Selasa, 18 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 013

Dengan matanya yang tajam bagai mata burung elang, Temuchin mengawasi ke bawah kepada tentara musuh, lalu dengan suara dalam, ia menyahuti: “Musuh masih belum lelah.

Ketika itu penyerangan musuh di timur laut bertambah hebat. Di sana pun dikerek batang bendera besar. Itu ada tanda bahwa di sana ada tiga kepala perang yang memegang pimpinan.

Di pihak Mongolia, orang terpaksa main mundur.

Jelmi lari naik ke atas bukit.

“Kha Khan, anak-anak tak sanggup bertahan!” dia teriaki junjungannya.

“Tak sanggup bertahan?!” berseru Temuchin dengan gusar. “Bagaimana dapat kau banggakan diri sebagai satu pendekar gagah perkasa?!” Air mukanya Jelmi menjadi berubah, lantas ia rampas sebatang golok besar dari tangannya satu serdadu, dengan bawa itu sambil serukan bangsanya, ia menerjang barisan musuh, ia membuka jalan hingga di depan satu bendera hitam.

Sejumlah serdadu mush mundur melihat orang demikian bengis. Jelmi maju menyerang tiga serdadu musuh yang bertubuh besar, ia binasakan satu demi satu, kemudian dengan lemparkan goloknya, ia rangkul ketiga bendera besar itu untuk dibawa lari mendaki bukit, setibanya di atas, ia tancap tiga batang bendera itu di tanah!

Kaget musuh menyaksikan lawannya demikian kosen. Dilain pihak, tentara Mongolia bertempik sorak, mereka lantas tutup pula kebocoran di timur utara itu.

Berselang lagi satu jam, dipihak musuh, di pojok barat selatan, tampak satu panglima dengan pakaian perang hitam, hebat ilmu panahnya, sebentar saja ia telah rubuhkan belasan tentara Mongolia. Dua perwira Mongolia maju hendak menerjang tetapi mereka disambut oleh anak panah dan rubuh karenanya.

“Bagus ilmu panahnya!” Temuchin puji musuh itu.

Justru itu, “Ser!” sebatang anak panah menyambar sebelum pimpinan Mongol ini dapat berdaya, lehernya telah terkena anak panah itu, sedang satu anak panah lainnya menyambar ke arah perutnya.

Biar bagaimana juga, Temuchin adalah satu orang peperangan yang ulung, walaupun lehernya terluka dan sakit sekali rasanya, ia tidak menjadi gugup, dengan kedut lesnya, ia membuat kudanya berjingkrak berdiri dengan dua kaki belakangnya. Dengan begitu, anak panah tidak lagi menyambar ke perut orang, hanya nancap di dadanya kuda, nacap sampai di batas bulu. Maka tidak ampun lagi, rubuhlah binatang tunggangannya itu berikut penunggangnya.

Semua serdadu Mongol kaget, semua lantas meluruh untuk tolong kepala perang mereka. Musuh gunai ketika baik ini untuk menerjang naik dengan hebat.

Kutuku di arah barat telah pimpin tentaranya melawan musuh, ia kehabisan anak panah dan tombaknya pun telah patah, terpaksa ia balik mundur.

Merah matanya Jelmi melihat kawannya itu mundur.

“Kutuku, apakah kau ngiprit bagai kelinci?” ia menegur dengan ejekannya.

Kutuku tidak gusar, sebaliknya ia tertawa. “Siapa lari ngiprit?” katanya. “Aku kehabisan anak panah!”

Temuchin yang rebah di tanah telah tarik keluar anak panahnya dari kantong panahnya yang tersulam, ia lemparkan itu kepada adik angkatnya itu.

Mendapatkan anak panah, Kutuku segera beraksi. Beruntun tiga kali ia memanah kepada musuh yang berada dibawahnya sebuah bendera hitam, sebatang busur membuat musuh itu rubuh, sesudah mana, ia memburu ke bawah bukit, untuk rampas kuda musuh, akan kemudian ia lari pula naik ke atas.

“Saudaraku yang baik, hebat kau!” Temuchin puji adik angkatnya itu.

Kutuku mandi keringat.

“Apakah sekarang sudah boleh kita menaikkan bendera dan membunyikan terompet?” ia tanya, suaranya perlahan.

Temuchin tutup luka dengan telapak tangannya, darah molos keluar dari sela-sela jari tangan itu, dalam keadaan terluka, ia memandang ke arah musuh.

“Musuh masih belum lelah,” sahutnya. “Kita tunggu sebentar lagi.”

Kutuku lantas berlutut di depan kakak angkatnya itu, yang berbareng menjadi pemimpinnya.

“Kami semua rela berkorban untuk kau,” katanya, “Tapi Kha Khan, tubuhmu penting sekali!”

Mendengar itu, melihat sikap orang, Temuchin lantas berlompat untuk naik ke atas seekor kuda.

“Semuanya membela mati bukit ini!” ia berseru. Dengan goloknya yang panjang, ia bunuh tiga musuh yang menerjang ke arahnya.

Musuh yang tengah merangsak naik, kaget melihat kepala perang lawannya dapat naik kuda pula, sendirinya mereka mundur, hingga penyerangan mereka menjadi reda.

Temuchin lihat keadaan itu, ia gunai ketikanya yang baik. “Naikkan bendera! Tiup terompet!” dia berteriak dengan titahnya.

Tentara Mongolia bertempik sorak, lalu bendera putih yang besar dikerek naik, disusul sama bunyi terompet yang riuh. Serempak dengan itu, tentara Mongolia dengan bersemangat menyerang dari segala penjuru, dimana mereka berada.

Musuh berjumlah besar, barisan mereka tengah kacau, maka diserang demikian mendadak, mereka menjadi bertambah kacau.

Panglima dengan seragam hitam itu nampak keadaan jelek, ia berteriak-teriak untuk mencegah kekacauan, akan tetapi sia-sia saja percobaannya itu, tentaranya tak dapat dikendalikan lagi. Maka itu tidak usah berselang dua jam, runtuhlah pasukan perang yang besar itu, termusnahkan pasukan Mongolia yang jumlahnya lebih sedikit tetapi yang semangatnya berapi-api. Sisa tentara lantas lari serabutan, si panglima seragam hitam sendiri terpaksa kaburkan kudanya.

“Tangkap musuh itu!” Temuchin memberi titah. “Hadiahnya sepuluh kati emas!”





Beberapa puluh serdadu Mongol sudah lantas kaburkan kuda mereka, kejar panglima berbaju hitam itu. Mereka itu mendekati saling susul. Akan tetapi lihay panah si panglima, tak pernah gagal, maka belasan serdadu lantas saja terjungkal dari kuda mereka, hingga yang lainnya menjadi terhalang. Dengan begitu pula pada akhirnya, panglima itu dapat meloloskan diri.

Kwee Ceng dari tempat sembunyinya sangat mengagumi panglima berbaju hitam itu.

Dengan pertempuran ini Temuchin, ialah pihak Mongolia, telah peroleh kemenangan besar dan musuhnya ialah bangsa Taijiut, telah musnah lebih daripada separuhnya. Maka sejak itu, Temuchin tidak usah khawatirkan lagi ancaman dari pihak musuhnya itu.

Dengan kegirangan, sambil bersorak-sorak, tentara Mongolia iringi kepala perangnya berangkat pulang.

Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, tak kecuali mereka yang mengurus korban-¬korban, baru ia keluar dari tempat sembunyinya. Ketika ia tiba dirumahnya, waktu sudah tengah malam, justru ibunya sedang berdebar-debar hatinya memikirkan anaknya yang dikhawatirkan menghadapi ancaman bahaya.

Kwee Ceng segera terangkan kepada ibunya kenapa ia pulang lambat sekali.

Senang Lie Peng akan saksikan anaknya bercerita dengan cara sangat gembira, anak ini tidak sedikit juga menunjukkan hati jeri, maka itu ia menjadi teringat kepada suaminya.

“Dasar turunan orang peperangan, ia mirip dengan ayahnya…” pikir ibu ini. Maka diam-diam ia pun bergirang.

Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali, Lie Peng berangkat ke pasar yang terpisahnya kira-kira tigapuluh lie lebih dari rumahnya untuk menukar tenunan - dua helai permadani – dengan barang-¬barang makanan. Kwee Ceng ditinggal di rumah untuk menjaga binatang piaraan mereka. Anak ini ingat akan peperangan yang ia saksikan, ia jadi gembira sekali, ia anggap peperangan itu dapat dibuat permainan, maka dengan mainkan cambuknya, sambil ia duduk di atas kudanya, ia mencoba menggiring kambingnya pulang pergi. Ia mau anggap dirinya adalah satu panglima perang!

Tengah anak ini main jenderal-jenderalan itu, tiba-¬tiba dengar tindakan kaki kuda di arah timur, ia menoleh, tampak seekor kuda lari mendatangi, di bokong kuda ada satu tubuh manusia yang mendekam. Begitu datang dekat, kuda itu kendorkan larinya. Penunggang kuda itu yang mendekat, terus angkat kepalanya, memandang kepada si bocah itu, siapa lantas menjadi kaget sekali, hingga ia keluarkan teriakan tertahan.

Penunggang kuda itu mukanya penuh debu bercampur darah, adalah si panglima perang berbaju hitam yang gagah, yang Kwee Ceng saksikan dan mengaguminya, ditangan kirinya ia mencekal goloknya yang telah buntung, golok yang mana pun ada darah yang sudah mengental, sedang panahnya tidak kedapatan padanya. Mungkin ia yang tengah melarikan diri telah bertemu pula dengan musuh. Di pipi kanannya ada sebuah luka besar dan masih mengucurkan darah. Paha kudanya pun terluka, darahnya masih mengalir.

Tubuh panglim itu bergoyang-goyang, matanya bersinar merah.

“Air…air…lekas bagi air…” katanya, suaranya parau.

Kwee ceng lantas lari mengambil air dingin dari jambangannya, yang mana si panglima lantas saja sambar untuk digelogoki.

“Mari lagi satu mangkok!” dia meminta pula.

Panglima itu baru minum setengah mangkok, air itu sudah bercampur dengan darah yang mengalir dari lukanya, tetapi ia rupanya telah puas dapat air, tiba-tiba ia tertawa, hanya habis itu wajahnya berjengit, tubuhnya terus rubuh dari atas kudanya itu. Dia jatuh pingsan.

Kwee Ceng kaget dan bingung, ia menjerit. Tak tahu ia mesti berbuat apa.

Selang sekian lama, orang itu sadar dengan sendirinya.

“Lapar! Lapar!” kali ini ia bersuara.

Kwee Ceng lekas-lekas mengambilkan beberapa potong daging kambing, orang itu memakannya dengan sangat bernafsu, setelah itu ia dapat pulang tenaganya. Demikian dia bisa geraki tubuhnya untuk duduk.

“Adik yang baik, banyak-banyak terima kasih kepadamu!” dia mengucap. Dari lengannya ia tarik sebuah gelang emas yang kasar dan berat. “Untukmu!” dia tambahkan seraya dia angsurkan barang permata itu kepada si bocah.

Kwee Ceng menggeleng-gelengkan kepala. “Ibu telah pesan, kami harus membantu tamu tetapi tidak boleh menginginkan barang tamu,” ia bilang.

Orang itu tercengang, lalu ia tertawa terbahak¬-bahak. “Anak yang baik! Anak yang baik!” ia memuji. Ia lantas sobek ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya. Ia pun balut luka kudanya.

Waktu itu samar-samar terdengar suara larinya banyak kuda di arah timur, mendengar itu tamunya Kwee Ceng ini menjadi gusar sekali.

“Hm, dia tak hendak melepaskan aku!” serunya sengit. Ia pun lantas memandang ke arah timur itu. Kwee Ceng pun lantas ikut memandang juga.

Sekarang di sebelah suara berisik itu terlihat debu mengepul. Rupanya banyak sekali serdadu barisan berkuda tengah mendatangi.

“Anak yang baik, apakah kau ada punya panah?” tanya si tamu.

“Ada!” sahut Kwee Ceng yang terus lari ke dalam untuk ambil panahnya.

Orang itu perlihatkan roman girang, hanya tempo si bocah itu kembali, ia menjadi lesu. Tapi lekas sekali ia tertawa berkakakkan.

Kwee Ceng telah bawa gendewa dan anak panahnya yang kecil.

“Aku hendak bertempur, aku ingin panah yang besar….” katanya panglima kemudian, alisnya lantas menjadi ciut.

“Yang besar tidak ada….” sahut Kwee Ceng.

Ketika itu pasukan yang mendatangi telah tampak semakin tegas, benderanya pun berkibar-kibar.

“Seorang diri tak dapat kau lawan mereka, lebih baik kau sembunyi,” kata Kwee Ceng kemudian.

“Sembunyi di mana?” orang itu tanya.

Kwee Ceng menunjuki tumpukan rumput kering di belakang rumahnya.

“Aku tidak akan mengasih tahu kepada mereka,” ia berjanji tanpa diminta.

Orang itu mengambil putusan dengan segera. Ia insyaf, walaupun ia sudah dapat pulang tenaganya, dengan kudanya yang terluka, tak dapat ia lari lebih jauh. Jadi ada lebih selamat untuk sembunyikan diri. Lain jalan tidak ada.

“Baik, aku serahkan jiwaku kepadamu!” katanya. “Pergi kau usir kudaku!” setelah berkata demikian, ia pun lari ke tumpukan kering itu dan menyelusup kedalamnya.

Kwee Ceng mencambuk kuda itu, dua kali atas mana kuda yang hitam bulunya itu segera lompat kabur, sesudah lari cukup jauh, baru berhenti untuk makan rumput.

Kwee Ceng naik ke atas kudanya, ia larikan kuda itu bolak balik. Ia bisa berlaku tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu.

Tidak lama tibalah barisan berkuda itu. Mereka rupanya lihat bocah yang menunggang kuda itu, dua serdadu lantas menghampirinya.

“Eh, bocah, kau lihat tidak satu orang yang menunggang kuda hitam?” Itulah teguran dari satu diantara dua serdadu itu, suaranya kasar.

“Ya, aku lihat,” Kwee ceng menjawab.

“Di mana?” tanya serdadu yang kedua.

Kwee Ceng menunjuk ke barat. “Dia sudah pergi lama sekali,” ia menerangkan

“Bawa dia kemari” berseru perwira yang mengepalai pasukan itu. Ia tidak dengar pembicaraan di antara dua orangnya dengan si bocah.

“Mari ketemu pangeran!” berkata dua serdadu itu, yang lantas terus tarik les kuda orang untuk dibawa kepada sang pangeran.

Si pangeran telah sampai di depan rumah

“Aku tidak akan bicara!” Kwee Ceng telah mabil keputusan dalam hatinya.

Ia lihat banyak serdadu sedang mengiringi satu anak muda yang kurus dan jangkung, yang tubuhnya ditutupi dengan mantel merah. Ia lantas kenali itu adalah panglima yang pimpin tentara. Dia adalah putra sulung dari Temuchin.

“Apakah katanya bocah ini?” tanyanya membentak.

Dua serdadu itu sampaikan jawabannya Kwee Ceng.

Dengan matanya mengandung kecurigaan, putra sulung itu memandang ke sekitarnya. Ia lantas dapat lihat itu kuda hitam yang lagi makan rumput di kejauhan.

“Bukankah itu kudanya?” ia tanya, suaranya dalam. “Coba bawa kuda itu kemari!”

Begitu keluar perintah itu, sepuluh serdadu lantas bergerak dengan memecah diri dalam lima rombongan, untuk hampirkan itu kuda dengan dikurung, hingga walaupun binatang itu berniat lari, jalannya sudah tertutup. Dengan gampang ia kena ditangkap dan dituntun.

“Hm! Bukankah itu kudanya Jebe?” putra itu tanya.

“Benar!” sahut banyak serdadu, suara mereka riuh.

Putra sulung itu ayunkan cambuknya ke arah kepala Kwee Ceng.

“Dia sembunyi di mana, hai, setan cilik?!” tanyanya dengan bengis. “Jangan kau harap dapat mendustai aku!”

Jebe, panglima berseragam hitam yang sembunyi di dalam tumpukan rumput, bersembunyi sambil memasang mata, tangannya mencekal keras goloknya yang panjang. Ia lihat penganiayaan itu yang menyebabkan jidatnya Kwee ceng memberi tanda baret merah, hatinya menjadi memukul keras. Ia kenal si putra sulung – putra Temuchin itu – ialah Juji yang tabiatnya keras dan kejam. Ia memikir: “Pasti bocah itu tak tahan sakit dan ketakutan. Tidak ada jalan lain, aku terpaksa mesti keluar untuk adu jiwaku….”

Kwee Ceng kesakitan bukan main, mau ia menangis akan tetapi ia menahan sakit, ia cegah keluar air matanya. Dia angkat kepalanya dan menanya dengan berani: “Kenapa kau pukul aku? Mana aku ketahui dia bersembunyi di mana!”

“Kau membandel?!” bentak Juji. Lagi sekali ia mencambuk.

Kali ini Kwee Ceng tak dapat tak menangkis. Tapinya ia lantas berteriak : “Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!”

Ketika itu sejumlah serdadu sudah geledah rumahnya Kwee ceng, sedang dua yang lain menusuk-¬nusuk ke dalam tumpukan rumput kering itu.

Kwee Ceng lihat orang hendak tusuk bagian dimana panglima nelusup, tiba-tiba tangannya menunjuk ke tumpukan rumput yang jauh sambil ia berteriak: “Lihat di sana, benda apakah itu yang bergerak-gerak?”

Semua serdadu lantas berpaling mengawasi, mereka tidak lihat suatu apa yang bergerak. Kedua serdadu tadi pun sampai lupa untuk menusuk-nusuk terlebih jauh.

“Kudanya ada disini, dia mestinya tidak lari jauh!” Juji berkata pula. “Eh, setan cilik, kau hendak bicara atau tidak?!”. Dia mengancam pula Kwee Ceng dengan cambuknya diayun tiga kali beruntun.

Hampir di itu waktu dari kejauhan terdengar suara terompet.

“Kha Khan datang!” sejumlah serdadu berteriak.

Juji lantas berhenti mencambuk, ia putar kudanya untuk menyambut ayahnya, Temuchin, Kha Khan – Khan yang terbesar.

“Ayah!” demikian ia menyambut.

Ayahnya itu dirubungi banyak pengiringnya.

Berat lukanya Temuchin bekas terpanah Jebe, tetapi di medan perang, ia coba sebisanya akan menahan sakit, adalah sehabisnya pertempuran, ia pingsan beberapa kali, hingga ia perlu ditolong dengan Jelmi panglimanya serta Ogotai putranya yang ketiga, mesti isap darah – hingga darahnya itu ada yang kena ketelan dan dimuntahkan. Satu malam dia gadangi semua panglimanya serta keempat putranya. Baru keesokan harinya, di hari kedua, dia lolos dari ancaman bahaya maut.

Oleh karena itu, tentara Mongolia dikirim ke empat penjuru untuk cari Jebe, yang hendak ditawan, untuk hukum dia dengan dibeset empat kuda dan dicincang tubuhnya guna membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar itu.

Dihari kedua pada wkatu sore, sepasukan serdadu berhasil menemukan Jebe. Musuh itu dikepung tetapi ia dapat meloloskan diri sambil membinasakan beberapa jiwa serdadu Mongol. Ia sendiri pun telah terluka.

Kapan Temuchin dengar kabar itu, lebih dahulu ia kirim putra sulungnya, Juji, pergi menyusul dan mengejar, kemudian ia sendiri mengajak putranya yang kedua, Jagati, putranya yang ketiga, Ogotai dan putra sulungnya, Tuli, cepat menyusul. Inilah sebabnya kenapa ia datang belakangan.

“Ayah, kuda hitamnya bangsat itu telah dapat ditemukan!” ia memberitahukan.

“Aku tidak menghendaki kuda tetapi orangnya!” ayahnya itu menjawab.

“Ya!” sahut putra itu. “Pasti kita akan mendapatkannya!” Ia balik kepada Kwee Ceng . Kali ini ia hunus goloknya, ia bolang-balingkan itu ke udara.

“Kau hendak berbicara atau tidak!” ia mengancam.

Kwee Ceng telah mandi darah pada mukanya, ia jadi terlebih berani. “Aku tidak mau bicara! Aku tidak mau bicara!” ia berteriak berulang-ulang.

Mendengar itu, Temuchin berpikir, kenapa bocah itu mengatakan: “Tidak mau bicara” dan bukannya “Aku tidak tahu?” Maka ia lantas berbisik kepada Ogotai:

“Pergi kau bujuki ia hingga ia suka berbicara.”

Putra ketiga itu menurut sambil tertawa, muka ramai dengan senyuman, ia hampiri Kwee Ceng. Dari kopiah perangnya ia pun cabut dua batang bulu merak yang berkilauan.

“Kau bicaralah, akan aku berikan ini padamu…” ia kata seraya angsurkan bulu merak itu.

“Aku tidak mau bicara!” Kwee Ceng ulangi jawabannya.

Putra kedua dari Temuchin menjadi habis sabar. “Lepas anjing!” ia menitahkan.

Lantas pengiringnya muncul dengan enam ekor anjing yang besar. Bangsa Mongol paling gemar berburu, maka itu setiap keluarga bangsawan atau panglima perang mesti memelihara anjing-anjing peranti berburu, begitupun burung elang besar. Jagatai adalah putra paling gemar berburu, kapan ia pergi berburu, dia tentu bawa enam ekor anjingnya itu. Sekarang anjing itu diperintah dibawa mengitari kuda hitam, untuk diberi bercium bau, habis itu baru semuanya dilepaskan dari rantainya.

Kwee Ceng dengan Jebe tidak saling mengenal, hanya kegagahan panglima berseragam hitam itu sangat mengesankan kepadanya, hingga dengan lantas ia suka memberikan pertolongannya. Sekarang setelah ia dianiaya Juji, timbul kemarahannya, bangkit keangkuhannya dan tidak sudi ia menyerah. Kapan ia lihat orang melepas anjing, tahu ia panglima itu terancam akan ketahuan tempat persembunyiannya, untuk mencegah ia lantas bersiul memanggil anjingnya sendiri, anjing pembantu penggembala.

Enam ekor anjingnya Jagati sudah mulai mencium-¬cium ke tumpukan rumput kering, kapan anjing Kwee Ceng dengar panggilan majikannya, tahu ia akan tugasnya, ia mendahului menghalang di depan tumpukan rumput kering itu dan melarang enam ekor anjing itu menghampirinya.

Jagati menjadi tidak senang, ia perintah anjingnya maju, maka sekejap saja terjadilah pertarungan yang sengit sekali, gonggongan mereka sangat berisik. Sayang anjing penggembala itu jauh lebih kecil dan ia pun sendirian, ia lantas digigit di sana sini, banyak lukanya. Tapi ia gagah, dia tak mau mundur.

Hati Kwee Ceng menjadi kecil, tetapi ia penasaran dan marah, ia perdengarkan suaranya berulang-ulang menganjuri anjingnya melawan terus.

Hati Juji menjadi sangat dongkol, ia ayunkan pula cambuknya berulang-kali hingga Kwee Ceng merasakan sakit ke ulu hatinya, hingga ia rubuh bergulingan, tempo ia berguling sampai di kaki si putra sulung, mendadak ia angkat tubuhnya untuk sambar pahanya si Juji yang terus ia gigit.

Juji berontak tetapi ia tak dapat lepaskan pelukannya anak itu yang memegang ia dengan keras sekali.

Menampak sang kakak kelabakan, Jagatai, Ogotai dan Tuli menjadi tertawa bergelak-gelak.

Mukanya Juji menjadi merah, ia ayunkan goloknya ke lehernya si Kwee Ceng. Disaat batang lehernya bocah yang bernyali besar itu bakal menjadi putus, tiba-tiba sebuah golok buntung menyambar, mengenai tepat goloknya Juji itu. Nyaring bentroknya kedua senjata itu. Juji terperanjat, sebab goloknya hampir terlepas dari cekalannya.

Semua orang terkejut, antaranya ada yang berseru kaget.

Menyusuli goloknya itu, Jebe lompat keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia sambar Kwee Ceng, yang ia tarik tubuhnya dengan tangan kiri untuk disingkirkan ke belakangnya, terus dengan tertawa dingin, dia berkata: “Menghina anak kecil, tak malukah?!”

Lantas saja Jebe dikurung oleh serdadu Mongol, yang bersenjatakan golok dan tombak. Ia lemparkan goloknya.

Juji menjadi sangat gusar, ia meninju dada orang. Atas itu Jebe tidak membalas menyerang. Sebaliknya ia berseu: “Lekas bunuh aku!” Kemudian, dengan suara mendalam, ia menambahkan: “Sayang aku tak dapat terbinasa di tangannya satu orang gagah perkasa…!”

“Apa kau bilang?” tanya Temuchin.

“Jikalau aku dibinasakan di medan perang oleh orang yang dapat menangi aku, aku akan mati dengan puas,” sahut Jebe, “Sekarang ini burung elang jatuh di tanah, dia mati digerumuti semut!”

Habis mengucap begitu, terbuka lebar matanya ini panglima, dia berseru dengan keras.

Enam anjingnya Jagatai yang lagi gigiti anjingnya Kwee Ceng menjadi kaget, semuanya lompat mundur dengan ketakutan, ekornya diselipkan ke selangkangannya.








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar