Kamis, 20 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 017

Enam tahun sudah tujuh saudara ini merantau di gurun pasir tanpa ada hasilnya, sekarang mereka dapati titik terang, mereka jadi bersemangat, mereka tak hendak melepaskannya dengan begitu saja.

“Marilah kita tanya bocah itu!” Siauw Eng mengusulkan.

Han Po Kie mempunyai kuda yang paling gesit, ia mendahului berlari menghampiri kawanan bocah itu yang telah kembali bergumul. Ia berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti berkelahi, tetapi ia tidak dipedulikan, maka ia turun dari kudanya, dan kemudian ia langsung tarik beberapa bocah dan balangkan mereka ke pinggiran.

Tusaga lihat orang kuat, ia tak berani berkelahi terus Tapi ia tuding Tuli dan menantang: “Dua ekor anjing cilik, jikalau kau berani, besok kita bertempur pula disini!”

“Baik, besok kita bertempur pula disini!” Tuli terima tantangan itu. Ia sudah lantas memikir, kalau sebentar ia pulang, hendak ia meminta bantuan Ogatai, kakaknya yang nomor tiga, dengan siapa ia paling erat hubungannya, sedang kakaknya itupun kuat. Ia percaya Ogatai akan suka membantu.

Kwee ceng dengan muka berlumuran darah, mengulurkan tangannya pada Cu Cong. “Kembalikan!” katanya. Dengan berani ia minta belatinya kembali.

“Gampang untuk pulangi padamu!” kata Cu Cong sambil tertawa, seraya tangannya mencekal belati orang. “Tapi kau mesti omong dulu biar terang, darimana kau peroleh belati ini?”

Dengan tangan bajunya Kwee ceng susuti darah yang masih mengalir dari hidungnya. “Ibuku yang berikan padaku,” sahutnya.

“Apakah she ayahmu?” Cu Cong tanya pula.

Bocah itu melengak. Ia tak punya ayah, tak dapat ia menjawab. Kemudian ia menggeleng kepalanya.

Cit Koay lihat orang rada tolol, mereka menjadi putus asa.

“Apakah kau she Yo?” Coan Kim Hoat menanya. Ia penasaran. Kwee menggeleng-gelengkan kepalanya pula.

Kanglam Cit Koay paling menjunjung kehormatan, mereka pegang satu kepercayaan sekalipun terhadap satu bocah, maka itu Cu Cong lantas serahkan belati itu kembali kepada Kwee Ceng, sedang Han Siauw Eng keluarkan sapu tangannya, untuk susuti orang punya darah di hidung.

“Pergilah kau pulang,” katanya dengan halus dan ramah. “Lain kali jangan kau berkelahi pula.”

Lantas Cit Koay berangkat, akan susul rombongan kalifah yang mereka ikuti. Kwee Ceng menjublak mengawasi orang pergi.

“Kwee Ceng, mari pulang!” Tuli lantas mengajak.

Cit Koay belum jalan jauh. Tin Ok mempunyai kuping paling lihay pendengarannya dibandingkan dengan saudara-saudaranya, ia dengar panggilan “Kwee Ceng” dari Tuli, mendadak tubuhnya menggetar, tanpa bersangsi pula, ia putar kudanya akan kembali kepada si bocah.

“Eh, anak, apakah kau bernama Kwee Ceng?” ia tanya dengan sabar.

Kwee Ceng menberikan penyahutan yang membenarkan.

Bukan kepalang girangnya Tin Ok. “Siapakah nama ibumu?” tanya pula, cepat.

“Ibu…. ibu….” Kwee Ceng menjawab.

Tin Ok menggaruk-garuk kepalanya. “Mari antar aku kepada ibumu, Maukah kau?” ia tanya lagi.

“Ibuku tidak ada disini,” bocah itu menjawab.

Tin Ok dengar suara yang tak simpatik. Kemudian dia berkata kepada adiknya paling kecil, “Cit moay, kaulah yang tanya dia.”

Siauw Eng lompat turun dari kudanya dan ia menghampiri bocah itu. “Mana ayahmu?” dia tanya, suaranya tetap ramah.

“Orang telah mencelakai ayahku hingga binasa,” sahut bocah itu. “Nanti kalau aku sudah besar, hendak aku cari musuh itu untuk membalaskan sakit hati ayahku!”

“Siapakah nama ayahmu?” Siauw Eng tanya pula. Ia bernafsu, hingga suaranya sedikit menggetar.

Kwee Ceng menggoyang kepala.

“Siapa nama orang yang membunuh ayahmu?!” Tin Ok turut tanya, suaranya dingin.

Sambil kertak gigi, Kwee Ceng jawab: “Dia bernama Toan Thian Tek!”

Memang Lie Peng telah memberitahukan kepada anaknya itu she dan namanya Thian Tek, malah roman mukanya dan potongan tubuhnya.

Nyonya Kwee tahu, sewaktu-waktu jiwanya terancam bahaya, maka itu ia telah berikan penjelasan kepada anaknya, supaya apabila ada terjadi sesautu atas dirinya, putranya sudah tahu segala sesuatu. Ia pun telah memberitahukan berulangkali, hingga Kwee Ceng ingat semua itu.

Cit Koay girang bukan kepalang, si nona Han sampai berseru, sedang Kwa Tin Ok memuji kepada Thian. Lucunya adalah Thio A Seng, yang sudah rangkul Lam Hie Jin, sementara si cebol Han Po Kie jumpalitan di atas kudanya.

Tuli dan Kwee Ceng mengawasi, mereka merasa lucu dan heran.

“Adik kecil, mari duduk, mari kita bicara perlahan-¬lahan…” nona Han berkata dengan suaranya yang tetap ramah.

“Mari pulang!” mengajak Tuli, Ia hendak cari kakaknya yang ketiga, untuk ajak saudaranya itu besok membantu melawan Tusaga.

“Aku mau pulang,” Kwee ceng berkata kepada Han Siauw Eng. Ia tarik tangannya Tuli dan ia putar tubuhnya, berjalan pergi.

“Eh, eh, tunggu dulu,” Po Kie memanggil. “Kau tak dapat pergi! Biarkan sahabatmu pulang lebih dulu..!




Melihat sikap orang yang luar biasa, dua bocah itu menjadi takut, mereka lantas lari.

Po Kie berlompat, untuk sambar pundaknya Kwee Ceng.

“Shatee, jangan semberono!” Cu Cong cegah adiknya yang nomor tiga itu. Ia pun bergerak, untuk halangi tangan adiknya.

Po Kie heran, ia batal membekuk bocah itu.

Cu Cong lari untuk susul kedua bocah itu, ia lantas jemput tiga butir batu kecil. “Aku akan main sulap untuk kamu!” katanya sembari tertawa, sikapnya manis.

Tuli dan Kwee Ceng berhenti berlari, mereka berdiam mengawasi.

Cu Cong genggam ketiga batu itu di telapak tangan kanannya. “Menghilang!” ia berseru. Kapan ia membuka kepalan tangannya, batu itu telah lenyap.

Kedua bocah itu heran, mereka mendelong.

“Nelusup masuk!” seru Cu Cong, yang tepuk kopiahnya. Terus ia buka kopiahnya itu, di dalam situ ada tiga butir batu itu.

“Bagus!” seru Tuli dan Kwee Ceng. Tanpa merasa, mereka menjadi tertarik.

Waktu itu terdengar suara belibis mendatangi, lalu tertampak burungnya terbang mendatangi dalam dua rombongan, datangnya dari utara.

“Akan aku suruh toako main sulap,” katanya, yang dapat pikiran baru. Ia lantas rogoh keluar sepotong sapu tangan, yang mana ia kasihkan kepada Tuli, sambil menunjuk kepada Kwa Tin Ok, ia kata: “Kau tutup matanya.”

Tuli menurut, ia ikat matanya orang she Kwa itu. “Mau main petak umpat?” tanyanya tertawa.

“Bukan,” sahut Cu Cong. “Tanpa mata, ia dapat panah burung belibis itu.” Ia terus serahkan gendewa dan anak panah kepada kakaknya.

“Aku tidak percaya,” kata Tuli.

Waktu itu kedua rombongan belibis sudah terbang mendekat, Cu Cong menimpuk dengan tiga butir batunya, membuat burung-burung itu menjadi kaget, yang jadi pemimpinnya berbunyi. Justru karena burung itu berbunyi dan hendak merubah tujuan, panahnya Tin Ok sudah meleset, jitu sekali, burung itu terpanah batang lehernya dan bersama anak panahnya, jatuh ke tanah.

“Bagus! Bagus!” Tuli dan Kwee Ceng berseru dengan gembira. Mereka pun lari untuk pungut burung itu, hendak diserahkan pada Kwa Tin Ok. Mereka sangat kagum.

“Tadi mereka bertujuh atau berdelapan mengerubuti kamu berdua,” berkata Cu Cong. “Coba kamu ada punya kepandaian, kamu tidak usah takut lagi kepada mereka.”

“Besok kita bakal berkelahi pula, aku akan minta bantuan kakakku,” kata Tuli.

“Minta bantuan kakakmu?” kata Cu Cong. “Hm, itulah tidak ada faedahnya. Aku akan ajari kau sedikit kepandaian, aku tanggung besok kamu bakal dapat kalahkan mereka.”

“Kami berdua dapat kalahkan mereka berdelapan?” tegaskan Tuli.

“Ya!” Cu Cong beri kepastian.

Tuli girang sekali. “Baik! Nah, kau ajarkanlah aku!”

Cu Cong awasi Kwee Ceng, yang berdiri diam saja, dia agaknya tidak tertarik.

“Apakah kau tidak ingin belajar?” ia tanya bocah itu.

“Ibuku bilang, tidak boleh aku berkelahi,” Kwee Ceng menjawab. “Kalau aku belajar kepandaian untuk memukul orang, ibu tentu tidak senang.”

“Hm, bocah bernyali kecil!” kata Po Kie perlahan.

“Habis, kenapa tadi kamu berkelahi?” Cu Cong tanya lagi.

“Mereka itu yang serang kami duluan.” jawab Kwee Ceng lagi.

Tin Ok campur bicara, suaranya tetap dingin: “Kalau kau bertemu dengan nama Toan Thian Tek, musuhmu itu, habis bagaimana?!” ia tanya.

Kedua mata Kwee Ceng bersinar. “Akan aku bunuh dia, untuk balaskan dendam ayahku!” sahutnya.

“Ayahmu pandai silat, dia masih dapat dibunuh musuhnya,” Ton Ok kata pula. “Kau tidak belajar ilmu kepandaian, bagaimana kau dapat membalas dendam?”

Kwee Ceng tercengang. Kemudian air matanya mengalir keluar.

Cu Cong menunjuk ke gunung di sebelah kiri. “Kalau kau hendak belajar kepandaian guna menuntut balas untuk ayahmu,” ia bilang. “Sebentar tengah malam kau pergi ke sana untuk cari kami. Cuma kamu sendiri yang boleh datang, kau tidak boleh beritahukan kepada orang lain. Kau berani tidak? Apakah kau takut setan?”

Kwee Ceng masih berdiri menjublak.

“Kau ajarakan aku saja!” Tuli bilang.

Tiba-tiba Cu Cong tarik tangannya bocah itu, kakinya menggaet.

Tuli rubuh seketika. Ia merayap bangun dengan murka.”Kenapa kau serang aku?” tegurnya.

“Ini dia yang dibilang ilmu kepandaian,” Cu Cong tertawa. “Mengertikah kau?”

Nyata Tuli sangat cerdas, segera ia mengerti. Ia manggut-manggut. “Coba ajarkan aku pula,” ia minta.

Cu Cong menyambar dengan kepalannya, Tuli berkelit ke kiri. Tapi di sini ia dipapaki tangan kiri si penyerang, tepat kena hidungnya, tapi Cuma nempel, kepalan kiri itu segera ditarik pulang.

Bukan kepalang girangnya putra Temuchin itu. “Bagus! bagus!” ia berseru. “Kau ajari aku lagi!”

Cu Cong mendak, mendongkol, lalu ia seruduk pinggang orang. Tampa ampun Tuli berguling, tapi belum sempat ia terbanting ke tanah, Coan Kim Hoat sudah sambar tubuhnya, untuk di kasih tetap berdiri .

“Paman, ajari aku pula!” seru Tuli. Ia girang luar biasa.

“Sekarang kau pelajari dulu tiga jurus ini,” kata Cu Cong sambil tertawa. “Kalau kau sudah bisa, orang dewasa juga nanti tidak gampang kalahkan kau. Cukup sudah!” Ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, akan tanya, “Apakah kau pun sudah mengerti?” Kwee Ceng hanya menjublak, ia menggeleng kepala.

Cit Koay hilang kegembiraannya melihat Tuli demikian cerdas tapi bocah she Kwee ini begitu tolol. Siauw Eng sampai menghela napas dan air matanya berlinang.

“Sudah, kita jangan terlalu capekan hati sekarang,” kata Kim Hoat kemudian. “Paling benar kita sambut ibu dan anak ini pulang ke Kanglam, kita serahkan mereka kepada Khu Totiang. Dalam hal janji pibu, kita menyerah kalah saja…”

“Anak ini rendah bakatnya, tak berbakat belajar silat,” bilang Cu Cong.

“Ya, aku lihat dia tidak punya kekerasan hati,” kata Po Kie. “Ia bakal gagal…”

Dalam dialek orang Kanglam, Cit Koay berdamai.

“Nach, pergilah kamu!” kata Siauw Eng akhirnya. Ia ulurkan tangan kepada kedua bocah itu, atas mana Tuli tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi, ia sendiri sangat kegirangan.

Selama mereka itu berbicara, Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin si Tukang Kayu dari Lam San, Gunung Selatan yang berdiam saja.

“Eh, sietee, apa katamu?” Tin Ok tegur adiknya yang keempat itu.

“Baik,” sahut Lam Hie Jin.

“Apa yang baik?” menegaskan Cu Cong.

“Anak itu baik,” jawab adik keempatnya itu.

“Beginilah biasanya sieko!” kata Siauw Eng, tak sabaran. “Susah sekali untuk sieko membuka mulut emasnya, tak hendak ia mengatakannya lebih sepatah kata!”

Hie Jin tertawa. “Di waktu kecil, aku tolol sekali,” katanya. Lam San Ciauw-cu memang pendiam, untuk mengeluarkan sepatah kata, ia memikirkan dahulu, maka itu asal ia membuka mulut, kata-katanya tentu tepat. Karena itu juga, enam saudaranya biasa hargakan pikirannya. Sekarang mendengar keterangannya itu, mereka bagaikan mendapat sinar terang.

“Kalau begitu, kita tunggu sampai nanti malam,” kata Cu Cong kemudian. “Kita lihat dia berani atau tidak datang seorang diri.”

“Kebanyakan ia tidak berani,” kata Kim Hoat. “Baik aku cari tahu dulu tempat tinggalnya.” Dan ia lompat turun dari kudanya, dari jauh ia mengikuti Kwee Ceng dan Tuli. Ia lihat mereka masuk ke dalam tenda.

Malam itu Cit Koay berkumpul di atas bukit. Mereka menanti sampai tengah malam, sampai bintang-¬bintang mulai menggeser, tak ada bayangan Kwee Ceng si bocah itu. Cu Cong lantas saja menghela napas.

“Kanglam Cit Koay sudah malang melintang seumur hidupnya, kali ini mereka rubuh di tangannya satu imam…!” katanya masgul.

Selagi tujuh saudara itu berduka, tiba-tiba Po Kie berseru tertahan: “Eh..!” dan tangannya pun menunjuk ke depan di mana ada gombolan pohon, “Apa itu?” katanya.

Ketika itu sang rembulan yang terang sudah sampai di tengah-tengah langit, sinarnya sampai kepada rumput tabal di mana ada tiga tumpuk benda putih yang nampaknya aneh.

Coan Kim Hoat lompat menghampiri benda itu, maka ia kenali itu sekumpulan tengkorak, yang bertumpuk rapi dalam tiga tumpukan. “Entah bocah nakal siapa sudah bermain di sini, tengkorak orang diatur begini…” katanya. “Eh… apakah ini? Jieko, mari!”

Suaranya kedengaran sangat terkejut, maka kecuali Kwa Tin Ok, yang lima saudara lainnya lantas menghampiri saudara she Coan itu. “Lihat!” katanya lagi kemudian, yang sodorkan sebuah tengkorak kepada Cu Cong.

Cu Cong dapatkan lima liang di embun-embunan tengkorak itu, romannya seperti bekas jari tangan. Ia ulur tangannya, tepat lima jarinya masuk ke dalam semua liang itu. Jadi itu bukanlah pekerjaan bocah cilik. Ia pungut dua tengkorak lainnya, di situpun kedapatan masing-masing lima jari tangan yang sama. Ia jadi heran dan sangsi.

“Mustahil benar ada orang membuat liang ini dengan jeriji tangannya?” ia kata dalam hatinya. Ia tak berani utarakan kesangsiannya ini.

“Mungkinkah disini ada hantu gunung?” tanya Siauw Eng. “Hantu tukang geregas manusia…”

“Benar, itulah siluman,” Po Kie membenarkan adiknya itu.

“Tetapi kenapa tengkorak-tengkorak ini diatur begini rapi?” Kim Hoat tanya. Saudara ini bersangsi.

Kwa Tin Ok dengar saudara-saudaranya itu berbicara. Tiba-tina ia lompat mendekati mereka itu. “Bagaimana itu diatur rapinya?” tanyanya.

“Semuanya terdiri dari tiga tumpuk, teratur sebagai segi tiga, dan tiap tumpukan sembilan tengkorak.” Coan Kim Hoat kasih keterangan pada kakaknya yang tak dapat melihat itu.

“Benarkah itu terbagi pula dalam tiga tingkat?” Tin Ok tanya. “Tingkat yang bawah lima, tingkat tengah tiga dan tingkat atas satu buah?”

“Eh, toako!” seru Kim Hoat heran. “Kenapa toako ketahui itu?”

Tin Ok perlihatkan roman cemas. Ia tidak menjawab. Hanya segera berkata: “Lekas jalan seratus tindak, ke arah timur utara dan barat utara! Lihat ada apakah di sana!”

Menampak sikap luar biasa dari saudara tua itu, yang biasanya sangat tabah, enam adik angkat itu lekas bekerja, yang tiga pergi ke timur utara, yang tiga lagi ke barat utara.

“Disini pun ada tumpukan tengkorak!” begitu suaranya Han Siauw Eng di timur utara dan Thi A Seng di barat utara.

Kwa Tin Ok lari ke arah barat utara itu. “Inilah saat mati hidup kita, jangan bersuara keras,” katanya, suaranya perlahan tetapi nadanya tegas.

Thio A Seng bertiga terkejut. Tin Ok lantas lari ke arah timur utara ke Han Siauw Eng, ia pun cegah mereka bertiga omong keras-keras.

“Siluman atau musuh?” tanya Cu Cong.

“Mataku buta, kakiku pincang, semua itu adalah hadiah mereka…” sahut kakak tertua ini.

A Seng bertiga lari berkumpul sama kakak mereka itu, mereka dengar perkataan si kakak, mereka semuanya jadi heran.

Tin Ok angkat saudara sama enam orang itu, cinta mereka bagaikan cintanya saudara kandung, meski begitu, ia paling benci orang menyebut cacadnya itu. Semua saudaranya sangka, cacadnya itu disebabkan kecelakaan semenjak kecil, tidak ada yang berani menanyakan, sekarang barulah mereka itu ketahui, itu adalah perbuatan musuh. Tin Ok Demikian lihay, ia toh kalah, dari situ bisa diduga betapa lihaynya musuh itu.

“Apakah tumpukan disini pun tiga?” tanya Tin Ok.

“Benar,” sahut Siauw Eng.

“Dan setiap tumpukan terdiri dari sembilan tengkorak?” sekali ini Tin Ok menanya perlahan sekali.

Nona Han menghitung. “Yang satu sembilan,” jawabnya kemudian, “Yang satunya delapan…”

“Coba hitung yang sebelah sana, lekas!” kata Tin Ok mendesak sekali.

Siauw Eng lari ke barat utara, sambil membungkuk ia menghitung dengan lekas, lalu dengan lekas pula ia lari balik.

“Yang di sana setiap tumpukannya tujuh tengkorak,” ia beritahu.

“Kalau begitu, mereka akan segera kembali!” kata Tin Ok, kembali dengan suara perlahan.

Enam saudara itu mengawasi dengan melengak, mereka menantikan penjelasan.

“Merekalah Tong Sie dan Tiat Sie,” Tin Ok bilang.

Cu Cong terkejut hingga ia berjingkrak. “Bukankah Tong Sie dan Tat Sie sudah lama mati?” dia tanya. “Kenapa mereka masih ada di dunia ini?”

“Aku juga menyangka mereka sudah mati, kiranya mereka sembunyi disini dan secara diam-diam tengah meyakinkan ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw,” kata Tin Ok. “Saudara-saudara lekas naik ke kudamu masing-¬masing, segera kabur ke selatan, sekali-kali jangan kamu kembali! Sesudah kabur seribu lie, tunggu aku selama sepuluh hari, jika aku tidak datang menyusul, kamu tidak usah menunggu lebih lama lagi…!”

“Toako, apakah katamu?” tanya Siauw Eng gelisah. “Kita sudah minum arak bercampur darah, kita sudah bersumpah untuk hidup atau mati bersama, maka itu kenapa kau anjurkan kita lari menyingkir?”

Tin Ok goyang tangannya berulang-ulang. “Lekas pergi, lekas pergi!” katanya mendesak. “Lambat sedikit sudah tidak keburu lagi!”

Han Po Kie menjadi gusar. “Apakah kau sangka kita orang-orang yang tidak berbudi?!” dia tanya membentak.

“Mereka berdua lihay luar biasa,” Tin Ok bilang, “Mereka sekarang lagi meyakinkan ilmu Kiu im Pek¬kut Jiauw itu, walaupun mereka belum dapat merampunginya, mereka toh sudah paham delapan atau sembilan bagian, sekalipun kita bertujuh, kita pasti bukan tandingan mereka. Kenapa kita mesti antar jiwa sia-sia?”

Enam saudara itu ketahui kakak mereka ini beradat tinggi, belum pernah ia puji kepandaian lain orang, sekali pula Khu Cie Kee yang lihay, dia berani lawan, tetapi sekarang ia jeri terhadap dua orang itu, Tong Sie si Mayat Perunggu dan Tiat Sie si mayat Besi, mereka mau percaya sang kakak tidaklah tengah berdusta. Tentu saja, karenanya mereka menjadi ragu-ragu.

“Kalau begitu, marilah kita pergi sama-sama,” Kim Hoat mengajak.

Tin Ok tidak setuju, dengan dingin ia berkata: “Mereka sudah celakai aku seumur hidup, sakit hati ini tak dapat tidak dibalas!”

Lam Hie Jin segera campur bicara. “Ada rejeki kita mencicipi bersama, ada kesusahan kita derita bersama juga!” katanya. Ia omong singkat tetapi kata-katanya sangat tepat yang tak dapat diubah lagi.

Tin Ok menjadi diam dan berpikir. Sadarlah ia bahwa saudara-saudaranya itu sudah berkeputusan bulat. Dia akhirnya menghela napas. “Baiklah kalau begitu,” katanya kemudian. “Aku cuma minta kalian semua suka berlaku hati-hati. Tong Sie itu ialah pria dan Tat Sie itu wanita, mereka berdua itu adalah suami-istri. Sekarang ini tak ada tempo untuk menjelaskan tentang mereka, Cuma hendak aku pesan masing-masing jagalah diri dengan hati-hati dari cengkraman mereka. Liok-tee, coba jalan seratus tindak ke selatan, lihat benar atau tidak di sana ada sebuah peti mati.”

Coan Kim Hoat, adik yang nomor enam, segera lari ke arah selatan. Setelah seratus tindak, ia tidak lihat peti mati yang disebutkan kakaknya itu, ia Cuma nampak ujungnya sebuah batu lempangan muncul dari dalam tanah, batu itu kotor dengan tanah dan ketutupan rumput hijau. Ia tarik batu itu tetapi tidak bergeming. Dengan menggapai, ia panggil saudara-¬saudaranya yang mengawasi ke arahnya.

Mereka itu segera saja menghampiri. Thio A Seng, Lam Hie Jin dan Han Po Kie, setelah melihat batu itu, bantu saudaranya untuk mencabut. Sekarang barulah papan batu itu dapat disingkirkan. Di bawah sinar rembulan, di bawah batu itu tertampak sebuat peti mati bercorak kotak atau peti batu dan di dalam situ rebah dua mayat.

Kwa Tin Ok, setelah ia diberitahukan adanya kedua mayat itu, sudah lantas lompat turun ke dalam peti mati yang besar itu.

“Musuhku itu bakal lekas datang kemari untuk melatih ilmu silatnya itu, sebagai alatnya kedua mayat ini,” berkata ia, “Maka itu sekarang hendak aku sembunyi di sini, untuk bokong mereka. Saudara-saudara pergi ambil tempat berlindung di empat penjuru, jaga supaya mereka tidak dapat ketahui. Kamu mesti menunggu sampai aku telah tidak dapat bertahan, baru kamu keluar untuk mengepung mereka, waktu itu jangan kamu main kasihan-kasihan lagi. Cara membokong ini bukanlah cara yang benar akan tetapi musuh terlalu tangguh dan telangas, tanpa cara ini jiwa kita bertujuh bakalan tidak dapat ditolongi lagi!” Tin Ok omong dengan perlahan-lahan, tapi kata¬-katanya ditandaskan. Semua saudaranya itu menyahuti dengan janji akan mentaati.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar