Senin, 24 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 018

“Musuh itu sangat cerdik dan getap,” Tin Ok berkata pula dengan pesannya, “Sedikit saja ada kelisikan, mereka bakal dapat tahu. Sekarang tutuplah papan batu ini, Cuma tinggali sedikit liang kecil untuk aku bernapas.

Enam saudara itu menurut, mereka lantas bekerja. Perlahan-lahan mereka tutup peti mayat yang istimewa itu. Kemudian, siapkan masing-¬masing senjatanya, mereka berpencar ke empat penjuru sembunyi sambil memasang mata. Di situ ada banyak pepohonan dan rumput tebal.

Han Siauw Eng adalah orang yang hatinya paling khawatir dan paling heran pula. Semenjak ia kenal kakaknya yang tertua itu, baru pertama kali ia dapatkan sikap yang tegang sekali dari kakaknya. Ia sembunyi di samping Cu Cong, maka itu sambil berbisik ia tanya ini kakak nomor dua: “Jieko, Tong Sie dan Tiat Sie itu makhluk macam apa?”

“Merekalah yang di dalam dunia kang-ouw kesohor sebagai Hek Hong Siang Sat,” sahut sang kakak dengan perlahan. “Di masanya mereka itu malang-¬melintang di utara, kau masih kecil sekali citmoay, maka itu kau tidak tahu tentang mereka. Dua orang itu sangat kejam, ilmu silat mereka lihay sekali, baik di Jalan Hitam, maupun di Jalan Putih, siapa dengar mereka, hatinya ciut. Bukan sedikit orang gagah yang roboh di tangan mereka itu.”

“Kenapakah mereka itu tak hendak dikepung beramai-ramai?” Siauw Eng tanya pula.

“Menurut mendiang guru,” Cu Cong menerangkan pula, “Orang-orang gagah dari Selatan dan Utara Sungai Besar pernah tiga kali mengadakan perhimpunan besar di gunung Heng San, lalu beruntun tiga tahun mereka mencoba mengepung Hek Hong Siang Sat, mereka itu dapat lolos. Begitu lihat banyak orang, mereka lantas sembunyikan diri, setelah orang bubaran, mereka muncul pula. Setahu bagaimana, belakangan orang tidak lihat lagi bekas-bekas tapak mereka, maka beberapa tahun kemudian orang anggap, karena dosa kejahatannya sudah meluap, mereka itu telah menemui ajalnya. Tidak disangka-¬sangka sekarang, di tempat belukar seperti ini, kita menemui mereka itu.”

“Apakah nama mereka itu?” Siauw Eng masih menanya.

“Yang pria, disebut Tong Sie, si Mayat Perunggu, bernama Tan Hian Hong,” sahut kakak keduanya itu. “Dia berparas muka semu kuning hangus seperti perunggu, pada wajahnya itu tak pernah tampak tanda kemurkaan atau tertawa, dia beroman seperti mayat saja, maka itu orang juluki dia Tong Sie.”

“Kalau begitu yang wanita, Tiat Sie itu, mestinya berkulit hitam legam?”

“Tidak salah! Dia she Bwee, namanya Tiauw Hong.”

“Toako menyebut ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw, ilmu apakah itu?” tanya adiknya lagi.

“Tentang ilmu itu belum pernah aku mendengarnya,” jawab sang kakak.

Siauw Eng diam sejenak. Lalu ia menyambung lagi, “Kenapa toako tak pernah sebut-sebut itu? Mustahilkah…”

Nona ini berhenti berbicara dengan tiba-tiba, sebab Cu Cong mendekap mulutnya yang kecil mungil itu.

“Sstt!” berbisik sang kakak itu seraya tangannya menunjuk ke bawah bukit.

Siauw Eng segera memasang matanya ke arah tempat ynag ditunjuk itu. Di bawah terangnya sinar rembulan, ia tampak seuatu benda hitam lagi bergerak-gerak cepat di atas tanah berpasir.

“Sungguh memalukan,” ia mengeluh di dalam hatinya, “Kiranya jieko waspada sekali, sambil memberi keterangan padaku, ia terus pasang matanya.”

Sebentar saja benda itu sudah datang semakin dekat. Maka sekarang tampaklah dengan nyata: Itulah dua orang, yang berjalan rapat satu dengan lain, hingga mereka merupakan sebagai satu bayangan yang besar.

Enam saudara dari Kanglam itu menahan napas, semuanya bersiap sedia. Cu Cong cekal kipasnya peranti menotok jalan darah. Siauw Eng tancap pedangnya ke tanah, guna cegah sinarnya berkilauan.

Sekarang terdengar suara pasir disebabkan tindakan kaki, suara itu menyebabkan ketegangan di hati ke enam bersaudara itu.

Kapan sebentar kemudian tindakan kaki tak menerbitkan suara pula, di atas bukit itu tertampak dua orang bagai bayangan, berdiri diam. Dilihat dari kepalanya, yang memakai kopiah kulit, yang satu mirip orang Mongol. Yang kedua yang rambutnya panjang melambai-lambai ditiup angin, adalah seorang wanita.

“Mestinya dia Tong Sie dan Tiat Sie,” pikir Siauw Eng. “Sekarang ingin aku saksikan bagaimana mereka melatih diri….”

Si wanita sudah lantas berjalan mengitari si pria, nyata terdengar buku tulang-tulangnya bersuara meretek, mengikuti jalannya, dari lambat menjadi cepat, suaranya semakin keras.

Enam saudara itu menjadi heran. “Tenaga dalamnya begitu hebat, pantas toako memuji mereka,” pikir mereka.

Wanita itu menggerakkan kedua tangannya, diulur dan ditarik, saban-saban terdengar suara mereteknya. Rambutnya pun mengikuti bergerak-gerak juga.

Siauw Eng bernyali besar tetapi ia toh menggigil pula.

Tiba-tiba si wanita itu angkat tangan kanannya, disusul sama tangan kirinya menyerang dada si pria.

Heran enam saudara itu. “Dapatkah si pria, dengan darah dagingnya manusia, bertahan terhadap serangan itu?” tanya mereka di dalam hati.

Selagi begitu, si wanita sudah menyerang pula ke perut, beruntun hingga tujuh kali, setiap serangan bertambah cepat, bertambah hebat. Tapi si pria mirip mayat, tubuhnya tidak bergeming, tak bersuara. Tepat sampai pukulan yang ke sembilan, wanita itu lompat mencelat, jumpalitan, kepala di bawah, kaki di atas, tangan kirinya menyambar kopiah si pria, tangan kanannya, dengan lima jari, mencengkeram ke ubun-ubun si pria.




Hampir Siauw Eng menjerit karena kagetnya. Si wanita sebaliknya tertawa besar dan panjang, kapan tangan kanannya di tarik, lima jarinya berlumuran darah pula. Sembari mengawasi tangannya itu, ia masih tertawa. Tiba-tiba saja ia menoleh ke arah Siauw Eng, hingga si nona dapat nampak wajah orang – satu wajah hitam manis, usianya ditaksir kira-kira empatpuluh tahun. Hanya aneh, walaupun ia tertawa, mukanya tidak tersenyum.

Sekarang enam saudara itu ketahui, si pria bukan Tong Sie, si suami, hanya seorang yang lain, yang rupanya ditangkap untuk dijadikan bahan atau korban latihan Kiu Im Pek-kut Jiauw, Cengkeraman Tulang Putih. Maka terang sudah, wanita itu adalah Tiat Sie Bwee Tiauw Hong, si Mayat Besi, sang istri. dengan sendirinya mereka menjadi membenci kekejaman wanita itu.

Seberhentinya tertawa, Tiauw Hong geraki kedua tangannya, untuk merobek membuka pakaian korbannya. di Utara ini, dimana hawa udara sangat dingin, orang memakai baju kulit, tetapi sekarang, gampang saja si wanita ini menelanjangi pria itu, tubuh siapa lalu ia letaki di tanah. habis itu, dengan rangkap kedua tangannya, si wanita itu berjinjit, berlompatan mengitari korbannya itu. Diwaktu melompat, dia tidak tekuk dengkulnya, tidak membungkuk tubuhnya. Dia lompat tingginya beberapa kaki, lempang jegar.

Disamping heran dan gusar, enam saudara itu merasa kagum.

Wanita itu berhenti berlompatan dan berputaran sesudah ia berpekik keras dan panjang sambil ia lompat tinggi berjumpalitan dua kali, ia turun di sisi mayat, dua tangannya dipakai menjambak dada dan perut mayat itu, untuk menarik keluar isi perut orang. Di bawah sinar rembulan, wanita itu memeriksa, lalau ia membuangnya setiap isi perut itu, paru-paru dan jantung, yang semuanya telah tak utuh lagi.

Nyatalah, dengan sembilan kali serangannya – Kiu im – wanita ini membikin rusak isi perut pria itu, dan ia memeriksa, membuktikan sampai di mana hasil latihannya itu.

Bukan kepalang gusarnya Siauw Eng. ia dapat menduga, tumpukan tengkorak itu terang adalah korban-korbannya wanita kejam ini. Tanpa merasa, ia cabut pedangnya, hendak ia menerjang wanita itu.

Disaat berbahaya itu, Cu Cong tarik si nona dan menggoyangi tangannya. Saudara yang kedua ini telah berpikir: “Tiat Sie sendirian, biar dia lihay, kalau dikepung bertujuh, kita pasti dapat melawan. Kalau dia terbunuh lebih dahulu, jadi lebih gampang untuk melayani Tong Sie. Kalau mereka ada berdua, tak dapat mereka layani…..Tapi, siapa tahu Tong Sie bersembunyi? siapa tahu kalau dia muncul mendadak, untuk membokong kita? Toako telah memikir jauh, baiklah kita taati pesannya. Biar toako yang mendahului…”

Habis memeriksa isi perut mayat, Tiat Sie nampaknya puas, ia lantas duduk numprah di tanah. Dengan menghadapi rembulan, ia tarik napasnya keluar masuk, untuk melatih tenaga dalamnya. Ia duduk dengan membelakangi Cu Cong dan Siauw Eng, nampak nyata bokongnya bergerak-gerak.

“Kalau sekarang aku tikam dia, sembilan puluh sembilan persen, aku dapat tublas tembus bebokongnya! pikir si nona Han. “Hanya kalau aku gagal, akibatnya mesti hebat sekali……………”

Karenanya ia ragu-ragu, ia bergemetar sendiri. Tegang hatinya.

Cu Cong pun sama tegangnya sampai ia menahan napasnya.

Habis melatih napasnya, Bwee Tiauw Hong bangkit berdiri. Ia lantas seret mayat korbannya, dibawa ke peti mayat di mana Kwa Tin Ok umpatkan diri. Ia membungkuk, untuk angkat tutup peti mati istimewa itu.

Enam saudara itu bersiap. Begitu tutup dibuka, hendak mereka menerjang berbareng.

Tiba-tiba Bwee Tiauw Hong mendengar berkelisiknya daun pohon di sebelah belakangnya. Perlahan sekali suara itu, seperti desairnya angin. ia toh berpaling dengan segera. ia dapat lihat seperti bayangannya satu kepala orang di atas pohon. Tak ayal lagi, berbareng dengan pekiknya, ia lompat ke arah pohon itu.

Itulah Ma Ong Sin Han Po Kie yang sembunyi di pohon itu. Ia bertubuh kate, ia percaya dengan sembunyi di atas pohon, ia tak bakal dapat dilihat. Ia hendak berlompat turun ketika tubuhnya bergerak bangun, ia tidak sangka, ia dapat dipergoki wanita lihay itu yang segera menerjang ke arahnya. Tanpa sangsi ia kerahkan tenaganya, akan sambut wanita itu dengan cambuknya Kim-liong-pian. Ia mengarah ke lengan.

Bwee Tiauw Hong tidak berkelit atau menangkis, sebaliknya, ia papaki cambuk itu, untuk terus disambar, dicekal dan dibarengi ditarik dengan keras!

Po Kie merasakan satu tenaga keras menarik, tetapi ia juga bertenaga besar, ia juga balik menarik. Mengikuti tarikan orang, atau lebih benar mengikuti cambuk Naga Emas. Bwee Tiauw Hong menyambar dengan tangannya yang kiri, yang cepat bagaikan angin, anginnya pun tiba lebih dahulu. Po Kie menginsyafi bahaya, ia lepaskan cambuknya, terus ia lompat berjumpalitan. Tiauw Hong tidak hendak memberi lolos, lima jari tangannya menyambar ke arah bebokong si cebol itu. Po Kie merasakan angin dingin di pundaknya, sekali lagi ia enjot tubuhnya, untuk meleset ke depan.

Di saat itu, di bawah pohon, Lam Hie Jin dengan Touw-kut-cui, Bor Menembuskan Tulang, dan Coan Kim Hoat dengan sepasang panah tangannya, menyambar ke arah musuh itu. Tiauw Hong ketahui itu, seperti juga sebuah kipas besi, ia menyambok dengan tangannya yang kiri, hingga kedua senjata rahasia itu jatuh ke tanah, sedang di lain pihak, tangan kanannya telah merobek baju Po Kie di bagian bebokongnya!

Po Kie menekan tanah dengan kaki kiri, ia enjot tubuhnya, loncat pula. Tetapi Tiauw Hong, yang sangat gesit, sudah lompat hingga di depannya dan sambil menanya: “Kau siapa?! Perlu apa kau datang kemari?!” sepasang tangannya sudah mampir di pundak orang, hingga PO Kie merasakan sakit sekali, sebab sepuluh kukunya telah nancap di dagingnya. Dia menjadi kesakitan, kaget dan gusar, dia angkat kakinya, menendang ke arah perut. Hebat kesudahan tendangan ini. Tendangan seperti mengenai papan batu, di antara suara keras, kaki itu terseleo tekukannya, sakitnya luar biasa, sampai ke ulu hati, ia roboh hampir pingsan, hanya dasar jago, dia masih bisa menggulingkan diri, menyingkir jauh.

Tiauw Hong sangat lihay, dan gesit sekali, masih dia lompat, untuk menendang bebokong musuh gelapnya, hanya di saat itu, sebuah kayu pikulan yang hitam menyambar dari samping, mengarah kakinya. Batal menyerang, dia lompat mundur satu tindak. Hanya kali ini, dengan lihay mata jelinya kupingnya, dia segera mengerti bahwa dia telah berada dalam kepungan.

Satu pelajar yang memegang kipas totokan dan satu nona yang bersenjatakan pedang, menyerang dari kanannya, sedang dari kirinya datang serangan golok dari seseorang yang bertubuh jangkung gemuk serta seorang kurus dengan senjata yang neh, sementara penyerang dengan kayu pikulan itu adalah seorang desa. ia menjadi heran dan gentar pula. Semua penyerang itu tidak dikenalnya dan mereka agaknya lihay. Maka ia lantas berpikir: “Mereka banyak, aku sendirian, baiklah aku robohkan dulu beberapa diantaranya.” Demikian, dengan satu kali meleset, ia menyambar ke mukanya Siauw Eng!

Cu Cong melihat ancaman bahaya adiknya itu, ia menyerang jalan darah kiok-tie-hiat dari musuh lihay itu. Tapi Tiat Sie si Myata Besi benar-benar lihay, malah aneh juga, sebab ia tidak pedulikan totokan itu, dia teruskan sambarannya kepada nona Han itu.

Dengan satu gerakan “Pek louw heng kang” atau “ Embun putih melintangi sungai”, Siauw Eng membabat tangan musuh, atas mana, dengan putar ugal-ugalan tangannya, Bwee Tiauw Hong dengan berani berbalik menyambar pedang. Dia agaknya tidak takut senjata tajam itu. Siauw Eng menjadi terkejut, cepat-cepat ia melompat mundur.

Disaat itu, dengan perdengarkan suara membeletak, kipas Cu Cong telah mengenai tepat sasarannya, jalan darah kiok-tie-hiat. Biasanya, siapa terkena totokan itu, segera tangannya kaku dan mati. Cu Cong tahu ia telah dapat menghajar sasarannya, hatinya girang sekali. Justru bergirang itu, tahu-tahu tangan musuh berkelebat, menyambar ke kepalanya!

Bukan main kagetnya Manusia Aneh yang kedua ini. Dengan perlihatkan kegesitannya, lompat melesat, untuk membebaskan diri dari sambaran itu. Ia lolos tetapi kegetnya tak kepalang, herannya bukan buatan.

“Mungkin ia tidak mempunyai jalan darah?” pikirnya.

Ketika itu, Han Po Kie sudah jemput cambuknya, dengan bekersama dengan kelima saudaranya, ia maju pula, mengepung musuh yang lihay itu, maka juga pedang dan golok semua seperti merabu Bwee Tiauw Hong. Akan tetapi si Mayat Besi tak jeri, dia seperti tidak menghiraukan enam rupa senjata musuh itu, ia terus melawan dengan sepasang tangannya yang berdarah daging!

Dengan kuku-kukunya yang seperti gaetan besi, Bwee Tiauw Hong main sambar musuh, untuk merampas senjata, guna mencengkeram daging. Menyaksikan itu, enam Manusia Aneh itu menjadi ingat semua tengkorak yang berliangkan bekas jari tangan itu, dengan sendirinya hati mereka menjadi gentar. Mereka juga mendapatkan tubuh orang seperti besi kuatnya

Dua kali bandulan timbangan Coan Kim Hoat mengenai bebokongnya Tiat Sie dan satu kali kayu pikulannya Kanglam Liok Koay menyambar paha, tetapi Bwee Tiauw Hong agaknya tidak terluka, sedang seharusnya dia mesti patah atau remuk tulang-tulangnya. Karena ini, teranglah orang telah punya Kim-ciong-tiauw – Kurungan Loncang Emas, dan Tiat-pou-san – Baju Besi, dua macam ilmu kedot.

Kecuali golok lancipnya dari Thio A Seng dan pedang tajam dari Han Siauw Eng, semua senjata lainnya, berani Tiat Sie sambut dengan tubuhnya yang tangguh itu.

Lagi sesaat, Coan Kim Hoat berlaku rada ayal, tidak ampun lagi bahu kirinya kena dicengkeram Bwee Tiauw Hong. Lima Manusia aneh lainnya kaget, mereka menyerang dengan berbareng guna menolong saudara mereka. Tapi si Mayat Besi sudah berhasil, tak saja bajunya Kim Hoat robek, sepotong dagingnya pun kena tercukil dan dia berdarah-darah.

Cu Cong jadi berpikir, ia menduga-duga dimana kelemahan musuh lihay itu. Ia tahu betul, siapa punya ilmu kedot, ia mesti mempunyai suatu anggota kelemahannya. Karena ini ia berlompatan, menyerang sambil mencari-cari. Di batok kepala ia totok jalan darah pek-hoay, di tenggorokan jalan darah hoan-kiat, sedang di perut jalan darah cee-cun dan di bebokong jalan darah bwee-liong, demikian pun jalan darah lainnya. Ia sudah menotok belasan kali, tidak juga ada hasilnya, hingga ia menjadi berpikir keras.

Bwee Tiauw Hong dapat menerka maksud orang. Dia berseru: “Siucay rudin, ketahui olehmu, pada nyonya besarmu tidak ada bagian yang lemah, semua anggota tubuh telah terlatih sempurna!” Dan tangannya menyambar lengan si pelajar itu!

Cu Cong terkejut, baiknya ia gesit dan cerdik, tak tunggu tibanya cengkeraman, ia mendahului menotok telapak tangan orang.

Tiauw Hong kena cekal barang keras, ia heran, justru itu Cu Cong bebaskan diri.

Manusia Aneh yang kedua itu menyingkir beberapa tindak, untuk lihat lengannya. Di sana terpeta tapak lima jari tangan, melihat mana, ia menjadi terkesiap hatinya. Syukur ia keburu membela dirinya, kalau tidak, celakalah ia. Ia menjadi bersangsi. Dipihaknya, sudah ada tiga yang kena tangan lihay si Mayat Besi. Coba Tong Sie si Mayat Perunggu muncul, tidakkah mereka bertujuh saudara bakal roboh semuanya?

Thio A Seng, Han Po Kie dan Coan Kim Hoat sudah lantas mulai tersengal-sengal napasnya, jidat mereka bermandikan peluh. Tinggal Lam Hie Jin yang masih dapat bertahan demikian juga dengan Lam Siauw Eng – Hie Jin karena tenaga dalamnya sempurna, Siauw Eng lantaran kegesitan tubuhnya. Dipihak sana, Tiauw Hong malah bertambah gagah nampaknya.

Satu kali Cu Cong kebetulan menoleh ke arah tumpukan tengkorak, ia dapat lihat cahaya putih dari tengkorak-tengkorak itu. Tiba-tiba ia bergidik, tetapi tiba-tiba juga, ia jadi ingat sesuatu. Segera ia melompat, untuk lari ke arah peti mati, di mana Kwa Tin Ok lagi sembunyikan diri, sembari berlari, ia berteriak: “Semua lekas menyingkir!”

Lima saudara itu mengerti teriakan itu, mereka lantas berkelahi sambil mundur.

“Dari mana munculnya segala orang hutan yang hendak mencurangi nyonya besarmu!” kata Tiauw Hong dengan ejekannya. “Sekarang sudah terlambat untuk kamu melarikan diri…!” segera ia merangsak.

Lam Hie Jin bersama Coan Kim Boat dan Han Siauw Eng mencoba merintangi musuh ini, selagi begitu Cu Cong bersama Thio A Seng dan Han Po Kie, yang sudah lantas lari ke peti mati, sudah lantas kerahkan tenaga mereka, untuk angkat papan batu tutup dari peti mati itu. Mereka menggesernya ke samping.

Hebat Bwee Tiauw Hong, ia dapat menyambar kayu pikulan dari Lam Hie Jin. Ia menggunai tangan kirinya, maka itu dengan tangan kanannya, ia sambar sepasang mata lawannya itu.

Disaat itu, Cu Cong berteriak keras: “Lekas turun menyerang!” Dengan tangan kanan ia menunjuk ke atas, kedua matanya mengawasi ke langit, dengan tangan kirinya, yang diangkat tinggi, ia menggapai¬-gapai. Itulah teriakan dan tanda untuk kawannya yang sembunyi di dalam peti mati, supaya kawan itu segera turun tangan.

Bwee Tiauw Hong heran, tanpa merasa ia angkat kepalanya, memandang ke atas. Ia melainkan hanya lihat rembulan, ia tak tampak manusia seorang juga.

“Di depan tujuh tindak!” Cu Cong teriak pula.

Kwa Tin Ok di dalam peti mati telah siap sedia, segera kedua tangannya diayunkan, dengan begitu enam buah senjata rahasianya sudah lantas menyerang ke tempat tujuh tindak, sasarannya adalah tiga bagian atas, tengah dan bawah. Pun, sambil berseru keras, ia turut lompat keluar dari dalam peti mati. Maka itu, ia sudah lantas bekerja sama dengan enam saudaranya itu.

Bwee Tiauw Hong sendiri sudah lantas perdengarkan jeritan hebat dan menggiriskan. Nyata kedua matanya telah menjadi korban tok-leng, senjata rahasianya Tin Ok itu. Empat yang lain, yang mengenai dada dan paha, tidak memberi hasil, empat¬empatnya jatuh menggeletak di tanah.

Bwee Tiauw Hong merasakan sangat sakit dan juga menjadi sangat gusar, tanpa hiraukan sakitnya itu, ia menggempur terus dengan kedua tangannya kepada Kwa Tin Ok, akan tetapi Tin Ok telah segara berkelit ke samping. Dengan menerbitkan suara keras, batu telah kena terhajar hancur. Dalam murkanya, Tiauw Hong terus menendang papan batu yang menghalangi di depannya, papan batu itu terpatah menjadi dua tanpa ampun lagi!

Kanglam Cit Koay menyaksikan itu, hati mereka menggetar. Untuk sesaat mereka tidak menyerang pula.

Bwee Tiauw Hong telah kehilangan penglihatan kedua matanya, maka itu sekarang ia berkelahi secara kalap, ia bersilat ke empat penjuru, kedua tangannya menyambar berulang-ulang.

Cu Cong tidak buka suara, dengan tangannya ia memberi tanda kepada saudara-saudaranya menjauhkan diri dari orang kalap itu, dari itu, dari jauh-¬jauh, mereka menyaksikan lebih jauh bagaimana Mayat Besi menyambar pepohonan dan batu yang melintang di depannya, ia membuatnya pohon-pohon rubuh dan batu hancur tertendang.

Selang sekian lama, Tiauw Hong merasa matanya keras. Ia rupanya menginsyafi yang ia telah terkena senjata rahasia yang ada racunnya.

“Kamu siapa?!” ia berteriak dengan pertanyaannya. “Lekas kasih tahu! Kalau nyonya besarmu mati, ia akan mati dengan puas!”

Cu Cong menggoyang tangan kepada kakak tertuanya, untuk kakak itu jangan membuka suara. Ia ingin si Mayat Besi mati sendirinya karena bekerjanya racun senjata rahasia itu. Baharu dua kali ia menggoyangkan tangannya, ia jadi terperanjat sendirinya. Kakak itu buta, mana dapat ia melihat tandanya itu?

Benar saja, Tin Ok sudah perdengarkan suaranya yang dingin itu. “Apakah kau masih ingat Hui-thian Sin Liong Kwa Pek Shia atau Hui-thian Pian-hok Kwa Tin Ok?” demikian tanyanya.

Bwee Tiauw Hong melengak dan lalu tertawa panjang. “Hai, bocah kiranya kau belum mampus?” tanya dia. “Jadinya kau datang untuk menuntut balas untuk Hui-thian Sin Liong?”

“Tidak salah!” jawab Tin Ok. “Kau juga belum mampus, bagus!”

Tiauw Hong menghela napas, ia berdiam.

Tujuh saudara itu mengawasi, mereka berdiam tetapi siap sedia. Ketika itu angin dingin meniup membuat orang mengkirik.

“Toako awas!” sekonyong-konyong Cu Cong dan Coan Kim Hoat berseru.

Belum habis peringatan kedua saudara itu, Tin Ok sudah merasakan sambaran angin ke arah dadanya, dengan menukikkan tongkat besinya ke tanah, tubuhnya lalu meleset naik ke atas pohon.

Bwee Tiauw Hong tubruk sasaran kosong, karenanya tubuhnya maju terus, merangkul pohon besar di belakang Tin Ok tadi, batang pohon besar itu tercengkeram sepuluh jarinya, menampak mana, enam Manusia Aneh itu bergidik sendirinya. Coba Tin Ok yang terkena rangkul, masihkah ia mempunyakan nyawa?

Gagal serangan itu, Bwee Tiauw Hong berpekik keras, suaranya tajam dan terdengar jauh.

“Celaka, dia lagi memanggil Tong Sie, suaminya…” kata Cu Cong dalam hatinya. Lalu ia meneruskan dengan seruannya: ”Lekas bereskan dia!” Ia pun mendahulukan, dengan kerahkan tenaga di tangannya, ia serang bebokongnya si Mayat Besi. Ia menepuk keras.

Thio A Seng menyerang dengan salah satu potong papan batu yang tadi ditendang patah Bwee Tiauw Hong. Ia pilih batok kepala musuh sebagai sasarannya.

Tiat Sie buta sekarang, ia pun belum pernah meyakinkan ilmu mendengar suara seperti Kwa Tin Ok, akan tetapi kupingnya terang, sambaran angin papan batu itu pun keras, ia dengar angin itu, maka itu, ia segera berkelit ke samping. Ia dapat menghindar dari batu tetapi tidak serangannya Cu Cong. Ia menjadi kaget apabila ia merasakan bebokongnya sakit sampai jauh di ulu hatinya. Tidak peduli ia kebal tetapi serangan Biauw Ciu Sie-seng hebat bukan main, ia tergempur di bagian dalam.

Setelah hasilnya yang pertama ini, Cu Cong tidak berhenti sampai di situ. Segera menyusul serangannya yang kedua. Kali ini ia gagal, ia malah mesti lompat menyingkir. Rupanya Tiauw Hong telah dapat menduga, ia mendahulukan menyambar. tentu saja Manusia Aneh yang kedua ini tidak sudi menjadi korban.

Hampir berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar pekik nyaring seperti pekikan Tiauw Hong barusan. Pekikan itu membuat hati orang terkesiap. lalu menyusul pekik yang kedua, yang terlebih nyaring lagi, tanda bahwa orang yang memperdengarkan itu telah datang lebih dekat.

Kanglam Cit Koay terkejut. “Hebat larinya orang itu!” kata beberapa diantaranya.

Han Siauw Eng lompat ke samping, untuk memandang ke bawah bukit. Ia tampak satu bayangan hitam lari mendatangi dengan cepat sekali. Sembari mendatangi, bayangan itu masih berpekik-pekik.

Ketika itu Bwee Tiauw Hong sudah tidak mengamuk seorang diri lagi, ia berdiri diam dengan sikapnya yang siap sedia, napasnya diempos, guna mencegah racun di matanya dapat menjalar. Dengan sikapnya ini ia menantikan suaminya, untuk tolongi dia sambil membasmi musuh….

Cu Cong segera geraki tangannya ke arah Coan Kim Hoat, lalu berdua mereka lompat ke gombolan rumput. Cu Cong ambil sikapnya ini untuk bersedia membokong musuh. Ia percaya Tong Sie terlebih lihay daripada Tiat Sie, dari itu, ia terpaksa menggunai akal ini.

Waktu itu Siauw Eng telah kasih dengar suara kaget. Ia tampak sekarang, di depan bayangan yang berpekikan tak hentinya itu, ada satu bayangan lain, yang kecil dan kate. Karena tubuhnya kecil, bayangan ini tadi tidak kelihatan. Ia lantas lari turun ke arah orang bertubuh kecil dan kate itu, sebab ia segera menduga kepada Kwee Ceng. Ia khawatir berbareng girang. Ia khawatir keselamatannya bocah itu, ia girang yang orang telah menepati janji. Dan ia kemudia berlari, untuk memapaki, guna menyambut bocah itu.

Selagi dua orang ini mendatangi dekat satu dengan lain, Tong Sie si Mayat Perunggu pun telah mendatangi semakin dekat kepada Kwee ceng. Ia dapat berlari dengan cepat luar biasa.

“Inilah hebat…” pikir Siauw Eng. “Aku bukan tandingan Tong Sie….tapi mana dapat aku tidak menolong bocah itu?” Maka terpaksa ia cepatkan tindakannya, terpaksa ia berteriak: “Bocah, lekas lari, lekas lari!”

Kwee Ceng dengar suara itu, ia lihat si nona, ia menjadi kegirangan hingga ie berseru. ia tidak tahu, di belakangnya tangan maut menghampiri.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar