Minggu, 16 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 010

Kota Kee-hin adalah tapal batas kedua negeri Gouw dan Wat itu, di situ kedua negara biasa berperang. Oleh karena disitulah tersiar luas perihal ilmu pedangnya si gadis Wat itu, yang sekarang dipunyai Han Siauw Eng. Ilmu silat itu asalnya tigapuluh enam jurus, di tangan nona Han, ia perbaiki, ditambah hingga menjadi empatpuluh sembilan jurus. Penambahan ini penting untuk si nona, karena ia berkecimpung di dunia kang-ouw -Sungai Telaga - sedang raja Wat pakai ilmu itu dalam peperangan, untuk membinasakan panglima dan merubuhkan kuda perang. Oleh karenanya, orang kang-ouw juluki si nona Wat Lie Kiam – Akhli pedang Gadis Wat.

Begitu lekas mengenali ilmu silatnya si nona, sambil di lain pihak melayani Han Po Kie, Tiang Cun Cu mendesak Siauw Eng, hendak ia merampas pedang si nona. Karena ini ia membuat si nona Han menjadi repot, beberapa kali Han Siauw Eng menghindari ancaman bahaya, sampai ia terdsak mundur ke tepinya patung Buddha.

Mendapatkan adik angkatnya terancam bahaya, Lam Han Jin dan Thio A Seng maju dengan berbareng, yang satu geraki pikulannya yang istimewa, yang lain mainkan “golok jagalnya” yang ujungnya lancip. Sikap kedua saudara ini sangat berbeda satu sama lain. Kalau Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan bungkam mulutnya, Siauw Mie To si Buddha tertawa terus-terusan mengoceh tidak karuan juntrungannya, hingga Khu Cie Kee tak ketahui apa yang diucapkannya.

Segera si imam serang tukang bacot itu. tangan kirinya yang menyambar. A Seng berkelit seraya melengak, ia tidak menyangka orang akali dirinya. Ia melengak, kakinya Cie Kee melayang, tepat mengenai lengannya. Tidak ampun lagi, goloknya terlepas dan melayang. Tendangan itu mendatangkan rasa sakit dan kaget. Walaupun begitu, sebagai jago ia tidak menghiraukan pedangnya yang terbang malah membarengi itu, ia membalas menyerang dengan tangan kirinya, berbareng dengan tangan kanan! Sebab sebat sekali, ia sudah lantas pernahkan diri.

“Bagus!” Tiang Cun Cu puji lawannya ini. Ia berkelit untuk serangan membalas sambil berkelit, ia mengatakannya: “Sayang! Sayang!”

“Eh, sayang! Sayang apanya?!” tegaskan Siauw Mie To

“Sayang ilmu silatmu yang sempurna ini!” sahut Cie Kee sambil ia layani terus musuh-musuhnya. “Kau begini lihay tetapi kau rendahkan dirimu dengan jalan menakluk kepada musuh negara!”

“Hai, imam bangsat, kau ngaco belo!” mendamprat A Seng saking murkanya. Mana ia mau mengerti dikatakan menakluk pada musuh, dalam hal ini, musuh bangsa Kim. Beruntun tiga kali, ia menyerang lawannya.

Cie Kee melawan sambil berkelit, akan tetapi untuk dua serangan yang belakangan, ia menangkis dengan jambangannya. Atau lebih benar, ia pasang jambangan itu sebagai sasaran, maka dua kali kepalannya A seng membuatanya jambangan itu bersuara nyaring.

Biauw Ciu Sie-seng merasa tidak enak karena berempat mereka mengepung, nyatanya mereka berada di bawah angin. Menampak demikian Coan Kim Hoat menjadi penasaran, dengan memberi tanda kepada kakaknya yang kedua, ia lompat menerjang, diturut oleh kakak angkatnya itu. Keduanya maju dari samping.

Genggamannya Lauw-sie In Hiap adalah sebatang bacin, yaitu alat peranti menimbangan barang, maka itu senjata bisa dipakai berbareng sebagai toya, gaetan dan gembolan, sedang Biauw Ciu Sie-seng si Pelajar Tangan Lihay, yang pandai ilmu menotok, dengan kipasnya senantiasa mencari jalan darah lawannya.

Khu Cie Kee tidak peduli ia dikepung berenam, ia tetap mainkan jambangannya sebagai senjata, sebagai tameng, karena dengan itu ia lebih banyak membela dirinya. Untuk membalas menyerang, ia pakai tangan kirinya yang bebas yang tidak bersenjatakan apa juga.

Ciauw Bok Taysu menjadi gelisah menyaksikan jalannya pertempuran itu yang makin lama jadi makin hebat. Dia akhirnya tidak dapat bersabar lagi.

“Tahan! Tahan!” ia berseru. “Tuan-tuan tahan! Dengar, aku mau bicara!”

Dalam waktu pertempuran yang hebat itu, tidak ada orang yang sudi dengar cegahannya itu. Malah Khu Cie Kee perdengarkan seruannya: “Kawanan pengkhianat tidak tahu malu, lihat!” Dan lantas ia mendesak dengan serangan tangan kirinya, dengan jari-jari tangan terbuka, juga dengan kepalan. Satu serangannya yang mengancam Thio A Seng hebat sekali, sebab Siauw Mie To tengah terdesak.

“Totiang, jangan turunkan tangan kejam!” Ciauw Bok Taysu berseru dalam kegelisahannya yang hebat. Ia merasa A Seng tidak akan luput dari bahaya.

Cie Kee memang menyerang dengan hebat sekali. ia dikepung berenam, ia merasa sudah waktunya menggunai tenaga banyak. Disana masih ada dua musuh segar Kwa Tin OK dan Ciauw Bok Taysu – inilah berbahaya untuknya. Jikalau mereka ini meluruk juga? Dari itu, ingin ia lekas-lekas menyudahi pertempuran itu. Ia khwatir juga, lama-lama nanti ia kalah ulet.

Thio A Seng punya ilmu kedot, ialah tubuhnya tidak mempan senjata tajam. Kekebalannya itu ditambah sama tenaganya yang besar, karena ia biasa berlatih mengadu tenaga dengan kerbau – sudah dagingnya keras dan kulitnya pun tebal. Maka itu, menampak ancaman bahaya, ia manjadi nekat.

“Biarlah!” dia berseru, dan ia sambuti serangannya si imam keras lawan keras. Tapi ia salah menaksir ketangguhannya sendiri. Di antara satu suara keras, lengannya itu terhajar patah tangannya Khu Cie Kee.

Cu Cong kaget bukan kepalang, ia lompat menotok jalan darah soan-kie-hiat dari Tiang Cu Cu. Totokan ini bukan untuk menolongi Thio A Seng, yang telah menjadi korban, hanya guna mencegah si imam ulangi serangannya yang lihay itu.

Khu Cie Kee memang tidak berhenti sampai disitu. Rupanya ia anggap belum cukup dengan korban Thio A Seng itu. Dengan tidak kurang bengisnya, ia ulangi serangan-serangannya yang dikhawatirkan Biauw Ciu Sie-seng.

Segera juga terdengar jeritannya Coan Kim Hoat. Batu dacinnya Lauw-sie In Hiap telah kena disambar oleh si imam, dacin itu terus ditarik dengan keras. Tidak dapat Kim Hoat pertahankan diri, kuda-kudanya hancur, tubuhnya terbetot. Menyusul tarikannya, Khu Cie Kee ayun terus tangan kirinya, guna menhajar batok kepala lawannya itu. Untuk cegah Lam Hie Jin dan Cu Cong, yang berada paling dekat, ia tolak jambangannya ke arah mereka itu.

Han Po Kie dan Han Siauw Eng kaget tidak terkira. Kim Hoat itu adalah saudara angkat mereka. Yang mereka sayangi sebagai saudara betul. Keduanya apungi tubuh mereka, untuk hampiri si imam, yang mereka terjang dengan berbareng. Cuma ini jalan untuk tolong saudara angkat mereka itu.

Mau tidak mau, Khu Cie Kee mesti berkelit. Coan Kim Hoat lompat melejit. Ia lolos dari gempuran ke batok kepalanya, ia mandi keringat. Mesti begitu, ia tidak lolos seluruhnya. Selagi melejit, kakinya si imam kena sambar pinggangnya, hingga ia lantas saja rubuh terguling, tidak dapat lantas bangun.





Ciauw Bok Taysu lihat keadaan hebat, ia tidak dapat tinggal peluk tangan terlebih lama pula, meskipun sebenarnya ia tidak menghendaki pertempuran, ia sungkan turun tangan. Begitulah ia maju dengan sepotong kayunya yang mirip ruyung, yang ujungnya hitam hangus. Ia menotok ke bawah ketiak.

“Dia ahli menotok, dia lihay,” pikir Khu Cie Kee, yang berkelit, setelah mana, ia juga layani paderi itu. Setelah turun tangannya paderi itu, Kwa Tin Ok tidak dapat berdiam terlebih lama lagi. Ia buta tetapi ia tahu dua saudaranya telah rubuh, adiknya yang kelima dan yang keenam. Ia perhatikan suara anginnya, suara beradunya setiap senjata. Di saat ia hendak gerakkan tongkat besinya, Coan Kim Hoat teriaki dia: “Toako, kau gunai thie-leng! Hajar dulu kedudukan cin, lalu kedudukan siauw-ko!”

Menyusul anjuran itu, dua rupa senjata rahasia menyambar sar! ser! kearah si imam. Yang satu menuju ke alis dan yang lain ke paha kanan sebelah dalam.

Cie Kee terkejut. “Dia hebat sekali!” pikirnya. “Dia buta tetapi dia bisa mengincar dengan tepat. Sebenarnya ada sulit walaupun ada orang luar yang memberi petunjuk menurut garis-garis patkwa…”

Ia lihat datangnya dua serangan itu, ia menangkis dengan jambangannya, maka setelah suara ting-tong, kedua senjata rahasia itu – thie-leng, atau lengkak besi – jatuh ke lantai.

Thie-leng adalah senjata rahasianya Hui Thian Pian-hok, mirip lengkak tetapi ujung tajamnya ada empat.

Coan Kim Hoat sudah berseru-seru pula: “Hajar tionghu, hajar lie! Bagus, bagus! Sekarang serang beng-ie!” Setiap kali ia berseru, setiap kali juga lengkak besi dari Kwa Tin Ok menyambar. Maka sebentar saja belasan lengkak telah membuatnya Cie Kee terpaksa main mundur saja. Imam ini lihay, biar ia tidak terluka, dia toh tidak kalah, ia melainkan tidak sempat membalas menyerang. Sebagai seorang yang cerdik dan gesit, ia dapat bersedia setiap kali Kom Hoat perdengarkan petunjuknya.

Lauw-sie In Hiap sendiri terancam lukanya, ia dapat menunjuki sasaran kepada toakonya, tetapi semakin lama, suaranya makin lemah, makin perlahan, pada itu tercampur rintihan juga, dan beda dengan dia adalah Thio A Seng, tidak terdengar suaranya sama sekali, hingga orang tidak tahu dia masih hidup atau sudah mati…

“Serang! Serang!” Coan Kim Hoat masih bersuara lagi. “Hajar tongjin…!”

Yang terakhir ini Kwa Tin Ok tidak turuti tetap sasarannya Kim Hoat itu. Ia juga tidak gunai satu-satu biji lengkak sebagaimana bermula tadi. Sekarang ia menimpuk berbareng dengan empat buah senjata rahasianya itu. Bukan anggota tongjin yang ia incar, hanya kedua bagian kiri dan kanan dari tongjin itu. Di kanan ialah bagian ciat dan sun, dan di kiri, bagian hong dan lie.

Berbareng dengan itu, Ciauw Bok Taysu dan Han Siauw Eng menyerang dari kanan. Kalut kedudukan mereka, semua sebab hampir berbareng, Cie Kee pun berkelit dari anggota tongjin sebagaimana diteriaki Kim Hoat. Karena itu dengan berbareng dua orang perdengarkan jeritan kaget. Jeritan itu menandakan adanya dua korban!

Jitu serangan Tin Ok kali ini, Cie Kee terlalu perhatikan tongjin, ia kena tertipu si buta, yang menyerang ke lain jurusan. Ia tidak lolos dari semua empat lengkak, yang satu mengenai pundak kanannya, hingga ia menjadi kaget dan menjerit karenanya.

Jeritan yang lain dikeluarkan oleh Han Siauw Eng. Selagi nona ini maju menyerang, lengkak yang mengarah bagian sun tepat mengenai pundaknya tanpa ia ketahui atau dapat berdaya mengelakkannya.

Kwa Tin Ok kaget berbareng girang. “Citmoay, lekas kemari!” ia memanggil. Ia tahu, lengkaknya sudah nyasar di tubuh adik bungsunya itu. Inilah yang membikin ia kaget. Ia girang sebab ia dengar suaranya si imam.

Han Siauw Eng tahu senjata rahasia kakaknya ada racunnya, benar sementara itu ia cuma merasai sakit sedikit, lama-lama sang racun akan bekerja mencelakai ia, justru ia lagi ketakutan, ia dengar teriakan kakaknya, tanpa sangsi lagi, ia lari kepada mendekat.

“Toako!” ia memanggil.

Tin Ok lantas rogoh sakunya, ia keluarkan sebutir pil kuning, dengan lantas ia jejalkan itu ke mulut adiknya. “Lekas kau rebahkan diri di taman belakang, di tanah!” kakak ini beri petunjuk. “Kau tidak boleh bergerak sedikit juga. Kau mesti tunggu sampai aku datang untuk mengobati!”

Sebenarnya Siauw Eng keras kepala, tetapi ia dengar kata, ia terus lari ke belakang.

“Jangan lari, jangan lari!” Tin Ok teriaki, “Tenangi hati, jalan perlahan-lahan saja!”

Siauw Eng menurut, ia lantas damprat dirinya sendiri. Siapa terkena senjata rahasia yang beracun itu, dia tidak boleh keluarkan tenaga, racun bisa mengikuti jalan darah segera menyerang ke ulu hati, kalau sampai itu terjadi, maka tidak ada obat lagi untuk menolong. Maka ia lantas berjalan dengan perlahan-lahan.

Cie Kee terkena senjata rahasia, ia tidak perhatikan itu, ia baru sadar kapan ia dengar teriakannya Tin Ok kepada Siauw Eng, yang dilarang lari. Justru itu, ia merasakan pundaknya sedikit kebas. Lantas ia menduga bahwa senjata rahasia itu ada racunnya. Niscaya sekali ia menginsyafi bahaya yang mengancam dirinya. Karena ini ia lantas tak berani melanjuti pertempuran itu. Dengan tiba-tiba ia rangsak Lam Hie Jin, muka siapa ia hajar.

Lam San Ciauw-cu lihat bahaya datang, ia tidak mau singkirkan diri, sambil pasang kuda-kudanya, ia lintangi pikulannya di depan mukanya. Itulah gerak “Tiat so heng kang” atau “ Rantai besi dilintagi di sungai”. Dengan senjatanya itu hendak ia sambut pukulan musuh.

Khu Cie Kee tahu maksudnya lawan itu, ia tidak batalkan serangannya, ia melangsungkannya. Maka pikulannya Hie Jin kena terhajar, begitu jeras, hingga tubuhnya si Tukang Kayu dari Gunung Selatan menjadi tergetar dan kedua tangannya dirasakan sangat sakit. Telapak tangannya pecah dan mengeluarkan darah, hingga genggamannya terlepas dan jatuh ke lantai. Tidak begitu saja, akibat lainnya menyusul. Hie Jin lantas merasa tubuhnya enteng, kedua matanya kabur, mulutnya manis, terus ia muntahkan darah segar!

Cie Kee telah dapat melukakan lawan yang menghalanginya, ia sendiri pun rasai pundaknya semakin kebas dan kaku. Sekarang ia merasakan bahwa jambangan di tangannya itu menjadi berat. Ia jadi khawatir. Maka sambil membentak keras, ia menyapu kepada Han Po Kie yang maju untuk serang padanya.

Si cebol lari berkelit.

“Ke mana kau hendak lari?!” bentak Tiang Cun Cu yang terus tolak tangan kanannya, sekalian diputar, dikasih turun. Dengan begitu, jambangannya jadi menungkrap dari atas, menyambar si cebol itu, selagi dia ini belum tiba di lantai, sehingga ia tidak bisa berkelit. Untuk tolong diri, ia pengkeratkan tubuhnya. Ketika mulut jambangan tiba di lantai, si cebol kena ketutup!

Setelah itu Cie Kee lepaskan tangannya dari jambangan itu, sebaliknya, ia hunus pedangnya. Ia lantas lompat mencelat ke arah genta, untuk membabat rantai gantungannya, berbareng tangan kirinya menolak tubuh genta itu yang beratnya mungkin ratusan ribu kati. begitu rantai putus, genta jatuh menimpa jambangan, kerena mana meski ia bertenaga besar, Han Po Kie tidak sempat berdaya untuk membalikkan jambangan itu, untuk keluar dari kurungan.

Sementara itu pucat mukanya Khu Cie Kee, peluhnya lantas turun menetes.

“Lekas lemparkan pedangmu, menyerah!” Kwa Tin Ok teriaki lawan itu. Berayal sedikit saja, jiwamu bakal tidak tertolong!”

Si buta ini merasa pasti mengenai lawannya itu.

Cie Kee tidak mau serahkan diri. Ia percaya, menyerah berarti celaka. Maka ia putar pedangnya, ia mau membuka jalan. Tapi Tin Ok dan Cu Cong merintanginya.

Tidak ada jalan lain, Cie Kee terjang musuhnya, si buta itu, ujung pedangnya menikam ke arah muka. Tin Ok dengar anginnya senjata, ia menangkis. Keras kedua senjata beradu, lalu Cie Kee menjadi kaget sekali. Dia hampir membikin terlepas pedangnya.

“Lihay tenaga dalam si buta ini! Mungkinkah ia melebihi aku?“ pikirnya. Ia penasaran, maka lagi sekali, ia menikam. Kali ini, ia insyaf kenapa ia kalah kuat. Nyatanya luka di pundaknya itu menyebabkan tenaganya jadi berkurang hingga separuhnya. Oleh karena ini, ia lantas pindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dengan tangan kiri ini, ia bersilat dengan ilmu silatnya “Kie Siang Kim-hoat” atau “Melukai Semua”. Inilah ilmu silat yang sejak ia yakinkan belum pernah ia pakai untuk melawan musuh. Dengan menggunai ini ia telah menjadi nekat. Dengan ini, di sebelah musuh ia sendiri pun bisa celaka. dengan “melukai semua” hendak diartikan “mati bersama”.

Segera juga Kwa Tin Ok, Cu Cong dan Ciauw Bok terarah semua bagian tubuhnya yang berbahaya. Maka repotlah mereka membuat perlawanan. Sejak turun gunung, Cie Kee belum pernah menemui lawan setimpal, inilah pertama kalinya. Tidak peduli tenaganya kurang, dengan berlaku nekat ia tetap berbahaya..

Baru belasan jurus paha Tin Ok telah tertikam pedang.

“Kwa Toako, Cu Jieko, biarkan si imam berlalu!” berseru Ciauw Bok Taysu.

Paderi ini lihat ancaman bahaya, ia memikir untuk mengalah tetapi justru ia serukan kawannya, ujung pedang Cie Kee mengenai iga kanannya hingga ia kaget dan menjerit, tubuhnya rubuh seketika!

“Imam anjing!” Cu Cong mencaci. “Imam bangsat! Racun ditubuhmu telah menyerang hatimu! Kau tikamlah pula tiga kali!”

Bangkit kumisnya si imam, mendelik sepasang matanya, tanpa bilang suatu apa, ia melompat kepada Manusia Aneh yang kedua itu. Cu Cong tidak melayani, ia hanya berlari-lari berputaran di pendopo kuil.

Sembari berlari, Cie Kee insyaf bahwa tak dapat ia menyandak lawan itu. Ia pun mulai terhuyung. Maka sambil menghela napas, ia berhenti mengejar. Tiba-¬tiba ia rasai matanya kabur, lekas-lekas ia pusatkan semangatnya. Sekarang ia baru ingat untuk angkat kaki saja. tetapi terlambat. Mendadak bokongnya mengasi dengar suara keras! Ia merasa sakit sekali, tubuhnya pun terhuyung!

Cu Cong yang cerdik itu telah timpuk imam itu dengan sepatunya, cukup keras timpukannya itu. Cie Kee merasai pikirannya kacau tetapi kembali ia memusatkannya. Justru itu, batok kepalanya telah terpukul keras. Kali ini Cu Cong menimpuk dengan bok-hie, itu tambur teroktok peranti mambaca doa.

“Sudah, sudah, hari ini Tiang Cun Cu mesti terbinasa di tangannya bangsat-bangsat licik…” ia mengeluh. Ia menahan sakit, ia melompat ke depan, akan tetapi ketika kakinya menyentuh tanah, kedua kakinya itu lemas, tubuhnya terus terguling!

“Bekuk dia dulu, baru kita bicara!” berseru Cu Cong. Ia dekati imam itu, yang rebah diam saja. Ia geraki kipasnya untuk menotok jalan darah di dada si imam. Tiba-tiba ia lihat tangan kiri Cie Kee bergerak, ia kaget. Ia menginsyafi bahaya, dengan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya. Tidak urung, ia merasakan dorongan suatu tenaga keras sekali, tubuhnya terpental ke belakang, belum lagi tubuh itu tiba di tanah, ia sudah muntahkan darah segar!

Cie Kee telah gunai tenaganya yang terakhir untuk serang lawannya itu.

Paderi-paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak mengerti ilmu silat, mereka juga tidak tahu bahwa guru mereka mengerti ilmu itu, dari itu selama pertempuran mengambil tempat, mereka semua pada sembunyikan diri. Sampai keadaan sunyi, baru mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, akan saksikan segala apa kacau dan orang rebah di sana sini, darah pun berhamburan. Mereka jadi ketakutan, mereka lantas pergi mencari Toan Thian Tek.

Orang she Toan itu terus sembunyi di dalam ruang dalam tanah, takutnya bukan main. Tempo ia diberitahu orang telah pada rubuh semua, ia masih khawatirkan tidak ada Khu Cie Kee di antara korban-¬korban itu. Ia suruh dulu kacung paderi untuk melihatnya, kemudian barulah ia keluar, hatinya lega. Ia telah diberitahu si imam lagi rebah diam dengan kedua mata tertutup.

Dengan tarik tangan Lie Peng, Thian Tek pergi cepat-cepat ke pendopo. Ia lantas hampiri Cie Kee, tubuh siapa dia dupak.

Imam itu masih belum putus jiwanya, ia bernapas berlahan sekali.

Thian Tek cabut goloknya. “Imam bangsat, kau kejar aku hingga aku sengsara, sekarang hendak aku kirim kau pulang ke Langit Barat!” ia kata, lalu ia ayunkan goloknya.

“Jangan….jangan bunuh dia…!” berseru Ciauw Bok Taysu, tapi suaranya sangat lemah. Ia rebah dengan terluka parah tapi ia dapat lihat perbuatan si keponakan murid.

“Kenapa?” Thian Tek tanya.

“Dia adalah imam yang baik…” sahut Ciauw Bok. “Dia Cuma berhati keras… Di sini telah salah mengerti…”

“Orang baik apa!” kata Thian Tek. “Dia perlu dibunuh dulu…!”

Ciauw Bok menjadi gusar. “Kau tidak mau dengar perkataanku?!” dia membentak. “Letakkan golokmu…!”

Thian Tek tertawa tergelak. “Kau ingin aku meletakkan golokku? Hahaha!” ia tertawa mengejek. Ia ayunkan pula goloknya, ia arahkan ke kepalanya si imam.

Dengan mendadak Lie Peng berteriak. “Kau…kau hendak membunuh orang lagi!” tanyanya.

Ciauw Bok Taysu juga gusar bukan main, dengan sisa tenaganya ia timpuk Thian Tek dengan sepotong kayu di tangannya.

Thian Tek berkelit tetapi ia terlambat, mukanya kena terhajar hingga rontok tiga buah giginya. Ia merasakan sangat sakit, ia jadi kalap, tanpa ingat budinya Ciauw Bok, ia lantas menyerang.

Di situ ada beberapa kacung paderi, mereka ini kaget. Satu kacung langsung tubruk Thian Tek untuk tarik lengannya, yang lainnya mengigit. Thian Tek gusar bukan kepalang, dengan kejam, dengan dua bacokan ia bikin kedua kacung itu rubuh.

Tiang Cun Cun, Ciauw Bok dan Kanglam Cit Koay adalah orang-orang yang lihay, akan tetapi di saat seperti ini, justru jiwa mereka sendiri terancam bahaya, mereka Cuma bisa membuka mata menyaksikan kejadian hebat itu.

Lie Peng berteriak-teriak pula: “Hai, manusia jahat, tahan!”

Tidak ada orang yang kenali Lie Peng, walaupun suaranya nyaring. Ini nyonya tetap mengenakan seragam, orang sangka ia adalah serdadu bawahannya Thian Tek. Cuma Tin Ok, walaupun ia buta, mendengar suara orang, dia tahu pasti orang itu wanita. Maka itu sembari menghela napas, dia berkata: “Ciauw Bok Hweshio, kami semua telah kau aniaya! Benar saja di dalam kuilmu ini kau sembunyikan perempuan….!”

Ciauw Bok terkejut, hatinya mencekat. Ia bukannya seorang tolol, segera ia pun sadar. Maka itu bukan main menyesalnya untuk kealpaannya itu.

“Binatang ini telah jual namaku, dia membikin aku mencelakai sahabat-sahabatku,” katanya dalam hati. Hampir ia pingsan saking kerasnya ia melawan kemendongkolannya. Ia kerahkan tenaganya dengan kedua tangan menekan lantai, ia lompat kepada Thian Tek.

Orang she Toan itu tidak menangkis, dia hanya menyingkir sambil egos tubuhnya.

Tubuh paderi itu lewat terus, dengan cepat, tepat mengenai tiang pendopo, maka tubuhnya rubuh dengan kepala pecah, tubuh itu tidak berkutik lagi.

Toan Thian Tek kaget, hatinya menjadi ciut, dari itu dengan sambar tangannya Lie Peng, ia lari keluar kuil.

“Tolong! Tolong!” Lie Peng berteriak-teriak. “Tidak, aku tidak mau pergi….!”

Tapi ia ditarik terus, hingga suaranya tidak terdengar lagi.

Kuil itu menjadi berisik, semua paderi menangis karena kebinasaan guru mereka. Mereka pun menjadi repot, akan tolongi orang-orang yang terluka, guna pindahkan mayat. Selagi mereka bekerja, tiba-tiba mereka dengar suara apa-apa dari arah genta, hingga mereka kaget. Kemudian belasan paderi itu menggunai dadung, akan tarik genta itu untuk dibikin terbalik, setelah mana mereka dapatkan satu tubuh tergelumuk menggelinding keluar. Mereka kaget, lari serabutan.

Tubuh bergelumbuk itu sudah lantas lompat bangun, ia mengeluarkan napas lega. Ia bukan lain daripada Ma Ong Sin Han Po Kie yang tadi kena ditungkrap Khu Cie Kee, hingga ia tak mampu keluar dari jambangan dan genta itu. Ia heran dan kaget saksikan pendopo itu, hingga ia berkoak-koak.

Kwa Tin Ok masih sadar walaupun ia terluka, ia panggil Po Kie, untuk sabarkan padanya. Ia pun keluarkan obatnya untuk suruh satu paderi pergi obati Khu Cie Kee dan Han Siauw Eng, ia sendiri memberi keterangan pada Po Kie perihal jalannya pertempuran, tentang Toan Thian Tek dan si wanita yang menyamar sebagai serdadu.

“Nanti aku susul dia!” teriak Po Kie sangkin gusarnya.

“Jangan!” Tin Ok mencegah. “Nanti ada waktunya untuk menghukum dia, sekarang kau perlu rawat dulu saudara-saudaramu yang terluka.”

Po Kie dapat dibikin sadar.

Cu Cong dan Lam Hie Jin adalah yang terluka paling parah. Thio A Seng patah lengannya, setelah pingsan, ia sadar, ia tidak terancam bahaya.

Po Kie lantas rawat semua saudaranya itu.

Paderi pengurus dari Hoat Hoa Sian Sie telah bekerja, disatu pihak ia ajukan pengaduan kepada pembesar negeri, di lain pihak ia kirim kabar pada Kouw Bok Taysu di Kong Hauw Sie, Hangciu. Jenazahnya Ciauw Bok Taysu pun lantas diurus.

Selang beberapa hari, Cie Kee dan Siauw Eng telah dapat ditolong dari racun. Cie Kee mengerti ilmu obat-¬obatan, ia lantas obati Tin Ok semua, ia pun uruti mereka, hingga selang beberapa hari, semuanya telah dapat bangun dari pembaringan.

Pada suatu hari, semua orang duduk berkumpul dengan dirundung kemasgulan hingga mereka pada berdiam saja. Mereka menyesal sekali sudah jadi korbannya Toan Thian Tek, hingga Ciauw Bok Taysu menjadi korban.

“Totiang, bagaimana sekarang?” Siauw Eng tanya Khu Cie Kee. Ia memangnya polos. “Totiang berkenamaan dan kami pun bukannya orang-orang yang masih hijau, kita sekarang rubuh di tangannya satu kurcaci, apa kata kaum kang-ouw bila peristiwa disini sampai tersiar? Tidakkah itu sangat memalukan? Tolong Totiang tunjuki kami bagaimana kami harus berbuat.”

“Kwa Toako, kau saja yang bicara,” kata Cie Kee menyahuti si nona. Ia sendiri pun bukan main masgul, menyesal dan mendongkolnya. Ia merasakan kesembronoannya. Coba ia tidak turuti hawa amarahnya dan berbicara dengan tenang sama Ciauw Bok, peristiwa celaka itu pasti dapat dicegah.

Tin Ok tertawa dingin. Ia memang aneh tabiatnya. Ia malu sekali yang ia bertujuh saudara kena dikalahkan Cie Kee, terutama dirinya sendiri, yang kena ditikam kakinya hingga tak dapat dia berjalan dengan leluasa.

“Totiang biasa malang melintang, mana kau melihat mata kepada kami!” katanya tawar, “Tentang ini untuk apa kau menanya pula kami…”

Cie Kee tahu orang masih mendongkol, ia lantas bangkit untuk menjura kepada tujuh saudara itu. “Pinto sangat menyesal, aku mohon maaf,” dia bilang.

Cu Cong semua membalas hormat, Cuma Tin Ok yang diam saja, ia pura-pura tidak tahu.

“Segala urusan kaum kang-ouw, kami tidak ada muka untuk mencampuri tahu lagi,” kata ketua Kanglam Cit Koay. “Selanjutnya kami akan berdiam di sini, untuk menangkap ikan atau mencari kayu. Asal Totiang tidak mengganggu kami, kami akan melewati sisa hidup kami…”








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar