

Cu Cong semua gegutan. Hebat senjata rahasia tok-leng dari kakaknya ini. Senjata itu adalah senjata rahasia istimewa penjaga diri sejak si kakak tak dapat melihat matahari, tak pernah dipakai kecuali disaat genting, pula tak pernah diwariskan kepada lain orang, tapi sekarang hendak siturunkan kepada murid ini.

“Anak Ceng, lekas menghaturkan terima kasih kepada toa-suhu,” Siauw Eng ajari muridnya itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar