Rabu, 19 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 016

Wanyen Lieh memasang mata kepada Wang Khan, yang tubuhnya gemuk, kumis dan jenggotnya telah putih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah hitam dari kulit binatang tiauw dengan pinggang dilibat ikat pinggang emas. Nampaknya ia keren sekali.

Segera Wanyen Lieh turun dari kudanya, guna membalas menghormat. Tidak demikian dengan Wanyen Yung Chi, yang Cuma rangkap kedua tangannya dari atas kuda.

“Hamba dengar bangsa Naiman hendak berbuat kurang ajar,” berkata Wang Khan. “Oleh karena khawatir kedua pangeran kaget maka hamba datang bersama tentaraku ini. Syukur ketiga anak-anakku telah dapat membinasakan mereka!”

Lantas dengan hormat sekali, Wang Khan undung kedua utusan Kim itu datang ke tendanya.

Wanyen Lieh berpikir apabila ia dapatkan di dalam segala hal Wang Khan ada lebih unggul dari Temuchin. Tidak heran kalau Khan ini menjagoi di Utara, banyak suka lainnya yang takluk padanya, dan tentaranya kuat. Ia menginsyafi ancaman bahaya dari pihak ini.

Setelah selesai upacara penganugerahan, malam itu Wang Khan jamu tetamunya. Ia menyuguhkan nyanyian dan tari-tarian oleh budak-budak wanitanya. Ramai sekali pesta itu.

Tengah berpesta, Wanyen Lieh berkata: “Aku ingin menyaksikan orang-orang gagah perkasa bangsa Mongolia.”

“Dua anak angkatku ini adalah orang-orang gagah perkasa bangsa Mongol,” berkata Wang Khan sambil tertawa seraya menunjuk ke arah Temuchin dan Jamukha.

Sangum tidak puas mendengar perkataan ayahnya itu, untuk mengendalikan diri, saban-saban ia cegluk arakanya dari cawannya yang besar.

Wanyen Lieh awas matanya, ia lihat ketidak puasaan orang. “Putramu terlebih gagah lagi,” ia puji putra Khan itu. “Kenapa loo-enghiong tidak menyebut-nyebut dia?”

Sengaja pangeran Kim ini memanggil loo-enghiong, pendekar tua, kepada Khan itu.

“Jikalau aku telah menutup mata nanti, sudah sewajarnya dialah yang nanti menggantikan aku memimpin suku kita,” berkata Wang Khan sambil tertawa. “Dia mana dapat dibandingkan dengan kedua anak angkatku? Jamukha pandai dan cerdik, dan Temuchin gagah tak tertandingkan. Dengan tangan kosong Temuchin bakal membangun negara. Orang gagah yang mana yang tidak bakal menjual jiwanya untuk Temuchin?”

“Apakah sebawahan loo-engjiong tak dapat melawan dia?” Wanyen Lieh tanya.

Temuchin lirik putra raja Kim ini. Kata-kata orang ada mengandung pancingan atau unsur merenggangkan. Ia lantas berhati-hati.

Wang Khan urut kumisnya, ia tidak menjawab. Ia hanya menghirup araknya.

“Pernah bangsa Naiman rampas beberapa laksa binatang ternakku,” katanya kemudian. “Syukur Temuchin kirim empat panglimanya untuk membantu aku, dengan begitu semua binatang itu dapat dirampas pulang. Anakku? Ah….”

Mendengar itu, air mukanya Sangum berubah, ia letaki cangkir araknya dengan separuh dibanting.

“Apakah kegunaanku?” Temuchin lekas berkata, “Istriku dirampas orang, untuk itu adalah ayah angkatku dan saudara angkatku yang membantu aku merampas pulang.”

“Bagaimana dengan empat panglimamu yang kesohor gagah itu?” Wanyen Lieh tanya. “Mana mereka itu? Aku ingin melihatnya.”

“Suruhlah mereka masuk kemari!” Wang Khan berkata pula pada Temuchin.

Denga perlahan-lahan Temuchin tepuk-tepuk tangannya, segera setelah itu empat perwira masuk ke dalam tenda.

Wanyen Lieh mengawasi. Yang pertama adalah satu orang yang romannya lemah lembut, yang kulitnya putih sekali. Dialah Mukhali yang pandai mengatur tentara. Yang kedua ada bertubuh kekar dan sepasang matanya tajam seperti burung elang, ialah sahabatnya Temuchin, yaitu Borchu. Yang ketiga ada berpotongan kecil dan kate tetapi gesit gerakkannya, ia adalah Boroul. Dan yang keempat ada seorang yang dengan seluruh lengannya bercacat bekas bacokan golok, yang mukanya merah bagai darah. Dialah Chi’laun yang dulu hari pernah tolongi Temuchin dari ancaman malapetaka. Merekalah orang-orang peperangan yang berjasa membangun negara Mongolia yang Temuchin sendiri menyebutnya empat panglima gagah.”

Wanyen Lieh puji mereka itu satu persatu, ia haturkan secawan arak pada masing-masingnya. Habis orang minum, ia berkata pula: “Tadi di medan perang, ada satu panglima dengan seragam hitam, dia menerjang musuh bukan main gagahnya. Siapakah dia?”

“Dia adalah Jebe, pemimpin komponiku yang baru,” Temuchin menjawab.

“Coba suruh dia masuk kemari untuk minum satu cangkir,” Wanyen Lieh minta.

Temuchin meluluskan, ia beri titah untuk memanggil Jebe.

Jebe sudah lantas muncul. Diberikan arak, ia menghanturkan terima kasih. Ketika ia hendak hirup araknya itu, tiba-tiba Sangum berseru: “Kau cuma kepala komponi yang rendah pangkatnya, cara bagaimana kau beri minum dari cawan emasku?!”

Jebe kaget berbareng murka. Batal ia minum, ia lantas mengawasi Temuchin.

Menurut kebiasaan bangsa Mongol, mencegah orang minum arak adalah satu penghinaan besar, apapula dilakukan di muka orang banyak. Maka itu Temuchin berpikir: “Dengan memandang ayah angkat, biar aku kasih dia ampun.” “Mari cawan itu! Aku berdahaga, kasih aku yang minum!” Ia ambil cawan itu dari tangan punggawanya itu, ia lantas tenggak isinya.

Dengan mata bengis Jebe awasi Sangum, terus ia bertindak keluar.

“Kau kembali!” Sangum memanggil dengan membentak.

Jebe tidak ambil peduli, ia bertindak terus seraya angkat kepalanya.





Sangum kecele, tetapi ia kata kepada Temuchin: “Saudara Temuchin ada punya empat pendekar tetapi asal aku keluarkan satu makhluk, tentu empat-empatnya mereka dapat dimakan habis dengan sekali telan!” ia pun tertawa dingin.

“Makhluk apakah itu?” Wanyen Yung Chi bertanya.

“Mari kita pergi keluar untuk melihatnya,” Sangum mengajak.

“Kita lagi gembira minum arak di sini, kau hendak mengacau apa lagi!” Wang Khan menegur putranya.

Wanyen Yung Chi hendak melihat keramaian, ia berkata: “Minum arak saja pun kurang gembira, mari kita melihat yang lainnya!” Ia pun lantas berbangkit dan bertindak keluar. Terpaksa orang banyak turut keluar pula.

Di luar tenda, bangsa Mongol telah menumpuk beberapa ratus api unggun, mereka tengah berminum, kapan mereka tampak Khan mereka muncul, semuanya lantas bangkit berdiri.

Di terangnya api unggun, Temuchin lihat wajahnya Jebe merah. Ia mengerti bawahannya itu penasaran dan gusar. Ia tahu juga bagaimana mesti perlakukan orang polos demikian.

“Ambil arak!” ia menitah. Dia lantas dibawakan satu poci besar. Ia angkat poci itu, terus ia berkata dengan nyaring: “Hari ini kita hajar bangsa Naiman hingga mereka dapatkan kekalahan besar, dengan begitu kamu semua telah bercape lelah…!”

Tentara itu berteriak: “Adalah Wang Khan, Temuchin Kha Khan dan Jamukha Khan yang memimpin kita menghajar mereka!”

“Hari ini aku telah lihat seseorang yang luar biasa beraninya yang sudah menyerbu ke belakang barisan musuh,” Temuchin berkata pula: “Beruntun tiga kali dia menyerbu bolak-balik! Siapakah dia?!”

“Itulah Siphu-thio Jebe!” sahut banyak serdadu.

“Apa siphu-thio!” berkata Temuchin. “Dia-lah pekhu¬thio!”

Dengan begitu, dengan sendirinya, sejenak itu juga, Temuchin telah naiki pangkatnya Jebe menjadi pemimpin eskadron.

Untuk sejenak, orang melengak, tetapi segera mereka mengerti, maka dengan kegirangan mereka berseru: “Jebe gagah berani, dia pantas menjadi pekhu-thio!”

“Ambil kopiah perangku!” kata Temuchin kepada Jelmi.

Jelmi menurut dan menyerahkan kopiah itu dengan kedua tangannya.

Temuchin menyambuti, terus ia angkat kopiahnya itu tinggi-tinggi. “Inilah kopiahku, yang aku pakai untuk membasmi musuh!” dia berkata dengan suara nyaring. “Sekarang hendak aku pakai ini sebagai gantinya cawan arak!”

Ia buka tutup poci arak, isinya ia tuang ke dalam kopiah besi itu. Ia lantas menghirup satu ceglukan, habis itu, kopiah itu ia sadurkan kepada Jebe.

Pekhu-thio itu menjadi sangat bersyukur, sambil tekuk sebelah kakinya, ia ulurkan tangannya untuk menyambuti, terus ia mencegluk beberapa kali.

“Biarpun cawan emas yang paling berharga di kolong langit ini, tidaklah itu dapat melawan kopiah besi dari Kha Khan ini!” katanya perlahan.

Temuchin tersenyum. Ia sambuti pulang kopiahnya itu, untuk dipakai di kepalanya.

Semua punggawa dan serdadu Mongol itu tahu Jebe telah menerima penghinaan, akan tetapi menyaksikan sikapnya pemimpin mereka itu, mereka lantas bertempik sorak.

“Sungguh satu manusia yang luar biasa!” pikir Wanyen Lieh. “Kalau sekarang dia suruh Jebe mati, Jebe tentulah rela!”

Beda dari saudaranya, Wanyen Yung Chi justru pikirkan saja kata-katanya Sangum tentang empat pahlawannya Temuchin. Ia suruh pengiringnya ambil kursi kulit harimau, di atas itu ia duduk bercokol.

“Kau ada punya makhluk apa yang demikian hebat, hingga ia dapat menelan keempat pahlawan?” dia tanya Sangum.

Sangum tersenyum. “Apakah empat pahlawan saudara angkatnya Temuchin?” ia mengulangi. “Mana dia empat pahlawan yang menggetarkan padang pasir itu?”

Mukhali berempat lantas menghampirinya dan memberi hormat sambil menjura.

Sangum berpaling, untuk bicara perlahan sekali dengan satu pengiringnya. Pengiring itu menyahuti, terus ia mundurkan diri.

Tidak selang lama lantas orang mendengar suara mengaumnya seekor binatang liar, disusul mana munculnya binatang itu sendiri, yaitu dua ekor macam tutul yang besar, yang bulunya belang bertotolan, dua pasang matanya bersinar mencorot, jalannya ayal¬ayalan tetapi sikapnya sangat bengis.

Wanyen Yung Chi kaget hingga ia raba goloknya, setelah mana kedua macam tutul itu sudah datang sekat api unggun, baru hatinya lega. Binatang itu dikalungi dengan kalung kulit dan setiap ekornya dituntun dua orang yang tubuhnya besar, mereka itu masing-masing mencekal sebatang galah. Sebab mereka itu adalah si pemelihara binatang buas itu. Adalah umum orang Mongol memelihara macam tutul, yang dipakai untuk berburu. Macam tutul baik tenaga maupun kegalakannya melebihi anjing pemburu. Tapi binatang ini sangat kuat makannya, dari itu kalau bukannya pangeran atau bangsawan, orang tak dapat memeliharanya.

“Kakak,” kata Sangum kepada Temuchin. “Empat pahlawanmu adalah orang-orang gagah, jikalau mereka dapat dengan tangan kosong membinasakan dua ekor macanku ini, barulah aku sangat takluk kepadamu!”

Mendengar ini, keempat pahlawan menjadi sangat dongkol. Mereka dalam hati kecilnya berkata: “Sudah kau hinakan Jebe, sekarang kau hinakan kami juga. Adakah kami babi hutan atau serigala maka kami hendak diadu sama macan tutulmu?”

Juga Temuchin menjadi sangat tidak senang. Maka ia berkata: “Aku menyayangi keempat pahlawanku sebagai jiwaku sendiri, cara bagaimana aku bisa biarkan mereka berkelahi sama macan tutul?”

Sangum tertawa terbahak. “Begitu?” ia mengejek. “Buat apakah mengepul menjadi orang gagah kalau dua ekor macanku saja takut dilawan?”

Diantara empat pahlawan itu, Chi’laun yang paling keras tabiatnya. Ia lantas bertindak maju ke depan. “Khan yang maha besar,” katanya, “Tidak apa orang tertawakan kami, tetapi kau, tak dapat kau hilang muka! Nanti aku lawan macan tutul itu!”

Wanyen Yung Chi menjadi sangat girang. Ia lantas loloskan sebuah cincinnya yang bermata berlian, ia lempari itu ke tanah. “Asal kau menang, cincin itu menjadi kepunyaanmu!” katanya.

Chi’laun tidak pandang cincin itu, ia hanya bertindak lagi.

Mukhali tarik kawannya itu. Dia berkata: “Kita menggentarkan padang pasir, membunuh musuh, kita telah membunuh cukup banyak, tetapi macan tutul? bisakah binatang itu memimpin tentara? Bisakah binatang itu mengatur tentara bersembunyi dan mengurung musuh?”

Temuchin pun segera berkata: “Saudara Sangum, kau menang!” Dan ia bertindak menjemputi cincin tadi, untuk diletaki di tangannya saudara angkat itu.

Sangum masuki cincin itu ke jari tangannya, ia tertawa besar dan lama. Ia angkat jari tangannya itu, ia pertontonkan ke empat penjuru. Tentaranya Wang Khan lantas saja bersorak-sorai.

Jamukha mengerutkan alis, tapi ia diam saja. Temuchin juga bersikap tenang dan agung. Sampai di situ, empat pahlawannya itu mengundurkan diri.

Lenyap kegembiraannya Yung Chi karena gagal menyaksikan pertandingan antara manusia lawan binatang liar itu, tak sudi ia minum arak lebih jauh, ia lantas pulang ke tendanya untuk tidur.

Besok paginya Tuli dan Kwee Ceng dengan bergandengan tangan pergi bermain, tanpa terasa mereka bertindak semakin jauh dari tenda mereka. Tiba-tiba ada seekor kelinci putih lari lewat di samping mereka. Tuli keluarkan panah kecilnya dan memanah. Tepat kelinci itu terpanah perutnya. Tapi tenaganya Tuli sangat terbatas, kelinci itu masih dapat lari terus dengan bawa anak panah yang nancap diperutnya itu. Tuli bersama Kwee Ceng lantas mengejar dengan berteriak-teriak.

Kelinci itu lari serintasan, lantas ia roboh dengan sendirinya. Girang Tuli berdua, mereka lompat maju untuk menubruk.

Justru itu dari samping mereka, yang merupakan rimba, muncul serombongan anak-anak, satu yang berumur kira-kira sepuluh tahun, dengan sangat sebat, telah mendahului menyambar binatang itu, dia cabut anak panahnya dan lalu ia buang ke tanah, kemudian setelah ia mengawasi Tuli berdua, dia lari bersama bangkai kelinci itu!

Tuli lantas berteriak: “Eh, kelinci itu akulah yang memanahnya! Kenapa kau bawa lari?!“

Bocah itu menoleh, dia tertawa. “Siapa yang bilang, kau yang memanah?” tanyanya.

“Panah ini toh kepunyaanku!” jawab Tuli.

Bocah itu yang telah berhenti berlari berdiri sepasang alisnya, matanya pun melotot. “Kelinci ini adalah piaraanku!” dia kata. “Sudah bagus aku tidak minta ganti rugi!”

“Tidak tahu malu!” bentak Tuli. “Terang ini adalah kelinci liar!”

Bocah itu galak, ia menghampiri Tuli dan mendorong pundak orang. “Kau maki siapa?!” tegurnya. “Kakekku ialah Wang Khan! Ayahku ialah Sangum! kau tahu tidak?! Taruh kata benar kelinci kaulah kau yang panah kalau aku hendak ambil, habis bagaimana?!”

“Ayahku Temuchin!” kata Tuli dengan sama jumbawanya.

“Fui!” bocah itu menghina. “Ayahmu adalah hantu cilik yang nyalinya kecil, dia takuti kakekku, dia juga takuti ayahku!”

Bocah itu adalah Tusaga, putra tunggal dari Sangum atau cucunya Wang Khan. Mulainya Sangum dapat satu putri, selang lama, barulah ia dapatkan putranya ini, lalu ia tidak punya anak lain lagi. Karena itu, putranya ini sangat disayangi dan dimanjakan, hingga Tusaga menjadi kepala besar. Temuchin telah berpisah lama dengan Wang Khan dan Sangum, karenanya, anak-anak mereka tidak kenal satu sama lain.

Tuli gusar sekali yang ayahnya diperhina orang. “Siapa yang bilang?!” ia tanya dengan bengis. “Ayahku tidak takuti siapapun!”

“Ibumu telah orang rampas, adalah ayahku dan kakekku yang pergi menolong merampas pulang!” sahut Tusaga. “Apakah kau sangka aku tidak ketahui hal itu? Maka apa artinya kalau aku ambil ini kelinci kecil?”

Memang dahulu hari Wang Khan telah bantu anak angkatnya itu, Sangum ingat baik-baik peristiwa itu dan menceritakan kepada orang lain hingga Tusaga yang masih kecil mendapat tahu juga. Sebaliknya Tuli tidak tahu apapun, sebab Temuchin anggap hal itu memalukan dan tidak pernah memberitahukan putranya, apapula putranya itu masih kecil.

Meski begitu, Tuli gusar sekali. “Akan aku beritahu ayahku!” katanya. Ia putar tubuhnya untuk berlalu.

Tusaga tertawa terbahak. “Ayahmu takut ayahku, kau mengadu juga bisa apa?” katanya. “Tadi malam ayahku keluarkan dua macan tutulnya, empat pahlawan dari ayahmu lantas tak berni bergiming!”

Tuli bertambah gusar. Di antara empat pahlawan, Boroul adalah gurunya. “Guruku tak takut harimau, apapula segala macan tutul!” serunya sengit. “Hanya guruku tidak hendak melayani!”

Tiba-tiba Tusaga maju dan tangannya melayang ke kuping orang. “Kau berani membantah?!” dia membentak. “Kau tidak takuti aku?”

Tuli melengak. Ia tidak sangka orang berani pukul padanya.

Kwee ceng panas hati semenjak tadi, sekarang ia tidak dapat mengatasi pula dirinya. Dia maju dan seruduk perutnya Tusaga!

Putranya Sangum juga tidak menyangka-nyangka, tidak ampun lagi dia roboh terjengkang. Tuli tertawa seraya tepuk-tepuk tangan. “Bagus!” dia bersorak. Kemudian dengan tarik tangannya Kwee ceng, ia lari.

Kawan-kawannya Tusaga tidak tinggal diam dan mengejar, maka itu, mereka lantas jadi berkelahi bergumul, kepalan dan kaki digunakan semua.

Tusaga murka sekali, dia merayap bangun, dia pun turut menyerbu. Pihaknya kebanyakan terlebih tua usianya, dan merekapun berjumlah lebih banyak orang, sebentar saja Kwee Ceng dan Tuli kena dipukul jatuh, lalu ditindih.

Tubuh Kwee Ceng diduduki Tusaga, sembari memukul bokongnya, dia berkata: “Kau menyerah, aku kasih ampun!”

Kwee Ceng berontak, sia-sia saja, ia tak dapat bergerak. Tuli pun tak dapat bergeming, ditindih oleh dua lawan.

Dalam saat tegang dari bocah-bocah ini, dari kejauhan ada terdengar kelenengan unta, lalu ditepi sungai tertampak rombongan pedagang dari gurun pasir. Salah satu diantaranya yang menunggang kuda putih, tertawa apabila ia lihat bocah-bocah itu sedang berkelahi.

“Bagus! Kamu lagi berkelahi!” katanya. Tapi kapan ia telah datang dekat dan lihat dua anak dikepung beramai, dua bocah itu telah babak-belur dan matang biru mukanya, ia kata nyaring: “Tidak malukah kamu?! Lekas lepaskan mereka!”

“Minggir! Jangan banyak omong disini!” bentak Tusaga. Dia adalah putranya satu jago di Utara, dia termanjakan, siapapun tidak berani lawan padanya. Maka itu ia menjadi besar kepala.

“Hai anak, kau galak sekali!” kata penunggang kuda itu. “Lepas tanganmu!”

Ketika itu telah tiba beberapa yang lainnya, lalu satu nona berkata: “Shako, jangan usilan, mari kita melanjutkan perjalanan.”

“Kau lihat sendiri, kau lihat sendiri!” kata orang yang dipanggil shako itu – shako – kakak nomor tiga.

Rombongan kalifah itu terdiri dari Kanglam Cit Koay, itu tujuh Manusia Aneh dari Kanglam. Mereka dengar Toan Thian Tek kabur ke utara, mereka menyusul hingga ke gurun pasir. Untuk enam tahun lamanya mereka mondar-mandir, selama itu tidak pernah mereka dengar halnya si orang she Toan itu. Mereka semua mengerti bahasa Mongol.

Han Siauw Eng adalah si nona, apabila ia telah melihat dengan tegas, ia lompat turun dari kudanya, ia tarik dua bocah yang mengerubuti Tuli, ia melempar hingga orang berguling. “Dua mengepung satu, tak malukah kamu?!” tegurnya.

Tuli lompat bangun begitu lekas ia merasai tubuhnya enteng.

Tusaga menyaksikan kejadian itu, ia heran. Justru ia melengek, Kwee Ceng berontak dan loloskan dirinya seraya lompat bangun juga, lalu bersama kawannya ia angkat kaki!

“Kejar!” teriak Tusaga gusar. “Kejar!” Ia ajak kawan-¬kawannya mengubar.

Kanglam Cit Koay pada tersenyum, Mereka ingat masa kecilnya mereka, bengal dan gemar berkelahi.

“Hayolah jalan!” berkata Kwa Tin Ok. “Kita jangan bikin pasar keburu bubar, nanti kita tak dapat menanyai orang!”

Waktu itu Tusaga beramai telah dapat candak Tuli berdua, mereka itu kembali kena dikurung.

“Menyerah atau tidak?” Tusaga tanya.

Tuli dengan mata bersinar hawa amarah, menggelengkan kepala.

“Hajar lagi!” Tusaga memberi komando. Anak-anak itu pun lantas maju.

Tiba-tiba sebuah benda berkelebat di tangannya Kwee Ceng. “Siapa berani maju!” ia berseru. Nyata ia mencekal sebatang pisau belati. Lie Peng menyayangi putranya, senjata peninggalan suaminya itu ia serahkan kepada sang putra, untuk sang putra yang simpan. Ia mengharap pisau belati itu, sebagai mustika dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat.

Menampak orang bersenjata, Tusaga semua tidak berani maju.

Biauw Ciu Si-seng Cu Cong, yang telah larikan kudanya, lihat sinar berkelebat berkilau itu, ia menjadi heran. Banyak sudah ia mencuri barang-barang berharga kepunyaan pembesar rakus atau hartawan jahat, maka itu matanya tak pernah salah.

“Benda itu pasti mustika adanya,” ia berpikir. “Perlu aku lihat, benda apakah itu…”

Maka itu ia larikan kudanya ke arah anak-anak itu hingga ia menampak Kwee Ceng dengan belati di tangan, sikapnya gagah sekali. ia menjadi heran. Kenapa sebuah mustika berada di tangan satu bocah? Ia jadi awasi Kwee Ceng begitu pun semua bocah lainnya. Semua mereka mengenakan kulit binatang yang mahal, kecuali Kwee Ceng yang dilehernya pun berkalung gelang emas yang indah. Jadi mereka mestinya adalah anak-anak bangsawan Mongolia.

“Mestinya bocah ini telah curi senjata ayahnya,” si setan tangan ulung berpikir pula. “Dia tentu curi itu untuk dibuat main. Bukannya tak halal kalau aku ambil barangnya orang bansawan…”

Dengan timbul keinginannya akan punyai belati itu, Cu Cong lompat turun dari kudanya, dia dekati semua bocah itu sambil ia tertawa haha-hihi.

“Jangan berkelahi, jangan berkelahi!” katanya. “Hayolah kamu baik-baik bermain…!”

Ia menyelip di antara bocah-bocah itu, sekejap saja belati di tangan Kwee Ceng telah pindah ke dalam cekalannya. Jangan kata baru Kwee Ceng, satu anak kecil, walaupun orang kosen lainnya, pasti dapat senjata dirampasnya. Ia lompat pula untuk naik ke atas kudanya, sambil tertawa berkakakan, ia susul kawan-kawannya.

“Tak jelek untungku hari ini, aku dapat mustika!” kata ia.

“Jieko, tak dapat kau ubah tabiatmu yang suka mencopet itu!” kata Siauw Bie To Thio A Seng.

“Mustika apakah itu? Mari kasih aku lihat,” minta Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat.

Cu Cong ayun tangannya, melemparkan. Bersinar berkilau belati itu diantara sinar matahari, bagaikan sinar bianglala, hingga semua Kanglam Cit Koay heran dan memuji. Kim Hoat pun merasa memegang benda yang rasanya dingin.

“Bagus!” ia segera memuji, lalu tangannya menyambar ke batu di dekatnya, batu mana terus terbabat kutung. Kemudian ia lihat gagangnya pisau, ia jadi terperanjat. Ia dapatkan ukiran dua huruf “Yo kang”.

“Eh, ini namanya orang Han!” katanya. “Kenapa belati ini terjatuh ke dalam tangan orang Mongol? Yo Kang? Yo Kang? Tidak pernah aku dengar orang gagah dengan nama ini…. Siapa tak gagah tak pantas ia mempunyai belati ini…..”

Untuk sesaat, Kim Hoat berdiam. Kemudian dia bertanya pula pada kakaknya yang tertua, “Toako, takukah kau siapa Yo Kang?”

“Yo Kang? Tak pernah aku dengar nama itu…” jawab Tin Ok.

Yo Kang itu adalah nama yang Khu Cie Kee berikan untuk anak yang masih ada dalam kandungannya Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim. Tiat Sim dan Siauw Thian telah saling mengasih tanda mata belati yang terukir nama Yo Kang dan Kwee Ceng, dari itu, tentu saja Kanglam Cit Koay tidak kenal nama Yo Kang itu.

Coan Kim Hoat sabar dan teliti, ia berpikir terus. Lantas ia ingat akan sesuatu. Ia berkata kemudian: “Orang yang khu Totiang cari adalah istrinya Yo Tiat Sim. Entah Yo Kang ini ada hubungannya sama Yo Tiat Sim atau tidak…”








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar