Selasa, 18 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 012

Thian Tek telah angkat kaki dengan naik perahu. Ketika ia tarik Lie Peng keluar dari tempat berbahaya itu, lega hatinya apabila ia menoleh ke belakang, tak tampak ada orang yang mengejar atau menyusul. Ia cerdik, maka itu segera ia menuju ke sungai, malah tanpa memilih kendaraan air lagi, ia lompat naik ke sebuah perahu, ia ajak Lie Peng bersama.

“Lekas berangkat!” ia membentak tukang perahu sambil ia cabut goloknya.

Kanglam adalah daerah air, disana ada banyak sungai atau kali, dari itu, kendaraan air adalah alat penghubung atau pengangkut yang paling umum, sama saja dengan kuda atau keledai di Utara. begitu muncul kata-kata: “Orang Utara naik kuda, orang Selatan naik perahu.”

Tukang perahu itu ketakutan lihat orang demikian galak, ia buka tambatan perahunya, ia lantas mengayuh. Dengan lekas ia keluar dari daerah kota.

Thian Tek lantas asah otaknya: “Aku telah menimbulkan keonaran besar, tak dapat aku pulang untuk pangku pula jabatanku. Baiklah aku pergi ke Utara untuk menyingkir dulu dari ancaman bahaya. Semoga itu imam bangsat dan tujuh siluman dari Kanglam itu bertempur hingga mampus semuanya, supaya aku dapat kembali ke Lim¬an.”

Kudanya Po Kie lari pesat, tetapi ia hanya mondar-¬mandir di darat, tentu sekali ia tak dapat cari Thian Tek, apapula ia kenali roman orang itu. Ia tanya-tanya orang akan tetapi pertanyaannya tidak jelas.

Thian Tek tunjuki terus kelicinannya. ia menukar perahu beberapa kali. Berselang belasan hari, tibalah ia di Yangciu. Paling dulu ia mencari rumah penginapan. Ia telah memikir untuk cari suatu tempat untuk tinggal sementara waktu. Sebab bukanlah soal yang sempurna untuk terus-terusan berkelana dengan hati tidak tentram.

Hari itu selagi berada di dalam kamar, ia dengar suara Han Po Kie tengah berbicara sama pemilik penginapan, menanyakan tentang dia dan Lie Peng. Ia kaget tetapi ia berlaku tenang. Dari dalam kamarnya ia mengintai, memasang mata. Ia lihat dengan jelas seorang kate dampak yang romannya jelek sekali yang berbicara dengan lidah Kee-hin.

Setelah merasa pasti bahwa orang itu salah satu Cit Koay, ia tarik tangannya Lie Peng untuk diajak segera menyingkir dari pintu belakang. Kembali ia menyewa sebuah perahu. Tak sudi berjalan kaki. Ia berlayar terus ke Utara, hingga mereka sampai di perhentian Lie-kok-ek, di tepi telaga Bie San Ouw di wilayah propinsi Shoatang. Belum sampai setengah bulan ia berdiam di tepi telaga itu, Han Po Kie dapat susul. Malah Po Kie bersama dengan seorang gadis.

Adalah pikirannya Thian Tek, untuk berdiam diri di kamarnya, akan tetapi Lie Peng, yang merasa ada bintang penolongnya, sudah lantas menjerit-jerit. Akan tetapi ia wanita lemah, diringkus Thian Tek, dibekap mulutnya dengan selimut. Ia pun dipukuli. Setiap kali ia berlepas tangan atau mulutnya, ia terus berontak dan berteriak-teriak. Syukur untuk Thian Tek, Po Kie bersama kawannya yaitu Siuaw Eng, adiknya, tidak mendengar apa-apa.

Dalam sengitnya, saking khawatirnya, Thian Tek berniat membunuh Nyonya Kwee itu. Ia telah hunus pedangnya.

Nyonya Kwee telah tawar hatinya sejak kebinasaan suaminya, sebenarnya sudah memikir untuk bunuh diri, lebih baik ia binasa bersama musuhnya itu, menampak sikapnya Thian Tek itu, ia tidak takut, ia justru diam-diam memuji kepada roh suaminya: “Engko Siauw, engko Siauw, aku mohon kepadamu, ingin aku supaya sebelum datang saatnya, aku bertemu pula denganmu, kau lindungi aku, agar dapat aku membinasakan manusia jahat ini!” Lalu dengan diam-diam, ia siapkan pisau belati atau badik yang Cie Kee hadiahkan kepadanya.

Thian Tek tersenyum aneh, ia angkat tangannya untuk dikasih turun dengan bacokannya.

Lie Peng tidak mengerti silat, tetapi telah bulat tekadnya, maka itu sebaliknya dari ketakutan, ia justru mendahului sambil menubruk, ia menikam!

Thian Tek kaget dan heran. Inilah ia tidak sangka. Maka terpaksa ia gunai goloknya untuk menangkis.

“Trang!” demikian satu suara nyaring.

Saking kagetnya manusia busuk ini, ujung goloknya putus dan jatuh ke tanah dan ujung pisau belati menyambar terus ke dadanya. Dalam kagetnya ia buang diri ke belakang, tetapi tak urung, bajunya kena terobek, dadanya kena tergurat, hingga darahnya mengucur keluar. Coba Lie-sie bertenaga cukup, dadanya itu pasti telah tertancap pisau belati itu.

Untuk bela diri terlebih jauh, Thian Tek sambar sebuah kursi. “Simpan senjatamu!” ia membentak. “Aku tak akan membunuhmu!”

Lie Peng sendiri telah lemas kaki tangan dan tubuhnya, ia telah keluarkan tenaga terlalu besar, ia sudah umbar hebat hawa amarahnya tanpa merasa ia membuat kandungannya tergerak, hingga bayi di dalam perutnya itu meronta-ronta. Dengan letih ia jatuhkan diri di kursi, napasnya memburu. Tapi ia masih ingat akan pisau belatinya yang ia pegangi keras-keras.

Thian Tek jerih mendengar suara Han Po Kie, ia juga tak dapat lari seorang diri, sudah kepalang tanggung, ia terus membawa Lie Peng. Kali ini ia kembali naik perahu, tetap ia menuju ke Utara. Ia melalui Lim-ceng dan Tek-ciu dan tiba di propinsi Hoopak. Selama itu rasa takutnya tak jadi berkurang. Setiap ia mendarat, selama tinggal di penginapan, saban-saban ada orang mencari dia. Syukur ia waspada dan cerdik, selalu dapat ia menjauhkan diri dari mereka. Ia peroleh kenyataan, kecuali si kate terokmok dan si nona, ada lagi seorang lain yang mencarinya, seorang pincang dan bermata buta yang membawa-bawa sebatang tongkat besi. Syukur untuknya, tiga orang itu tidak kenali dia, walaupun kedua pihak bertemu muka, mereka itu tidak kenal dirinya. Ini yang menyebabkan ia selamat.

Tidak lama kemudian, Thian Tek dapat godaan lain. Dengan tiba-tiba otaknya Lie Peng terganggu, baik selama di penginapan, maupun di tengah perjalanan, nyonya Kwee suka ngoceh tidak karuan, ada kalanya ia robek bajunya atau bikin kusut rambutnya, hingga jadi menarik perhatian orang. Ia menjadi masgul dan bingung sekali. Kelakuan si nyonya itu gampang menimbulkan kecurigaan orang. Kemudian ia menjadi mendongkol. Ternyata si nyonya bukan gila benar-benar, ia hanya berpura--pura edan, untuk sengaja menarik perhatian orang, supaya menghambat perjalanan mereka – ke mana saja mereka menuju – meninggalkan bekas. Ia marah tetapi ia tidak bisa berlaku keras kepada nyonya itu kecuali ia mengancam agar si nyonya terus ikut. Ia jadi semkin hati-hati.

Ketika itu udara mulai berubah. Hawa panas mulai lenyap, sang angin sejuk mulai menghembus. Udara begini tidak terlalu mengganggu orang-orang yang membuat perjalanan, malah menyenangkan.





Thian Tek telah menyingkir jauh ke utara, akan tetapi ia tetap dibayangi pengejar-pengejarnya. Celaka, setelah berjalan jauh dan melewatkan banyak hari, bekalan uangnya mulai habis. Pada suatu ketika, saking uring-uringan, ia ngoceh seorang diri: “Selama aku pangku jabatan di Hangciu, bagaimana senangnya aku. Setiap hari aku bisa dahar dan minum enak, dapat ku bersenang-senang dengan wanita-¬wanita cantik, dasar pangeran Kim yang keenam itu yang kemaruk sama istri orang, telah celakai aku hingga begini…”

Justru ia ngoceh ini, mendadak ia ingat suatu. “Bukankah aku telah tidak jauh dari Yan-khia?” demikian ia ingat. “Kenapa aku tidak pergi kepada Liok-taycu?”

Liok-taycu adalah putra keenam dari raja Kim, pangeran Kim yang ia maksudkan. Tanpa ragu-ragu lagi, ia berangkat menuju ke Yan-khia, ibukota kerjaan Kim itu.

Ibukota Yan-khia itu disebut juga Tiong-touw atau Chungtu, artinya “Kota Tengah”. Sekarang ini kota Pakkhia (Peking). Di sana Thian Tek langsung mencari istana pangeran Tio Ong atau Chao Wang (Pangeran Tio atau Chao)

Ketika Wanyen Lieh dengar kedatangannya satu perwira dari selatan, ia lantas ijinkan orang menemui dia. Ia terkejut akan ketahui, tetamunya adalah Toan Thian Tek dan ingin numpangi kepadanya. Ia lantas mengerutkan kening, mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tak nyata. Didalam hatinya, ia berpikir: “Tentang Pauw-sie, aku masih belum dapat mempernahkannya, bagaimana aku bisa menerima Thian Tek? Ia tahu rahasiaku, kalau ia membocorkannya, urusan bisa menjadi ribet. Kenapa aku mesti meninggalkan satu, mulut hidup? Bukankah ada peribahasa kuno yang mengatakannya, “Yang cupat pikirannya kuncu, yang tak kejam bukannya satu laki-laki?” Karena ini ia lantas tersenyum.

“Kau baru sampai dari perjalanan jauh, kau tentunya letih, pergilah beristirahat dulu,” katanya dengan manis.

Thian Tek mengucap terima kasih. Ia sebenarnya hendak beritahu juga bahwa ia datang bersama Lie Peng, tetapi satu hambanya pangeran itu muncul dengan tiba-tiba mengabarkan ‘kunjungannya Sam¬-ongya’ – pangeran yang ketiga.

Wanyen Lieh bangkit dari kursinya. “Pergilah kau beristirahat!” katanya sambil ia mengibaskan tangannya, setelah mana ia bertindak untuk sambut tamunya.

Sam-ongya adalah Wanyen Yung Chi, putra yang ketiga dari Wanyen Ching, raja Kim. Ia bergelar Wei Wang atau Wee Ong, pangeran Wei atau Wee. Di antara saudara-saudaranya, ia bergaul paling erat dengan Wanyen Lieh, sang adik. Ia lemah, maka itu, dalam segala hal, ia suka dengari adiknya yang cerdik dan tangkas.

Pada masa itu pemimpin bangsa Mongolia, Temuchin sudah mulai kuat kedudukannya, tetapi takluk kepada bangsa Kim, ia malah membantu negara Kim memusnahkan bangsa Tartar, oleh karena mana, guna menghargai jasanya itu, raja Kim utus Wanyen Yung Chi, sang putra pergi menganugerahkan Temuchin sebagai Pak Kiang Ciauw-touw-su, semacam kommissaris tinggi. Di samping itu, kepergian putra ini sebenarnya guna melihat sendiri keadaan bangsa Mongolia. Karena tugasnya ini, Wee Ong telah datang menemui Tio Ong, untuk memohon pikiran.

“Bangsa Mongolia itu tak tetap tempat tinggalnya,” berkata Wanyen Lieh. “Mereka juga bertabiat kasar, mereka suka menghina yang lemah tetapi jerih terhadap yang kuat, untuk pergi ke sana, kakak harus membawa satu pasukan tentara yang terpilih, supaya melihat keangkeran kita, hatinya menjadi ciut. Denagn begitu, selanjutnya mereka tidak akan berani berontak.”

Wanyen Yung Chi terima baik nasehat itu, ia mengucapkan terima kasih, setelah omong-omong lagi sebentar ia pamitan. Ketika ia hendak bangkit, adik itu berkata kepadanya: “Hari ini ada datang padaku satu mata-mata dari kerajaan Selatan.”

“Begitu?” tanya sang kakak, heran, “Habis?”

“Dia datang untuk tumpangkan diri padaku,” sahut adik itu. “Itulah alasan, sebenarnya ia hendak mencari tahu keadaan kita bangsa Kim.”

“Kalau begitu, bunuh saja!” kata sang kakak.

“Tindakan itu tidak sempurna,” Wanyen Lieh bilang. “Kakak tahu sendiri kecerdikan bangsa Selatan itu. Mungkin mata-mata yang datang bukan dia satu orang, kalau dia ini dibunuh, yang lainnya pasti bakal jadi waspada. Aku pikir hendak mohon kakak bawa ia pergi ke utara.”

“Bawa ke Utara?” Yung Chi tanya.

“Ya” sahut Wanyen Lieh. “Di sana, di padang gurun, di mana tidak ada lain orang, dengan cari satu alasan kakak boleh hukum mati. Di sini aku nanti layani mata-mata lainnya.”

“Bagus!” Yung Chi bertepuk tangan, dia tertawa riang. “Sebentar kau kirim dia padaku, bilang saja dia hendak dijadikan pengiringku.”

Sang adik menjadi girang. “Baik!” katanya.

Sore itu Wanyen Lieh tidak panggil Toan Thian Tek menghadap lagi padanya, hanya sambil dibekali uang perak dua potong, dia suruh Thian Tek pergi ke istana Wei Wang untuk bantu pangeran itu, katanya.

Thian Tek tidak tahu rencana orang, ia menurut saja. Ia khawatir Lie Peng nanti buka rahasianya, ia tetap ajak nyonya itu. Ia mempengaruhinya hingga si nyonya diam saja. Sedang si nyonya ini masih mengharapkan datangnya pertolongan……..

Berselang beberapa hari, Wanyen Yung Chi berangkat ke Mongolia, dia ajak Thian Tek bersama.

Sementara itu perutnya Lie Peng makin menjadi besar, perjalanan jauh dengan menunggang kuda, sangat meletihkan. Tapi ia telah bertekad untuk membalas sakit hatinya, dia kuatkan hati dan tubuhnya untuk lawan penderitaan ini. Di lain pihak ia jaga diri baik-baik agar tentara Kim tidak tahu siapa dia. Demikian untuk beberapa puluh hari, dia menderita.

Wanyen Yung chi berangkat bersama seribu serdadu pilihan yang semua kelihatan gagah dan mentereng. Dia sengaja menunjuki pengaruh menurut nasihat Wanyen Lieh.

Pada suatu hari tibalah barisan ini di satu tempat dekat dengan perkemahan Temuchin. Wanyen Yung Chi lantas kirim belasan serdadunya untuk memberi kabar terlebih dulu sekalian menitahkan Temuchin datang menyambut utusan Kim.

Tatkala itu bulan kedelapan untuk di Utara, hawa dingin luar biasa. kapan sang malam tiba, salju beterbangan turun bagaikan lembaran-lembaran unga. Diwaktu begini, barisan dari seribu serdadu pilihan bangsa Kim berjalan berlerot bagaikan seekor ular panjang, berjalan di padang pasir seperti tak ada ujung pangkalnya.

Selagi pasukan ini berjalan terus, sekonyong-¬konyong orang dengar suara berisik yang datangnya dari arah utara, suara seperti pertempuran. Selagi Wanyen Yung Chi terheran-¬heran, ia lantas tampak lari mendatangi satu pasukan kecil serdadu.

“Sam-ongya, lekas kasih perintah untuk siap berperang!” demikian kata perwiranya yang pimpin pasukan kecil itu setibanya dia di depan pangeran Kim itu. Dialah Ouw See Houw.

Yung Chi menjadi kaget. “Pasukan musuh manakah itu?” dia bertanya.

“Mana aku tahu?!” sahut si perwira yang lantas saja mengatur barisannya. Ia keprak kudanya untuk maju ke depan.

Apa yang disebutkan tentara musuh itu, sudah datang dekat sekali. Mereka itu terpencar si segala penjuru, memenuhi bukit dan tegalan di hadapan angkatan perang Kim.

Ouw See Houw ada satu panglima yang berpengalaman yang diandalkan negaranya, sebaliknya Wanyen Yung Chi lemah, dia tak dapat berpikir, maka itu kepala perang ini telah melancangi pangeran itu untuk mengatur persiapan.

Segera juga terlihat suatu keanehan. Tentara ‘musuh’ itu bukan terus menerjang pasukan Kim, hanya mereka kabur keempat penjuru. Kapan Ouw See Houw sudah mengawasi sekian lama, ia dapat kenyataan, itulah pasukan sisa yang habis kalah perang, yang telah membuang panah dan tombak mereka, semua tidak menunggang kuda, roman mereka ketakutan. Disamping itu di belakang mereka menerjang sejumlah pasukan berkuda, hingga banyak serdadu yang kena terinjak-injak.

Ouw See Houw berlaku tabah. ia beri perintah akan tentaranya mengurung pangerang mereka, untuk melindungi. Mereka bersiap tanpa bersuara.

Tentara musuh yang kabur itu melihat pasukan Kim, mereka lari tanpa berani datang mendekati, mereka kabur jauh-jauh.

Tiba-tiba dari arah kiri terdengar ramai suara terompet tanduk, di situ muncul satu pasukan serdadu, yang terus menerjang tentara sisa. Tentara sisa ini berjumlah lebih besar tapi mereka tidak berdaya terhadap pasukan berkuda ynag jauh lebih kecil itu. Terpaksa untuk menyingkir, tentara sisa ini meluruk ke arah pasukan Kim.

“Lepaskan panah” Ouw See Houw memberi titah.

Tentara sisa itu segera diserang, sejumlah diantaranya lantas rubuh, akan tetapi jumlah mereka banyak, mereka pun lagi ketakutan, mereka menerobos terus. Dengan sendirinya mereka jadi bertempur sama tentara Kim. Hebat akibatnya untuk tentara Kim itu, yang berjumlah lebih sedikit. Kekalutan sudah lantas terjadi, musuh dan kawan bercampur menjadi satu, bergumul.

Ouw See Houw kewalahan, maka bersama sejumlah serdadu ia lindungi Wanyen Yung Chi mundur ke arah selatan.

Lie Peng ada bersama Toan Thian Tek, masing-masing menunggang seekor kuda, tetapi serbuan sisa tentara “musuh” itu demikian hebat, mereka dibikin terpencar, terpaksa nyonya Kwee lari sendirian. Syukur untuknya, karena sisa tentara itu main saling selamatkan diri sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Hanya sesudah lari serintasan, ia merasakan perutnya mulas, sakit sekali, hingga tanpa dapat ditahan lagi, ia rubuh dari kudanya. Ia pingsan.

Entah sudah lewat berapa lama, ia sadar sendirinya dengan perlahan¬-lahan. Betapa kagetnya, samar-samar ia dengar tangisan bayi. Ia belum sadar betul, tak tahu ia dirinya berada di dunia baka atau masih hidup. Ia hanya dengar tangisan itu makin lama makin keras. Ia geraki tubuhnya, tapi ia merasa ada benda yang membanduli perutnya.

Ketika itu masih malam, sang rembulan mengencang di atas langit, muncul di antara sang awan. Sekarang baru Lie Peng sadar betul, setelah ia melihat dengan tegas, tanpa merasa ia menangis menggerung-gerung. Nyatalah dalam keadaan seperti itu, ia telah melahirkan anak…….

Cepat nyonya itu berduduk, ia angkat bayinya itu, untuk kegirangannya, ia dapatkan satu bayi laki-laki. Ia mengeluarkan air mata kegirangan yang berlimmpah-¬limpah. Dengan gigitan ia bikin putus tali pusar, setelah mana ia peluki anaknya.

Di bawah terangnya sang rembulan, bayi itu nampak cakap, suaranya pun nyaring, potongan wajahnya mirip dengan suaminya Kwee Siauw Thian. Roman anak ini telah membantu menguatkan semangatnya, kalau tadinya ia telah putus asa, sekarang timbullah harapannya.

Entah dari mana datang tenaganya, Lie-sie mencoba menggunakan kedua tangannya, menggali pasir, membuat sebuah liang yang besar dimana bersama bayinya ia bisa menyingkir dari angin dan salju. Dari situ ia bisa dengar rintihan serdadu-serdadu yang terluka parah atau hendak mati dan ringkikan banyak kuda perang.

Buat dua malam satu hari, Lie Peng mendekam di liang itu, lalu dihari ketiga, tak tahan ia akan rasa laparnya. Air salju barang daharan, tidak ada sama sekali. Terpaksa ia merayap keluar. Di sekitarnya tidak ada seorang juga kecuali mayat-mayat serdadu dan kuda-kuda. Karena hawa dingin, semua mayat serdadu dan bangkai itu belum busuk. Cuma pemandangannya yang sangat menggiriskan hati. mau tidak mau, Lie-sie mesti kuatkan hati.

Lie-sie coba geledah tubuh myat-mayat itu cari rangsum kering. Ia dapatkan sejumlah sisa. Lalu ia coba menyalakan api, dengan itu ia pun dapat bakar daging kuda. Ia dapatkan golok dengan gampang karena di situ bergeletakan banyak alat senjata.

Selama tujuh atau delapan hari, Lie-sie dapat berdiam disitu bersama bayinya, setelah ia mulai dapat kesegarannya, ia gendong bayinya di bawa pergi ke arah timur. Ia mesti terus berjalan di tempat yang sepi dimana ada terdapat pepohonan dan tegalan rumput. Sampai tiba-tiba ia mendengar anak panah mengaung di atas kepalanya. Kaget ia, hingga keras sekali ia rangkul bayinya.

Segera terlihat dua penunggang kuda, mendatangi dari arah depan.

“Siapa kau?” tanya salah satu diantara dua penunggang kuda itu.

Lie Peng tidak buka rahasia, ia Cuma berkata lagi lewat di situ tempo ia terhalang oleh pertempuran tentara, hingga ia mesti melahirkan anak seorang diri.

Dua penunggang kuda itu adalah orang Mongolia, mereka itu berbaik hati, walaupun mereka tidak tahu jelas, apa katanya Lie.sie, mereka bawa si nyonya ke tendanya, untuk dikasih tempat meneduh dan makanan, untuk kemudian ibu dan bayinya itu tidur melepaskan lelah dan kantuknya.

Orang Monglia itu tidak berumah tangga, sebagai pengembala tak tentu tempat tinggalnya, dengan mengiring binatang piarannya, mereka biasa pergi ke timur atau ke barat untuk mencari makanan binatang, guna mencari air, sebagai rumah adalah tenda yang bertenung daripada bulu binatang, guna melindungi diri dari gangguan angin dan hujan. Demikian telah terjadi dengan Lie-sie, ketika kedua penolongnya hendak berpindah tempat, terpaksa ia ditinggal pergi. Akan tetapi dua orang itu tidak menolong kepalang tanggung, diwaktu hendak berangkat, mereka meninggalkan tiga ekor kambing.

Maka mulailah Lie Peng mesti bercape lelah, untuk hidup sendiri. Hidup sendiri, sebab bayinya masih belum mengerti apa pun. Ia mesti membangun satu gubuk dengan beratap daun. Untuk hidupnya, ia mulai bertenun yang hasilnya ia dengan barang makanan. Bisalah dibayangi, bagaimana hebat penderitaannya itu. Oleh karena kebiasaan, ia pun dapat hidup sebagai orang Mongolia, malah tanpa terasa enam tahun telah lewat. Ia tidak hendak melupakan pesan suaminya, ia beri nama Ceng kepada putranya. Anak itu bertubuh kuat dan cerdik, ia bisa membantu ibunya menggembala kambing. Selama tempo bertahun-tahun hidupnya Lie Peng ada lumayan.

Pada suatu hari bulan tiga, selagi udara hangat, Kwee ceng giring kambingnya untuk diangon. Ia sekarang memelihara anjing sebagai pembantu, dan untuk menempuh perjalanan jauh, ia menunggang kuda kecilnya.

Tepat tengah hari, selagi ia menjagai kambing-¬kambingnya, tiba-tiba kwee Ceng lihat seekkor burung elang yang besar sekali menyambar rombongan kambingnya. Semua binatang itu kaget. Malah yang seekor – anak kambing – kabur ke timur. Ia memanggil dengan berteriak-teriak, anak kambing itu lari terus. Maka ia naiki kudanya mengejar. Sekitar tujuh lie, baru ia dapat tangkap anak kambing itu, tapi selagi ia hendak menuntun pulang, mendadak ia dengar suara keras dan nyaring, hingga ia terperanjat. Mulanya menyangka kepada guntur, sampai setelah memasang kuping sekian lama, ia dengar suara seperti tambur berikut meringkiknya kuda serta suara orang banyak. Ia menjadi takut, belum pernah ia dengar suara semacam itu.

Tidak ayal lagi, Kwee Ceng tuntun kambingnya buat diajak mendaki tanjakan, bersembunyi didalam rujuk. Tapi ia ingin mengetahui sesuatu, ia keluarkan kepalanya untuk mengintai.

Jauh di sebelah depan nampak debu mengepul naik, lalu muncullah pasukan tentara, yang ia tidak tahu berapa jumlahnya, ia cuma dapatkan, yang menjadi kepala perang telah memberikan belbagai titahnya, maka tentara itu lantas memecah diri dalam dua barisan, timur dan barat. Ada serdadu yang kepalanya digabut pelangi putih, ada yang ditancapkan bulu burung warna lima.

Sekarang, sebaliknya daripada takut, hati Kwee ceng menjadi tertarik. Ia mengintai terus.

Tidak lama setelah barisan teratur rapi, segera terdengar suara terompet dari sebelah belakang, dari sana muncul beberapa barisan lain yang dikepalai oleh satu perwira muda jangkkung dan kurus, tubuhnya ditutupi dengan mantel merah. Ia memegang sebatang golok panjang, lantas ia pimpin tentaranya menyerbu, di situ sudah lantas terjadi suatu pertempuran.

Pihak penyerang ini berjumlah lebih sedikit, walaupun tampaknya mereka kosen, tidak lama mereka mesti mundur dengan sendirinya. Tapi di belakang mereka lantas tiba bala bantuan, mereka menyerang pula. Meski begitu, agaknya mereka ini tidak dapat bertahan lama.

Sekoyong-konyong terdengar suara terompet riuh, dibantu sama suara tambur, mendengar itu tentara penyerang lantas berseru kegirangan: “Kha Khan Temuchin telah datang! Kha Khan telah datang!”

Atas itu orang-orang yang lagi bertempur lantas menoleh ke arah timur selatan, dari mana datangnya suara terompet dan tambur tadi.

Juga Kwee Ceng turut beralih pandangannya. Tampak satu pasukan besar, yang mendatangi dengan cepat. Di tengah pasukan di panjar sebuah tiang yang tinggi di mana ada tergantung beberapa lapis bulu putih. Dari sana pun datang seruan-seruan kegirangan. Atas ini, tentara penyerang jadi dapat semangat, mereka menyerang pula dengan seru, hingga mereka dapat mengacaukan lawannya.

Tiang yang tinggi itu bergerak ke arah tanjakan bukit, Kwee Ceng dengan matanya yang jeli, dari tempat sembunyinya, mengawasi ke arah tiang itu. Dengan begitu ia dapat lihat satu perwira yang menunggang kuda, yang larikan kudanya itu naik ke tanjakan. Dia ada memakai kopiah perang dari besi, janggutnya merah, dari atas kudanya ia memandang ke medan pertempuran. Disamping dia ada beberapa pengiringnya.

Tidak berapa lama panglima muda yang bermantel merah larikan kudanya naik ke tanjakan.

“Ayah, musuh berjumlah lebih banyak berlipat ganda, mari kita mundur dulu!” berseru ia kepada orang di bawah tiang bendera itu.

Temuchin, demikian panglima yang dipanggil ayah itu, sudah melihat tegas keadaan pertempuran itu, ia Cuma berdiam sebentar, lantas ia berikan titahnya: “Kau bawa selaksa serdadu mundur ke timur!” demikian titahnya itu. Sambil berbuat begitu, ia tetap mengawasi medan perang. Lalu ia memberi perintah pula: “Mukhali, kau bersama pangeran kedua serta selaksa serdadu mundur ke barat, kau Borchu, bersama Chilaun serta selaksa serdadumu mundur ke utara! Dan kau, Kubilai, bersama Subotai serta selaksa serdadu, lekas mundur ke selatan! Kapan kau lihat bendera besar di kerek tinggi dan dengar terompet dibunyikan, kau mesti kembali untuk melakukan penyerangan membalas!”

Semua perwira itu menyahuti tanda mereka menerima titah, habis itu semua bawa barisannya menyingkir ke arah yang telah disebutkan tadi, maka sebentar saja, tentara Mongolia itu nampaknya lari serabutan keempat penjuru arah.

Tentara musuh bersorak-sorai melihat lawannya lari simpang siur, mereka pun segera melihat bendera putih besar dari Temuchin di atas bukit, mereka lantas saja berkoak-koak: “Tangkap hidup Temuchin! Tangkap hidup Temuchin!”

Lalu tentara itu dengan rapat sekali, berlomba mendaki bukit, mereka tidak ambil peduli lagi kepada musuh yang lari tunggang-langgang.

Temuchin tetap berdiam tegak di tempatnya, ia dikitari belasan pengiringnya yang dengan memasang tameng mereka itu, melindungi pemimpin dari sambaran berbagai anak panah. Dilain pihak adik angkat Temuchin, yaitu Sigi Kutuku, bersama Jelmi panglima yang kosen, dengan lima ribu serdadu, melakukan pembelaan di sekitar bukit itu, tak sudi mereka mundur dari serangan musuh, mereka tidak menghiraukan anak panah dan golok.

Kwee Ceng saksikan itu semua, ia gembira berbareng ngeri.

Setelah bertempur sekitar satu jam lebih, dari lima ribu serdadunya Temuchin itu, seribu lebih telah terbinasa, akan tetapi juga serdadu musuh, banyak yang telah rubuh, jumlahnya bebearap ribu jiwa, hanya karena jumlah mereka jauh lebih besar, mereka menang di atas angin, apa pula penyerang di pojok timur utara tampak lebih garang. Musuh telah mendesak hingga hampir sukar untuk dicegah lagi.

Putra ketiga dari Temuchin, yaitu Ogatai yang berada di samping ayahnya, menjadi cemas hatinya.

“Ayah, apa boleh kita kerek bendera dan membunyikan terompet?” dia bertanya.








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar