Selasa, 25 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 019

Siauw Mie To Thio A Seng telah menaruh hati kepada Han Siauw Eng sejak beberapa tahun, sampai sebegitu jauh belum pernah ia berani mengutarakan rasa hatinya itu, sekarang ia lihat si nona Han terancam bahaya, ia kaget dan khawatir, dengan melupakan bahaya, ia lari turun, niatnya mendahului nona itu, untuk memberi tahu supaya, habis menolong orang, segera menyingkir.

Lam Hie Jin semua memasang mata ke bawah bukit, mereka siap dengan senjata rahasia masing-masing, untuk menolongi Siauw Eng dan A Seng.

Siauw Eng sampai kepada Kwee Ceng, tanpa bilang suatu apapun, ia sambar bocah itu, terus ia memutar tubuh, guna lari balik, mendaki bukit. Tiba-tiba ia merasa tangannya enteng, berbareng dengan itu, Kwee Ceng pun menjerit kaget! Bocah itu telah dirampas Tan Hian Hong, bayangan yang mengejar itu.

Dengan kegesitannya, Siauw Eng lompat ke samping, dari situ ia menyerang dengan pedangnya ke iga kiri si Mayat Perunggu, tetapi ia gagal, ia susul dengan tikaman ke arah mata. Dengan beruntun ia mainkan jurus “Hong Hong tiam tauw” – Burung Hong menggoyang kepala, dan “Wat Lie Kiam-hoat” ¬ilmu pedang gadis Wat.

Tan Hian Hong mengempit Kwee Ceng dengan lengan kirinya, ia kasih lewat ujung pedang, lalu dengan sikut kanannya, ia menyampok, setelah pedang itu berpindah arah, ia meneruskan menyambar si nona dengan jurus “Sun swi twi couw” – Menolak Perahu Mengikuti Air. Sia-sia Siauw Eng tarik pedangnya, untuk diteruskan dipakai membabat, tanganya Hian Hong mendahulukan menepuk pundaknya, hingga seketika ia roboh ke tanah.

Tan Hian Hong tidak berhenti sampai disitu, ia memburu dan ulur tangannya yang terbuka ke ubun-¬ubun nona Han. Ia bergerak dalam jurus Kiu Im Pek-kut Jiauw yang lihay untuk meremukkan batok kepala orang.

Thio A Seng sudah maju tinggal beberapa tindak lagi, ia melihat ancaman bahaya terhadap si nona yang ia sayangi, ia lompat kepada si nona, mengahalangi serangan, tetapi justru karena ini, bebokongnya mewakilkan Siauw Eng kena dijambret, hingga lima jarinya si Mayat Perunggu masuk ke dalam dagingnya. Ia menjerit keras tetapi pedangnya dikerjakan untuk dipakai menikam ke dada lawan! Hanya, kapan Hian Hong mengempos semangatnya, pedang itu meleset. Berbareng dengan itu, si Mayat Perunggu lemparkan tubuh musuhnya.

Cu Cong bersama Coan Kim Hoat, Lam Hie Jin dan Han Po Kie lantas lari menyusul tubuh saudaranya itu.

“Hai, perempuan bangsat, bagaimana kau?!” terdengar teriakan Hian Hong.

Tiauw Hong tengah memegang pohon besar, ia menyahut dengan keras: “Lelaki bangsat, sepasang mataku dirusak oleh mereka itu! kalau kau kasih lolos satu saja diantara tiga ekor anjing itu, aku adu jiwa denganmu!”

“Bangsat perempuan, legakan hatimu!” sahut Tan Hian Hong. “Satu juga tidak bakal lolos!” sambil mengucap begitu, ia serang Han Siauw Eng dengan kedua tangannya.

Dengan gerakannya “Lay louw ta Kun” atau “Keledai malas bergulingan”, Siauw Eng buang diri dengan bergulingan, dengan begitu ia bisa menyingkir beberapa tindak, hingga ia bebas dari bahaya.

“Kau masih mikir untuk menyingkir?” tanya Hian Hong.

Thio A Seng rebah di tanah dengan terluka parah, menampak nona Han dalam bahaya, ia menahan sakit, ia kerahkan semua tenaganya, ia menerjang musuh.

Hian Hong lihay sekali, batal meneruskan serangannya kepada Siauw Eng, ia papaki kakinya Thio A Seng itu, lima jarinya masuk ke dalam daging betis, maka itu, tak dapat Siauw Mie To bertahan lagi, setelah satu jeritan keras, ia jatuh pingsan.

Justru itu, Siauw Eng lepas dari marabahaya, sambil lompat bangun, ia menyerang musuhnya. Tapi sekarang ia menginsyafi lihaynya musuh, ia tak mau berkelahi secara rapat, saban kali si Mayat Perunggu hendak menjambak, ia jauhkan diri, ia berputaran.

Di waktu itu, Lam Hie Jin dan yang lainnya telah tiba, malah Cu Cong bersama Coan Kim Hoat mendahului menyerang dengan senjata rahasia.

Tan Hian Hong kaget dan heran akan menyaksikan semua musuhnya demikian lihay, ia menduga-duga siapa mereka dan kenapa mereka itu muncul di gurun pasir ini. Akhirnya ia berteriak: “Eh, perempuan bangsat, makhluk-makhluk ini orang-orang macam apakah?!”

Bwe Tiauw Hong sahuti suaminya itu: “Mereka itu adalah saudaranya Hui-thian Sin Liong dan konconya Hui Thian Phian-hok!”

“Oh!” berseru Hian Hong. Lantas ia mendamprat: “Bagus betul, bangsat anjing, kiranya kau belum mampus! Jadinya kamu datang kemari untuk mengantarkan nyawa kamu!”

Tapi ia juga khawatirkan keselamatan istrinya, ia lalu menanya: “Eh, perempuan bangsat, bagaimana dengan lukamu? Apakah luka itu menghendaki jiwa kecilmu yang busuk itu?!”

Bwee Tiauw Hong menyahuti suaminya dengan mendongkol: “Lekas bunuh mereka! Nyonya besarmu tidak bakalan mampus!”

Hian Hong tahu luka istrinya itu berat, kalau tidak, tidak nanti ia pegang pohon saja dan tidak datang membantu. Istri itu sengaja pentang mulut besar. Ia khawatir tetapi ia dapat menghampiri istrinya itu. Cu Cong berlima telah kurung padanya, sedang yang satunya lagi, yaitu Kwa Tin Ok, berdiri diam sambil menanti saatnya. Ia lantas lepaskan Kwee Ceng, yang ia lempar ke tanah, meneruskan gerakan tangan kirinya itu, ia serang Coan Kim Hoat.

Kim Hoat kaget melihat Kwee Ceng dilempar. Bocah itu dalam bahaya. Karena itu, sambil berkelit, ia terus melompat menyambar tubuh Kwee Ceng, dengan lompat berjumpalit, ia menyingkir setombak lebih. Gerakannya yang dinamakan “Leng miauw pok cie” atau “Kucing gesit menerkam tikus”, untuk menolongi diri berbareng menolong orang.

Hian Hong kagum hingga ia memuji di dalam hatinya. tapi ia telengas, makin lihay musuh, makin keras niatnya untuk membinasakan mereka, apalagi sekarang ini latihannya ilmu yang baru, Kiu Im Pek-kut Jiauw, sudah selesai delapan atau sembilan bagian. Tiba-tiba ia berpekik, kedua tangannya bekerja, meninju dan menyambar.

Kelima Manusia Aneh dari Kanglam itu menginsyafi bahaya, karenanya mereka berkelahi dengan waspada, tak sudi mereka merapatkan diri. Maka itu kurungan mereka menjadi semakin lebar. Setelah berselang begitu lama, Han Po Kie tunjukkan keberaniannya. Ia menyerang dengan Teetong Pian¬hoat, yaitu ilmu bergulingan di tanah, guna menggempur kaki lawan. 




Dengan cara ini, perhatian tan Hian Hong terbagi. Karena ini, satu kali ia kena dihajar kayu pikulan Lam Hie Jin, hingga bebokongnya berbunyi bergedebuk. Walaupun merasakan sakit, tapi ia tidak terluka, dia hanya terteriak menjerit-jerit, berbareng dengan itu, tangannya menyambar penyerangnya itu.

Belum lagi Hie Jin menarik pulang senjatanya, sambaran itu sudah sampai kepadanya, terpaksa ia melenggakkan tubuhnya.

Lihay tangannya Hian Hong itu. Diwaktu dipakai menyambar, buku-buku tulangnya memperdengarkan suara berkeretekan, lalu tangannya itu seperti terulur menjadi lebih panjang dari biasanya. berbareng dengan itu juga tercium bau bacin.

Hie Jin kaget sekali. Selagi ia dapat mencium bau itu, tangan musuh yang berwarna biru sudah mendekati alisnya, atau sekarang tangan itu – atau lebih benar lima jarinya – sudah mendekati ubun-¬ubun! Dalam keadaan sangat berbahya itu, ia gunakan Kim-na-hoat, ilmu menangkap tangan, untuk diputar ke kiri.

Berbareng dengan itu, Cu Cong pun merangsak ke belakang Tong Sie, si Mayat Perunggu itu, tangan kanannya yang keras seperti besi, diulur, guna mencekik leher musuh. Karena tangan kanannya itu terangkat, dengan sendirinya dadanya menjadi terbuka. Ia tidak menghiraukan lagi hal ini karena adiknya terancam dan adiknya itu perlu ditolong.

Sekonyong-konyong saja guntur berbunyi sangat nyaring, lalu dengan tiba-tiba juga, mega hitam menutup sang putri malam, hingga semua orang tidak dapat melihat sekalipun lima jari tangannya di depan mata!

Di dalam gelap gulita itu, orang dengar suara merekek dua kali dan suara “Duk!” satu kali, tanda tenaga diadu. Itulah Tan Hian Hong, yang telah pertunjuki tenaganya yang menyebabkan Hie in patah bahu kirinya, sedang sikutnya yang kiri menghajar dadanya Cu Cong.

Rasa sakit tiba-tiba membuat Cu Cong meringis dan tangannya yang dipakai mencekik leher musuh terlepas sendirinya, sebab tubuhnya terpental rubuh saking kerasnya serangan sikut itu.

Hian Hong sendiri bukannya tidak menderita karenanya, sebab tadi hampir-hampir ia tak dapat bernapas, setelah bebas, ia lompat ke samping, mengatur napasnya.

“Semua renggang!” teriak Han Po Kie dalam gelap gulita itu.

“Citmoay, kau bagaimana…”

“Jangan bersuara!” menjawab Siauw Eng, si adik yang ketujuh itu. Dan ia lari ke samping beberapa tindak.

Kwa Tin Ok dengari segala gerak-gerik, ia menjadi heran sekali. “Jitee, kau bagaimana?” ia terpaksa bertanya.

“Sekarang ini langit gelap sekali, siapa pun tidak dapat melihat,” Coan Kim Hoat memberitahu.

Mendengar itu, Hui Thian Pian-hok si Kelelawar Terbangkan Langit itu menjadi girang luar biasa. “Thian membantu aku!” ia memuji dalam hatinya.

Diantara tujuh Manusia Aneh, tiga sudah terluka parah, itu artinya Kanglam Cit Koay telah kalah besar, maka syukur untuknya, sang guntur menyebabkan langit menjadi gelap gulita, sang hujan pun turun menyusul. Semua orang berhenti bertempur karenanya, tidak ada satu pun yang berani mendahului bergerak.

Kwa Tin Ok berdiam, dengan lihaynya pendengarannya itu, walaupun ada suara hujan, samar-samar ia masih mendengar suara napas orang. Dengan waspada ia pasang terus kupingnya. Ia dengar suara napas di sebelah kiri, berjarak delapan atau sembilan tindak darinya. Ia merasa pasti, itu bukan napas saudara angkatnya, lantas ia ayunkan kedua tangannya, terbangkan enam batang tok-leng, diarahkan ke tiga penjuru.

Tan Hian Hong adalah orang yang diserang. Si Mayat Perunggu lihay sekali. Ia dengar sambaran angin, ia segera menunduk. Dua batang tok-leng lewat di atas kepalanya. Empat yang lain tepat mengenai tubuhnya, tetapi ia kebal seperti istrinya, ia tidak terluka, hanya merasa sangat sakit. Karena serangan tok-leng ini, ia menjadi tahu di mana adanya si penyerang, musuhnya itu. Ia lompat ke arah musuh itu, kedua tangannya dipakai untuk menyambar. Ia tidak kasih dengar suara apa-apa.

Tin ok dengar suara angin, ia lantas berkelit, sambil berkelit, ia menghajar dengan tongkatnya.

Dengan begitu, di tempat gelap gulita itu, dua orang ini bertempur. Satu dengan yang lain tidak dapat melihat, hanya mengandalkan pendengaran, mereka mendengari suara sambaran angin.

Han Po Kie bersama Han Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, yang ketahui kakaknya tengah bertenpur, sudah lantas kasih dengar seruan mereka berulang-ulang, untuk menganjurkan kakak itu, guna mencoba mengacaukan pikiran musuh. Disamping itu dengan meraba-raba, mereka pun menolong tiga saudara mereka yang terluka.

Pertempuran Hian Hong dengan Tin Ok hebat dengan cepat telah berlalu dua sampai tigapuluh jurus. Untuk Han Po Kie beramai, rasanya pertempuran itu berjalan sudah lama, disebabkan ketegangan dan kecemasan. Ingin mereka membantui saudara mereka itu tetapi mereka tidak dapat melihat.

Tiba-tiba Hian Hong menjerit aneh. Dua kali ia terhajar tongkat, suara terhajarnya terdengar nyata. Mendengar itu, Po Kie semua girang. Itulah tandanya kakak mereka mulai berhasil.

Selagi orang kegirangan, mendadak kilat menyambar, memperlihatkan sinar terang.

Coan Kim Hoat terkejut, ia berseru: “Toako, awas!”

Hian Hong sangat lihay dan gesit, selagi Kim Hoat bersuara, tubuhnya sudah mencelat maju, untuk mendesak Kwa Tin Ok. Ia tidak hiraukan tongkat lawan, yang kembali mampir di tubuhnya yang kebal itu. Tongkat itu ia papaki dengan pundaknya yang kiri, tangannya sendiri diputar ke atas, guna menangkap tongkat musuh itu. Berbareng dengan gerakan tangan kiri ini, tangan kanannya menjambak ke depan. Sinar kilat sudah lenyap tetapi sambaran itu telah mengenai sasarannya.

Tin Ok kaget tidak kepalang, ia melompat mundur. Gerakannya itu terhalang, karena bajunya kena terjambak dan robek karenanya. Hian Hong lanjuti serangannya tanpa berlengah sedetikpun, dengan mengepal lima jari tangannya, lengannya itu terulur panjang.

Telak serangan itu, tubuh Tin Ok terhuyung. tapi ia belum bebas bahaya. Tongkatnya yang terampas Hian Hong dipakai menyerang ia dalam rupa timpukan!

Bukan main girangnya si Mayat Perunggu, ia tertawa sambil berlenggak, ia berpekik secara aneh.

Justru itu, kilat berkelebat pula, maka juga Han Po Kie menjadi kaget sekali. ia melihat bagaimana tongkat kakaknya itu, yang digunai Hian Hong, tengah menyambar ke kakaknya yang tubuhnya terhuyung. Syukur dalam kagetnya itu, ia masih ingat untuk segera menyerang dengan cambuknya, mencegah dan melibat tongkat itu.

“Sekarang hendak aku mengambil nyawa anjingmu, manusia cebol terokmok!” berseru Hian Hong, yang lihat aksinya si orang she Han, yang menolong kakanya. Ia lantas lompat kearah si cebol. Tapi kakinya terserimpat, seperti ada tangan yang menyambar merangkul. Orang itu bertubuh kecil.

Dugaannya tidak keliru, orang itu Kwee Ceng! Segera ia menunduk, sambar bocah itu.

“Lepaskan aku!” menjerit Kwee Ceng.

“Hm!” Hian Hong kasih dengar suaranya yang seram.

Tetapi tiba-tiba Tan Hian Hong perdengarkan jeritan yang hebat sekali, tubuhnya roboh terjengkang. Ia terkena bagian tubuhnya yang terpenting, ialah kelemahannya. Ia melatih diri dengan sempurnya, ia menjadi tidak mempan barang tajam, kecuali pusarnya itu. Lebih celaka lagi, ia terkena pisau Khu Cie Kee, yang tajamnya bahkan sanggup mengutung emas dan batu kemala. Diwaktu bertempur ia selalu melindungi perutnya, tetapi sekarang selagi mencekuk satu bocah, ia lupa. Ini dia yang dibilang “Orang yang pandai berenang mati tenggelam, di tanah rata kereta rubuh ringsak”. Sebagai jago is binasa di tangan bocah yang tidak mengerti ilmu silat.

Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi mendengar jeritan suaminya, dari atas bukit ia lari menghampiri. Satu kali ia kena injak tempat kosong, ia terjeblos dan roboh terguling-guling. Tetapi ia bertubuh kuat, berurat tembaga bertulang besi, ia tidak terluka. Segera ia tiba di samping suaminya.

“Lelaki bangsat, kau kenapa?” ia tanya. Tak pernah ia lupai kebiasaannya membawa-bawa “bangsat”, sebagaimana juga kebiasaan suaminya.

“Celaka, perempuan bangsat….” sahut Hian Hong lemah. “Lekas kau lari…!”

Kwee Ceng dengar pembicaraan itu. Setelah menikam dan terlepas dari cekukan, ia bersembunyi di pinggiran. Ia takut bukan main.

Sang istri gertak giginya. “Akan aku balaskan sakit hatimu!” ia berseru.

“Kitab itu telah aku bakar…” kata Hian Hong, suaranya terputus-putus. “Rahasianya… di dadaku…” Ia tak dapat bernapas terus, tulang-tulangnya lantas meretak berulang-ulang.

Tiauw Hong tahu, disaat hendak menghembuskan napas terakhir, suaminya itu telah membuyarkan tenaga dalamnya. Itulah siksaan hebat. ia tak dapat mengawasi suaminya itu tersiksa begitu rupa. Maka juga, ia kuatkan hatinya lalu dengan tiba-tiba, ia hajar batok kepala suaminya. Maka sejenak itu, habislah nyawa jago itu.

Istri ini lantas meraba ke dada orang, untuk mengambil kitab yang dikatakan suaminya itu, ialah kitab Kiu Im Cin Keng bagian rahasianya.

Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong ini asalnya adalah saudara satu perguruan, mereka adalah murid-¬murid Tocu Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To di Tang Hay, Laut Timur.

Oey Yok Su adalah pendiri dari suatu kaum persilatan sendiri, kepandaiannya itu ia ciptakan dan yakinkan di pulau Tho Hoa To itu. Sejak ia berhasil menyempurnakan ilmu kepandaiannya, tidak pernah ia pergi meninggalkan pulaunya itu. Karena ini, untuk di daratan Tionggoan, sedikit orang yang ketahui kelihayannya, maka juga ia kalah terkenal dari kaum Coan Cin Kauw yang kenamaan di Kwantong dan Kwansee dan Toan Sie yang kesohor di Selatan (Thian Lam).

Dua saudara seperguruan itu terlibat api asmara sebelum mereka lulus. Mereka insyaf, kalau rahasia mereka ketahuan, mereka bakal dihukum mati dengan disiksa. Maka itu pada suatu malam gelap buta, mereka naik sebuah perahu kecil, kabur ke pulau Heng To di sebelah selatan, dari mana mereka menyingkir lebih jauh ke Lengpo di propinsi Ciatkang.

Tan Hian Hong tahu, ilmu silatnya cukup untuk membela diri tetapi tak dapat digunai untuk menjagoi, sekalian buron, maka ia tak berbuat kepalang tanggung, ia curi kitab Kiu Im Cin Keng dari gurunya, untuk mana ia nyelusup masuk ke kamar gurunya itu.

Kapan Oey Yok Su ketahui perbuatannya kedua murid itu, ia murka bukan main. Tapi ia telah bersumpah tidak akan meninggalkan Thoa Hoa To, terpaksa ia membiarkan saja, hanya saking murkanya, lain-lain muridnya menjadi korban. Semua muridnya itu ia putuskan urat-uratnya, hingga mereka menjadi manusia-manusia cacad seumur hidup, lalu ia usir mereka dari pulaunya.

Hian Hong dan Tiauw Hong menyembunyikan diri untuk meyakinkan Kiu Im Cin Keng. Dengan begini mereka bikin diri mereka menjadi jago. Belum pernah ada orang yang sanggup robohkan mereka. Sebaliknya, mereka telah minta banyak korban, apapula makin lama mereka jadi makin telangas.

Pada waktu suami istri kejam ini dikeroyok orang-¬orang gagah dari pelbagai partai persilatan di utara Sungai Besar. Medan pertempuran ada di atas gunung Heng San. Dua kali mereka mendapat kemenangan, baru ketiga kalinya, mereka kena dilukai, hingga mereka kabur untuk sembunyikan diri. Kekalahan ini disebabkan terlalu banyak pengepungnya. Mereka sembunyikan diri sampai belasan tahun, tidak ada kabar ceritanya, hingga orang percaya mereka sudah mati karena luka-lukanya. Tidak tahunya, mereka terus menyakinkan Kiu Im Cin Keng bagian “Kiu Im Pek Kut Jiauw” atau “Cengkeraman Tulang Putih” dan “Cui Sim Ciang” atau “ Tangan Peremuk Hati”.

Aneh tabiat Hian Hong, walaupun pada istrinya, ia tidak hendak beri lihat kitab Kiu Im Cin Keng itu, biar bagaimana Tiauw Hong memohonnya, ia tidak ambil peduli, setelah ia sendiri berhasil mempelajarinya, baru ia turunkan kepandaian itu kepada istrinya. Ketika istrinya desak, Hian Hong menjawab: “Sebenarnya kitab ini terdiri dari dua bagian. Saking tergesa-gesa, aku dapat curi cuma sebagian, bagian bawah. Justru di bagian atas adalah pelajaran pokok dasarnya. berbahaya meyakinkan bagian bawah tanpa bagian atas. dari itu, biar aku yakinkan sendiri dulu. Kalau tidak, kau bisa celaka. Kau tahu, kepandaian yang kita dapat dari suhu masih belum cukup untuk pelajari bagian bawah ini. Maka itu, aku mesti teliti.”

Tiauw Hong percaya pada suaminya, ia tidak memaksa lebih jauh. Sekarang, disaat dia hendak menutup mata, Hian Hong suka serahkan kitabnya itu pada istrinya. Tapi bukan kitabnya sendiri yang dia telah bakar, hanya singkatannya atau rahasia pokoknya.

Tiauw Hong lantas raba dada suaminya, ia tidak dapatkan apa-apa. Ia heran hingga ia diam menjublak. Tentu saja, ia menjadi penasaran, maka ia hendak memeriksa terlebih jauh. Sayang ia tidak sempat mewujudkan niatnya itu. Sebab Han Po kie bersama Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, membarengi berkelebatnya kilat, hingga mereka bisa melihat musuh, sudah lantas maju menyerang.

Repot juga Tiauw Hong, yang kedua matanya sudah buta. Ia sekarang hanya mengandalkan pada kejelian kupingnya, kepada gerak-gerik angin. Ia tahu orang serang padanya, ia melawan dengan mainkan tipu-tipu Kim-na-hoat, ilmu Menyambar dan Menangkap. Adalah keinginannya ilmu ini agar musuh berkelahi rapat.

Ketiga Manusia Aneh ini menjadi cemas, bukan saja mereka tidak dapat mendesak, mereka sendiri menghadapi ancaman. Di dalam hatinya, Po Kie berkata: “Celaka betul! Bertiga kita lawan satu wanita buta, tidak berhasil, runtuhlah nama Kanglam Cit Koay…” Maka itu, ia berpikir keras. Setelah itu mendadak ia menyerang hebat kepada bebokong lawannya. Ia ambil kedudukan di belakang musuhnya itu.

Terdesak juga Tiauw Hong diserang hebat dari belakang. Ketika ini digunai Siauw Eng akan menikam dengan pedangnya dan Kim Hoat dengan dacinnya. Hebat pengepungan ini.

Sekonyong-konyong datang angin besar, membawa mega hitam dan tebal, membuat langit menjadi gelap ¬gulita. Saking hebatnya, pasir dan batu pada beterbangan.

Kim Hoat bertiga terpaksa lompat mundur, untuk terus mendekam. Bisa celaka mereka dirabu pasir dan batu itu. Syukur, angin tidak mengganas terlalu lama. Hujan pun berhenti perlahan-lahan. Malah dilain saat, dengan terbangnya sang mega, si putri malam pun mulai mengintai pula dan muncul lagi.

Han Po Kie yang paling dulu lompat bangun, tetapi segera ia menjerit heran.

Bwee Tiauw Hong lenyap, juga mayatnya Tan Hian Hong. Masih rebah tengkurap adalah Kwa Tin Ok, Cu Cong, lam Hie Jin dan Thio A Seng, empat saudaranya itu. Kwee Ceng mulai muncul dari belakang batu dimana ia tadi bersembunyi.

Semua orang basah kuyup pakaiannya.

Dibantu oleh Siauw Eng dan Po Kie, Coan Kim Hoat lantas tolong saudara-saudaranya yang terluka. Lam Hie Jin patah lengannya, syukur ia tidak terluka dalam. Syukur Tin Ok dan Cu Cong lihay ilmu dalamnya, walaupun mereka terhajar Tong Sie, si Mayat Perunggu, luka mereka tidak parah. Adalah Thio A Seng, yang tercengkeram Kiu Im Pek-kut Jiauw, lukanya berbahaya, jiwanya terancam. Enam saudaranya sangat berduka, karena sangat eratnya pergaulan mereka, lebih-lebih Han Siauw Eng, yang tahu kakak angkatnya yang kelima ini menaruh cinta, sedang ia pun ada menaruh hati. Ia lantas peluk A Seng dengan menangis tersedu sedan.

Thio A Seng adalah Siauw Mie To, si Buddha Tertawa, walaupun lagi menghadapi bahaya maut, ia masih dapat tersenyum. Ia ulur tangannya, mengusap-usap rambut adik angkatnya. “Jangan menangis, jangan menangis, aku baik-baik aja…” ia menghibur.

“Ngoko, aku mau menikah denganmu, menjadi istrimu! Kau setuju, bukan?” kata nona Han itu tanpa malu-malu.

A Seng tertawa, tapi lukanya mendatangkan rasa sakit, terus ia berjengit, hampir ia tak sadarkan diri.

“Ngoko, legakan hatimu,” kata pula si nona. “Aku telah jadi orangnya keluarga Thio, seumurku, aku tidak akan menikah dengan orang lain…. kalau nanti aku mati, aku akan selalu bersamamu…”

A Seng masih dengar suara tu, ia tersenyum pula, hingga dua kali. “Citmoay, biasanya aku perlakukan kau tidak manis…” katanya. Masih dapat ia mengatakan demikian.

Siauw Eng menangis. “Kau justru perlakukan aku baik, baik sekali, ini aku ketahui,” katanya.

Tin Ok terharu sekali, begitupun dengan yang lainnya. Mereka pada melinangkan air mata.

“Kau datang kemari, kau tentu hendak berguru pada kami?” Cu Cong tanya Kwee Ceng, yang telah mendekati mereka.

Bocah itu menyahut, “Ya!”

“Kalau begitu, selanjutnya kau mesti dengar perkataan kami,” kata Cu Cong pula.

Kwee Ceng mengangguk.

“Kami tujuh saudara adalah gurumu semua,” kata Cu Cong. “Ini gurumu yang kelima bakal pulang ke langit, mari kau hunjuk hormatmu padanya.”

Meski masih kecil, Kwee Ceng sudah mengerti banyak, maka itu, ia jatuhkan diri di depan tubuh A Seng, untuk bersujud sambil mengangguk berulangkali.

Thio A Seng tersenyum meringis. “Cukup…” katanya. Ia menahan sakit. “Anak yang baik, sayang aku tidak dapat memberi pelajaran padamu…. Sebenarnya sia-sia saja kau berguru padaku. Aku sangat bodoh, aku pun malas kecuali tenagaku yang besar…. Coba dulu aku rajin belajar, tidak nanti aku antarkan jiwa disini…..” Tiba-tiba kedua matanya berbalik, ia menarik napas, tapi masih meneruskan kata-katanya: “Bakatmu tidak bagus, perlu kau belajar rajin dan ulet, jika kau alpa dan malas, kau lihat contohnya gurumu ini….”

Masih A Seng hendak berkata pula, tenaganya sudah habis, maka Siauw Eng pasang kupingnya dekatkan ke mulut kakak angkatnya. Si nona masih dengar: “Ajarilah anak ini dengan baik-baik, jaga supaya ia jangan kalah dengan itu… imam…”

“Jangan khawatir,” Siauw Eng menjawab. “Legakan hatimu, kau pergilah dengan tenang… Kita Kanglam Cit Koay, tidak akan kalah…!”

A Seng tertawa, perlahan sekali, habis itu berhentilah ia bernapas…..

Enam saudara itu menangis menggerung-gerung, kesedihan mereka bukan main. Walaupun semuanya bertabiat aneh, mereka tetap manusia biasa, mereka juga saling menyinta. Dengan masih menangis, mereka menggali liang, untuk mengubur jenazah saudaranya ditempat itu. Sebagai nisan, mereka mendirikan satu batu besar.

Waktu itu, cuaca sudah terang, Coan Kim Hoat dan Han PO Kie lantas turun gunung untuk cari mayatnya si Mayat Perunggu serta Bwee Tiauw Hong, si Mayat Besi. Mereka mencari dengan sia-sia. Habis hujan lebat, di tanah berpasir mesti ada tapak kaki tetapi ini tidak. Entah kemana perginya Tiauw Hong beserta mayat suaminya itu. “Di tempat begini, wanita itu tidak akan kabur jauh,” kata Cu Cng sekembalinya kedua saudara itu. “Sekarang mari kita antar anak ini dan kita pun merawat diri, kemudian kau, shatee, lioktee dan citmoay, coba kau pergi mencari pula.”

Pikiran ini disetujui, maka habis mengucurkan airmata di depan kuburan A Seng, mereka pun turun dari gunung. Mereka jalan belum jauh terdengar menderunya binatang liar, yang terus terdengar berulang-ulang.

Po Kie keprak kudanya, maka itu kuda berlompat ke depan. Lari serintasan, binatang itu berhenti dengan tiba-tiba, tak mau maju walaupun dipaksa majikannya. Po Kie menjadi heran, ia memasang mata ke depan.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar