Selasa, 18 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 011

Mukanya Cie Kee menjadi merah, ia jengah hingga tak dapat ia membuka mulutnya. Selang sesaat baru ia dapat bicara. 
“Aku telah menimbulkan malapetaka, lain kali tak nanti aku datang kemari untuk membuat onar pula,” katanya seraya bangkit. “Tentang sakit hatinya Ciauw Bok Taysu serahkan itu padaku, dengan tanganku sendiri, akan aku bunuh jahanaman itu! Sekarang aku mohon diri…”

Ia menjura pula, lantas ia ngeloyor keluar.

“Tahan!” Tin Ok berseru.

Imam itu memutar tubuhnya. “Kwa Toako hendak menitah apa?” ia tanya. Tetap ia sadar.

“Kau telah lukakan parah saudara-saudaraku ini, apakah itu cukup dengan hanya kata-katamu barusan?” tanya Tin Ok.

“Habis Kwa Toako memikir bagaimana?” menegaskan Cie Kee. “Apa saja yang tenagaku dapat kerjakan, suka aku menuruti titahmu.”

“Tak sanggup aku menelan peristiwa ini,” Tin Ok bilang. “Aku masih ingin menerima pengajaran dari Totiang!”

Kanglam Cit Koay gemar melakukan amal akan tetapi mereka berkepala besar, sepak terjang mereka biasanya luar biasa, kalau tidak, tidak nanti mereka disebut “Cit Koay” – tujuh Manusia Aneh. Mereka semua lihay, jumlah mereka pun banyak – bertujuh – dari itu, orang malui mereka. Mereka sendiri belum pernah nampak kegagalan, malah dengan pernah mengalahkan seratus lebih jago Hoay Yang Pang, nama mereka jadi menggemparkan dunia Kang-ouw. Sekarang mereka kalah di tangan Khu Cie Kee satu orang, bagaimana mereka tidak menjadi penasaran?

Cie Kee terkejut. “Pinto telah terkena senjata rahasiamu, Kwa Toako,” kata ia, tetap tenang. “Tanpa pertolonganmu, pasti sekarang aku telah berada di Negara Setan. Di dalam urusan kita ini, walaupun benar pinto telah lukai kamu, kenyataannya adalah pinto telah rubuh, maka itu pinto menyerah kalah…”

“Kalau begitu, letaki pedang di bokongmu itu!” bentak Tin Ok. “Dengan meninggalkan pedangmu, suka aku melepas kau pergi!”

Bukan main mendongkolnya Cie Kee, di dalam hati ia berkata: “Aku telah beri muka kepada kamu, aku telah menghanturkan maaf dan mengaku kalah, kenapa kamu masih merasa belum cukup?” Ia lantas menjawab: “Pedang ini adalah alat pembela diriku, sama saja dengan tongkat Kwa Toako…”

Tin Ok tetap murka. “Kau pandang entang kakiku pengkor?!” ia membentak.

“Pinto tidak berani,” sahut si imam.

Dalam murkanya, Tin Ok bilang: “sekarang kita sama-sama terluka, sulit untuk kita bertempur lagi, maka itu baiklah lain tahun pada hari ini, aku minta totiang membuat pertemuan pula di Cui Siang Lauw!”

Cie Kee mengerutkan keningnya. Ia sangat masgul. Ia tahu Cit Koay bukan orang busuk, tak dapat ia layani mereka. Bagaimana ia bisa loloskan diri dari mereka itu? Pula sulit untuk melayani mereka bertempur pada lain tahun. Ia sendirian dan mereka bertujuh. Mungkin sekali, selama tempo satu tahun, mereka itu akan tambah kepandaiannya. Ia pun bisa berlatih diri tapi barangkali sukar untuk beroleh kemajuan. Ia terus berpikir, sampai ia dapat satu pikiran. “Tuan-tuan, kamu hendak adu kepandaian memutuskan denganku, tidak ada halangannya,” ia berkata. “Hanya untuk itu, syaratnya haruslah pinto yang menetapkannya. Kalau tidak, pinto suka menyerah kalah saja.”

Han Po Kie bersama Siauw Aeng dan A Seng bangkit berdiri, dan CU Cong dan lainnya yang terluka mengangkat kepalanya dari pembaringan. Hampir berbareng mereka itu berkata: “Kalau Kanglam Cit Koay bertaruh selamanya adalah pihak sana yang memilih tempat dan waktunya!”

Cie Kee tersenyum dapatkan orang demikian gemar menang sendiri.

“Apakah kamu suka terima syarat apapun?” dia tanya.

Cu Cong dan Coan Kim Hoat adalah yang tercerdik di antara saudara-saudaranya, mereka tidak jerih.

“Kau sebutkan saja syaratmu!” kata mereka. Di dalam hatinya mereka berkata: “Tidak peduli kau pakai akal licin apapun, mustahil kami nanti kalah…”

“Kata-katanya satu kuncu?” berkata imam itu.

“Sama cepatnya dengan satu cambukan kuda!” sahut Siauw Eng lantas.

Kwa Tin Ok masih sedang memikir ketika Khu Cie Kee berkata pula: “Mengenai syaratku ini, masih tetap berlaku kata-kataku tadi. Ialah umpama kata tuan-tuan anggap tidak sempurna, pinto tetap suka menyerah kalah!”




Dengan ini, imam itu memancing hawa amarah ke tujuh Manusia Aneh itu. Ia tahu benar Cit Koay adalah sangat besar kepala.

“Jangan kau coba pancing hawa amarah kami!” Tin Ok memotong. “Lekas kau bicara!”

Cie Kee lantas duduk.

“Syaratku ini ada meminta tempo yang lama,” ia menyahut dengan sabar. “Tapi apa yang kita akan adu adalah kepandaian sejati. Aku sendiri tidak menghendaki cara mengandali kekosenan saja, dengan menggunai alat senjata atau kepalan dan tendangan. Kepandaian semacam itu, siapa menyakinkan ilmu silat tentunya semua mengerti. Bukankah kita, kaum Rimba Persilatan yang kenamaan tak dapat berlaku demikian cupat sebagai anak-anak muda yang terlahir belakangan?”

Kanglam Cit Koay saling mengawasi, hati mereka masing-masing menduga: “Kau tidak hendak menggunai senjata, tangan dan kaki, habis apakah syaratmu itu?” Maka mereka menanti penjelasan.

Cie Kee berkata pula, dengan sikapnya yang agung. “Biar bagaimana, kita mesti melakukan suatu pertempuran yang memutuskan. Aku akan menghadapi kalian bertujuh, tuan-tuan! Kita bukan Cuma mengadu kepandaian, juga mengadu kesabaran, kita memakai akal budi. Marilah kita lihat, siapakah yang paling gagah – satu enghiong sajati!”

Kata-kata ini membuat darahnya Kanglam Cit Koay mengalir deras.

“Lekas bilang, lekas!” Han Siauw Eng. “Semakin sulit adanya syarat, semakin baik!”

Cu Cong tertawa. Ia berkata: “Kalau syaratmu itu adalah untuk mengadu bertapa atau membikin obat mujarab atau membikin surat jimat guna menangkap roh-roh jahat, maka kami bukanlah tandingan kamu bangsa imam!”

Khu Cie Kee pun tertawa.

“Pinto juga tidak berpikir untuk adu kepandaian sama Cu Jieko dalam hal mencuri ayam atau meraba-¬raba anjing atau mengulur tangan menuntun kambing!” Ia maksudkan ilmu mencopet.

Mendengar itu Siauw Eng pun tertawa. “Lekas bicara, lekas!” ia mendesak pula.

“Jikalau kita mencari pokok sebabnya,” kata Tiang Cun Cu dengan tenang, “Biangnya gara-gara hingga kita bertempur dan saling melukai adalah urusan menolong turunan orang-orang gagah, oleh karena itu, baiklah kita kembali kepada sebab musabab itu.”

Dengan “orang gagah” imam itu maksudkan “ho¬kiat” atau “enghiong”. Lalu ia menjelaskan tentang persahabatannya sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim – yang ia maksudkan si orang-orang gagah itu – yang mengalami nasib celaka, karena itu ia mengejar Toan Thian Tek. Ia juga tuturkan bagaimana caranya ia kejar Thian Tek itu, tetapi sangkin licinnya, Thian Tek selalu dapat meloloskan diri.

Selagi memasang kuping, beberapa kali Kanglam Cit Koay mengutuk bangsa Kim serta pemerintah Song yang sewenang-wenang dan kejam.

Habis menutur, Cie Kee tambahkan: “Orang yang Toan Thian Tek bawa lari itu adalah Lie-sie, istrinya Kwee Siauw Thian. Kecuali Kwa Toako bersama saudara Han, empat saudara lainnya telah pernah lihat mereka itu”

“Aku ingat suaranya Lie-sie itu,” kata Kwa Tin Ok. “Umpama berselang lagi tiga puluh tahun, tidak nanti aku dapat melupakannya.”

“Tentang istri Yo Tiat Sim, yaitu Pauw-sie,” Cie Kee menambahkan, “Aku masih belum tahu dia ada dimana. Pernah pinto melihat romanya Pauw-sie, tidak dengan demikian tuan-tuan. Inilah yang pinto hendak gunai sebagai syarat pertaruhan kita…”

Siauw Eng segera menyela: “Kami pergi tolongi Lie¬sie, kau pergi tolong Pauw-sie! Siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang, bukankah begitu?”

Khu Cie Kee tersenyum.

“Cuma menolong saja?” ia ulangi. “Untuk pergi mencari dan menolong, itu memang benar bukannya kerjaan gampang, akan tetapi selain itu, masih ada hal yang terlebih sukar lagi, yang meminta banyak waktu, tenaga dan pikiran..”

“Apakah itu?” Kwa Tin Ok bertanya.

“Akan aku jelaskan,” jawab si imam. “Dua-duanya Pauw-sie dan Lie-sie itu sama-sama lagi mengandung. Pinto ingin setelah dapat cari dan tolong mereka, kita mesti pernahkan mereka itu. Kita tunggu sampai mereka melahirkan anak, lalu anak-anak mereka itu kita rawat dan didik dalam ilmu silat. Pinto akan didik anak Yo Tiat Sim dan tuan-tuan bertujuh merawat anaknya Kwee Siauw Thian…”

Tujuh bersaudara itu membuka mulut mereka. Heran untuk kata-kata si imam.

“Bagaimana sebenarnya?” Han Po Kie tanya

“Kita menanti sampai delapan belas tahun,” menerangkan Tiang Cun Cu. “Itu waktu, anak-naka telah berumur delapan belas tahun, lalu kita ajak mereka ke Kee-hin, untuk membuat pertemuan di Cui Sian Lauw. Berbareng dengan itu, kita undang sejumlah orang gagah lainnya untuk menjadi saksi. Kita membuatnya pesta, sesudah puas makan minum, baru kita suruh kedua anak itu adu kepandaian. Di situ nanti kita lihat, murid pinto yang berhasil atau murid tuan-tuan bertujuh!”

Tujuh bersaudara itu saling memandang, tidak ada satu jua yang segara menjawab imam itu. Bukankah syarat itu sangat luar biasa?

“Jikalau tuan-tuan bertujuh yang bertempur sama aku, umpama kata kamu yang menang, itu tidak ada artinya,” Cie Kee berkata pula. “Bukankah tuan-tuan menang karena jumlah yang banyak lawan jumlah yang sedikit? Kemenangan itu bukan kemenangan yang mentereng! Dengan syarat kita ini aku nanti turunkan kepandaianku kepada satu orang, tuan-tuan pun mewariskan kepandaian kepada satu orang juga, setelah itu mereka bertanding satu lawan satu, andaikata muridku yang menang, bukankah tuan-tuan akan merasa puas?”

Akhirnya Tin Ok ketruki tongkat besinya ke lantai. “Baiklah, secara demikian kita bertaruh!” katanya.

Tapi Coan Kim Hoat campur bicara. Ia tanya: “Bagaimana kalau pertolongan kami terlambat, dan Lie-sie keburu dibikin binasa oleh Toan Thian Tek?”

“Biarlah kita sekalian adu keberuntungan juga!” sahut Cie Kee. “Jikalau Thian menghendaki aku yang menang, apa hendak dibilang?”

“Baik!” Han Po Kie juga turut bicara. “Memang menolong anak piatu dan janda juga adalah perbuatan yang mulia, umpama kami tak dapat lawan kamu, kami toh telah lakukan juga satu perbuatan yang baik.”

Cie Kee tonjolkan jempolnya. “Han Samya benar!” pujinya. “Tuan-tuan berkenan menolongi anak yatim piatu dari keluarga Kwee itu, untuk ini sekarang pinto wakilkan saudara Kwee menghanturkan terima kasih terlebih dahulu!” Dan ia lantas menjura dalam.

“Cara pertaruhan ini adalah terlalu licin,” berkata Cu Cong kemudian. “Cuma dengan beberapa kata-katamu ini, kau hendak membikin kamu bercapek lelah selama delapan belas tahun!”

Wajahnya Khu Cie Kee berubah, akan tetapi ia berdongak dan tertawa besar.

“Apakah ada yang lucu?” tanya Han Siauw Eng.

“Selama dalam dunia kang-ouw telah aku dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay,” sahut si imam yang ditanya, “Orang umumnya bilang mereka itu gemar sekali menolong sesamanya, mereka gagah perkasa dan mulia, tetapi hari ini bertemu dengan kamu – hahaha!”

Kanglam Cit Koay menjadi panas hatinya. Han Po Kie segera menghajar bangku dengan tangannya. Ia hendak bicara tetapi si imam mendahului.

“Sejak zaman dahulu hingga sekarang ini,” kata Cie Kee. “Kalau satu orang gagah sejati bersahabt, dia bersahabat untuk menjual jiwanya, ialah denagn segala urusan ia bersedia untuk mengorbankan dirinya. Pengorbanan itu tidak ada artinya! Bukankah kita belum pernah dengar bahwa di jaman dahulu ada Keng Ko dan Liap Ceng berhitungan?”

Wajahnya Cu Cong menjadi pucat, tak ada sinarnya. “Tidak salah apa yang totiang bilang!” katanya sambil goyang kipasnya. “Aku mengaku keliru! Baiklah, kita bertujuh akan terima tanggung jawab kita ini!”

Khu Cie Kee lantas berbangkit.

“Hari ini adalah tanggal dua puluh empat bulan tiga,” ia berkata pula, “Maka itu delapan belas tahun lagi, kita akan bertemu pula di rumah makan Cui Siang Lauw, untuk orang-orang gagah di kolong langit ini menyaksikan siapa sebenarnya laki-laki sejati!”

Habis berkata, seraya kibaskan tangannya, ia bertindak pergi.

“Nanti aku susul Toan Thian Tek!” kata Han Po Kie. “Dia tak dapat dibiarkan menghilang, hingga pastilah sulit kita mencari padanya!”

Di antara Cit Koay, dialah yang tidak terluka. Setelah berkata begitu, ia lantas lari keluar, untuk terus menaiki kudanya, guna susul Thian Tek.

“Sha-tee! Sha-tee! Cu Cong memanggil-manggil. “Kau tidak kenal mereka itu!”.

Dengan mereka, orang she Cu ini menyebutkannya Thian Tek dan Lie Peng.

Tetapi Po Kie si tak sabaran telah pergi jauh.


**** 011 ****








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar