Minggu, 16 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 009

Hari itu sehabis membinasakan Ong Tian Kian si pengkhianat, Khu CieKee pergi ke Gu-kee-cun kepada Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, untuk membuat perkenalan dengan caranya yang luar biasa itu, hingga kesudahannya ia labrak rombongan serdadu bangsa Kim serta orang-orang polisi yang mencari dirinya. Kejadian itu membuat ia sangat gembira.

Dari Gu-kee-cun, ia lantas pergi ke Hangciu, untuk pesiar di telaga See Ouw dan tempat sekitarnya yang indah, menghirup permainannya sang salju. Saat ia lewat di muka Ceng ho-hong, ia tampak lewat beberapa puluh serdadu dalam keadaan rudin, seragamnya tidak karuan, tombak dan gendewanya pada patah, seperti bekas kalah perang. Ia heran. ia tahu tidak ada peperangan dengan bangsa Kim, tidak ada huru-hara penjahat di dekat Hangciu. Habis kenapakah barisan serdadu itu? Ia tanyakan keterangan beberapa penduduk, juga mereka itu tidak tahu apapun.

Saking penasaran, ia ikuti rombongan serdadu sampai di tangsinya tentara itu. Ia tunggu sampai malam, lalu dengan diam-diam ia menyatroni. Ia bekuk satu serdadu yang sedang tidur pulas, yang ia bawa ke ujung jalan besar, untuk korek keterangan dari mulutnya. Kapan ia sudah dengar jawabannya, ia menjadi mengeluh. Nyatalah barisan itu adalah barisan yang telah pergi ke Gu-kee-cun untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian. Ia berduka berbareng murka akan dengar Siauw Thian binasa dalam pertempuran itu dan Tiat Sim terluka parah, entah kemana lolosnya tetapi ada kemungkinan dia pun tak kan hidup lama.

Imam ini sangat menyesal. Ia tahu, itulah akibatnya mengikat persahabatan sama dua orang she Yo dan Kwee itu. Pasti tak dapat ia umbar hawa amarahnya terhadap serdadu itu.

“Siapakah perwira atasanmu?” ia tanya.

“Ciehui tayjin kami,” sahut serdadu itu yang menyebutkan komandannya, “Dia she Toan, namanya Thian Tek.”

Cukup segitu, Cie Kee bebaskan serdadu itu, terus ia pergi cari Thian Tek di tangsi, tetapi ia tidak peroleh hasil, tidak tahu dimana tidurnya ciehui itu malam itu.

Besok paginya, Tiang Cun Cu melihat yang membuat darahnya mendidih. Di muka tangsi, di atas tiang bendera yang tinggi, ada di gantung kepalanya Kwee Siauw Thian untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Hampir dadanya meledak.

“Khu Cie Kee, oh, Khu Cie Kee!” katanya seorang diri. “Dengar baik-baik, kedua sahabat itu jamu padamu, kau sebaliknya melibatkan mereka hingga mereka celaka, rumah tangga mereka tercerai berai dan musnah! Jikalau kau tidak menuntut balas untuk mereka, masih dapatkah kau disebut laki-laki?!”

Saking mendongkol, ia hajar dengan tangannya tembok dimana tiang itu dipasang, hingga batu dan pasir kapurnya hancur. Kemudian malamnya, dia panjat tiang itu untuk turunkan kepalanya Siauw Thian, yang ia bawa ke tepinya telaga See ouw, untuk dikubur. Dia paykui di depan kuburan, airmatanya turun mengucur, diam-diam ia memuji dan berjanji: “Hari ini aku berjanji akan ajarkan ilmu silat kepada anak-anakmu, supaya kelak mereka menjadi orang-¬orang kosen, kalau tidak, tidak ada muka pinto menemui kalian di dunia baka.”

Segera Khu Cie Kee atur rencananya. Pertama¬-tama Toan Thian Tek mesti dicari, ciehui itu mesti dibinasakan guna membalaskan sakit hatinya Tiat Sim dan Siauw Thian. Habis itu dia hendak mencari istri dua sahabat itu guna menempatkan mereka di tempat yang aman. Kemudian ia akan mohon belas kasihannya Thian, supaya mereka dapat turunan, agar supaya anak-anak mereka dapat ia didik menjadi orang-orang sempurna seperti yang ia janjikan.

Beruntun dua malam Cie Kee telah satroni tangsi Wielok nomor enam, tidak berhasil ia mencari Toan Thian Tek, ia menduga mungkin Thian Tek adalah satu komandan yang tak berdisiplin dan doyan pelesiran, mungkin Thian tek tidur di luar tangsi, untuk mencari kesenangan. Oleh karena sudah habis sabar di hari yang ketiga setelah dua malam itu, dia ambil cara singkat saja. Dia pergi ke muka tangsi, untuk menegur: “Mana dia Toan Thian Tek?! Suruh dia keluar!”

Justru hari itu, Thian Tek ada di dalam tangsinya, ia lagi periksa Lie Peng, istrinya Siauw Thian. Pemeriksaan dilakukan sebab lenyapnya kepala Siauw Thian itu. Ia ingin Lie Peng sebutkan sahabat atau sahabat-sahabatnya Siauw Thian yang dirasa bernyali besar berani mencuri kepalanya Siauw Thien itu. Ia kaget akan dengar laporan ada orang cari padanya, lalu laporan itu disusul dengan laporan lainnya, sudah terjadi pertempuran dengan orang yang mencari dia. Segera ia melongok di jendela.

Satu imam, yang nampaknya gagah sekali, lagi bertarung dengan serdadu. Atau lebih tepat, rombongan serdadu lagi dilabrak oleh imam itu yang bersenjatakan dua serdadu yang ia cekal kakinya dengan masing-masing mereka mengeluh. Sejumlah serdadu lain menyerang dengan anak panah tetapi serangan itu tak ada hasilnya, si imam membela diri dengan dua serdadu korbannya itu.

Thian Tek gusar menyaksikan perkelahian semacam itu, dengan membawa goloknya, ia melompat keluar dari tangsi. “Kau hendak memberontak?!” ia menegur sambil menerjang.

Imam itu sambut serangan sesudah lemparkan satu serdadu. Ia gunakan tangannya yang kiri. Lengannya Thian tek lantas saja kena dicekal.

“Mana itu bajingan jahanam Toan Thian Tek?!” Cie menegur. Dia belum kenal perwira ini.

Thian Tek kesakitan, tubuhnya hampir tak dapat bergerak. tapi ia licik sekali. Ia dapat menerka maksud si imam.

“Toya mencari Toan Tayjin?” dia balik menanya. “Dia…..dia sekarang ada di telaga See Ouw, lagi pelesiran minum arak di atas perahu. Sebentar lohor ia baru pulang.”

Cie Kee kena diakali, ia lepas cekalannya.

Thian Tek segera berkata kepada dua serdadu yang ia kedipi mata: “Pergi kamu antar toya ini ke telaga untuk cari Toan Tayjin!”

Dua serdadu itu belum mengerti, mereka bingung.

“Lekas! lekas pergi!” Thian Tek membentak. “Jangan kamu bikin toya gusar!”

Baru sekarang dua serdadu itu mengerti, mereka lantas ngeloyor pergi.

Cie Kee ikuti kedua serdadu itu.

Thian Tek tidak berani berayal pula. Seberlalunya si imam, dia ajak barisannya meninggalkan tangsi Wie-ko itu. Dia bawa Lie Peng bersama dia. Dia pergi ke tangsi Hiong-ciat nomor delapan yang komandannya adalah sahabat eratnya, yang sama martabatnya. Ia tuturkan halnya si imam jahat.





“Mari kita bekuk dia!” berkata si komandan, yang terus hendak kumpulkan tentaranya. tapi mendadak terdengar suara ribut-ribut di luar tangsi, disusul sama masuknya laporan halnya satu imam datang mengacau.

Terang Khu Cie Kee balik kembali setelah ia tidak berhasil mencari Thian Tek, rupanya ia telah kompes kedua serdadu pengantarnya, sehingga mereka terpaksa mesti mebuka rahasia, hingga ia lantas menyusul ke tangsi Hiong-ciat nomor delapan itu.

Thian Tek takut bukan main, tanpa pamitan dari rekannya, dia ajak Lie Peng dan barisannya kabur dari belakang tangsi. Kali ini ia lari keluar kota, ke tangsi Coan-ciat nomor dua. Tangsi ini terletak di tempat sepi. Di sini ia selamat, si imam tidak berhasil mencari dia terlebih jauh. Baru sekarang ia bisa bernapas sedikit lega. Tapi ia mesti menderita pada tangannya, yang bekas di cekal si imam. Lengan itu bengkak, rasanya sakit sekali. Dia cari tabib tentara untuk obati tangannya itu. Nyata tulang lengannya patah, hingga tulang itu mesti disambung. Malam itu dia bermalam di tangsi itu, dia takut pulang.

Tepat tengah malam, Thian Tek mendusin dengan kaget. Di luar tangsi, serdadu-serdadu membikin banyak berisik. Sebabnya ialah satu serdadu jaga ketahuan lenyap begitu saja. Tentu saja ia menjadi sangat ketakutan. Kemana ia mesti menyingkir, supaya selamat? Akhirnya dia ingat pendeta dari Kong Hauw Sie, pamannya.

“Baik aku pergi ke paman,” dia ambil keputusan. Malah segera ia bekerja. Untuk memastikan keselamatannya terus ia bawa-bawa Lie-sie. Kalau perlu nyonya Kwee itu dapat dipakai sebagai tanggungan untuk jiwanya. Dan untuk mencegah kecurigaan orang luar, dia paksa Lie Peng dandan sebagai serdadu. Mereka keluar secara diam-diam dari belakang tangsi, tanpa pedulikan malam buta, mereka terbirit-birit menuju ke Kong Hauw Sie.

Pamannya Thian Tek ini sudah lama sucikan diri, nama sucinya Kouw Bok. Ia menjadi kepala di kuil Kong Hauw Sie itu. Sebenarnya sudah lama dia tidak berhubungan dengan keponakannya itu, sebab dia tidak setujui kelakukan sang keponakan, tak suka ia bergaul dengannya. Maka kaget ia akan dapatkan tengah malam itu sang keponakan muncul dengan tiba-tiba.

Dalam ilmu silat, Thian Tek berkepandaian tidak seberapa, dalam hal kecerdikan, dia melebihi kebanyakan orang. Dia tahu sebabnya kenapa pamannya itu masuk menjadi paderi, si paman sangat benci bangsa Kim dan sangat sesali pemerintah Song. Bukan saja pemerintah tidak membuat perlawanan, sebaliknya menteri dan panglima setia dibikin celaka. Umpama kata dia bercerita terus terang bahwa ia telah bekerja sama dengan bangsa Kim untuk menawan Kwee Siau Thian dan Yo Tiat Sim, dia pasti dapat susah di tangan pamannya itu. Dari itu, siang-siang dia telah karang sebuah alasan.

Kouw Bok Hwehio pandai ilmu silat. Dia malah menjadi ciang-bun-jin, ahli waris dari partai Hoat Hoa Cong golongan Selatan. Ia pernah memangku pangkat dalam ketentaraan. Sejak sucikan diri, ia tidak abaikan ilmu silatnya itu, dengan rajin ia berlatih terus. Karena ini, jerih Thian Tek terhadap pamannya.

“Mau apa kau datang kemari?” sang paman tegur keponakannya. Sikapnya dingin.

Thian Tek segera tekuk lutut di depan pamannya itu, ia manggut-manggut. “Keponakanmu telah orang perhina,” katanya dengan suara susah dan masgul. “Peehu, aku mohon pertolonganmu…”

“Kau tinggal di tangsi tentara, kau memangku pangkat, siapa berani perhina padamu?” paman itu tanya pula.

Terus Thian Tek kasih lihat roman sangat berduka. “Aku diperhina satu imam,” dia menyahut dengan cerita karangannya, “Imam itu kejar aku hingga tak tahu kemana aku mesti singkirkan diri. Peehu, dengan memandang kepada muka ayah, aku minta kau suka tolong keponakanmu ini….”

Melihat roman orang, Kouw Bok merasa kasihan juga.

“Kenapa itu imam kejar kamu?” ia tanya.

Thian Tek sudah bangun berdiri, lekas-lekas dia berlutut pula.

“Celaka, keponakanmu celaka,” dia menjawab. “Kemarin dulu aku pergi ke barat jembatan Ceng Leng Kio. Aku turur beberapa kawan. Disana kami bermain-¬main di Lam-wa-cu di bawah rangon Hie Cun Lauw….”

“Hm…!” sang paman perdengarkan suara di hidung.

Lam-wa-cu itu diambil dari kata-kata wa-sia, dan wa-sia berarti “rumah genting”. Lebih jauh, wa-sie itu diambil sebagai arti ringkas dari sebutan, “Diwaktu datang, genting utuh; diwaktu pergi genting pecah”. Lebih tegas lagi bermaksud, “gampang berkumpul, gampang bubar”. Tapi maksudnya yang paling jelas ialah: Di jaman Song itu, setelah pemerintahan dipindah ke selatang, untuk mengikat hati tentara, pemerintah mengadakan apa yang dinamakan wa-sia itu di dalam dan di luar kota Hangciu. Itulah tempat pelesiran serdadu. Penghuni wan-sia adalah wanita-¬wanita melarat yang tidak punya sanak kandung. Mulanya itu mereka jadi barang permainan tentara, belakangan orang berpangkat atau sembarang hartawan pun dapat permainkan mereka.

Thian Tek pura-pura tuli untuk ejekan pamannya itu. Ia omong terus: “Aku ada punya satu nona kenalan, hari itu aku minum arak bersamanya. Tiba-tiba muncul imam itu, dia memaksa si nona melayaninya…”

“Mustahil seorang suci pergi ke tempat semacam itu!” Kouw Bok menyela.

“Tapi kejadiannya benar demikian. Maka itu aku telah singkirkan dia, aku suruh dia pergi. Nyata dia sangat galak. Dia damprat aku, dia katakan aku bakal terpisah kepala dari badanku, hingga tak perlu aku main gila.”

“Apa maksudnya dengan kata-katanya kepala terpisah dari badan?” tanya Kouw Bok lagi.

“Dia menjelaskan, tak lama lagi tentara bangsa Kim akan datang menyeberang ke sini, tentara itu bakal membunuh habis semua pembesar dan tentara kita…”

Kouw Bok lantas saja menjadi gusar. “Dia berani mengatakan demikian?!”

“Benar, dasar tabiatku jelek, aku tegur dia dan jadi berkelahi karenanya. Sayang aku bukan tandingan dia itu. Aku lari, dia mengejar, mengejar terus-terusan, karena habis jalan, terpaksa aku lari ke mari. Aku minta peehu suka tolong aku….” Thian Tek pura-pura merengek.

“Aku adalah seorang suci, tak dapat aku urus perkara main perempuan kamu ini,“ berkata paderi itu.

“Tolong, peehu,” Thian Tek merintih. “Tolong untuk kali ini saja. Aku tak berani main gila lagi….”

Dasar orang suci dan mengingat juga kepada almarhum saudaranya, hati Kouw Bok tergerak.

“baik,” kata dia akhirnya, “Untuk beberapa hari kau boleh berdiam di sini. Aku larang kau main gila pula!”

Thian Tek menghanturkan terima kasih berulang¬-ulang.

“Satu pembesar tentara begini tidak punya guna, ah….” Kouw Bok mengeluh. Ia menghela napas panjang.

Lie Peng sudah diancam oleh Thian Tek, walaupun ia tahu orang ini berdusta, ia tutup mulut.

Lewat lohor, tie-kek-cung, paderi tukang layani tamu, lari masuk dengan tegesa-gesa, ia menemui Kouw Bok dan melaporkannya dengan gugup: “Di luar ada satu imam, galak dia, dan dia minta Toan Tiang-khoa keluar menemuinya….”

Thian Tek adalah satu perwira, maka dia dipanggil tiang-khoa.

“Panggil Thian Tek,” Kouw Bok menitah.

“Dia, benar dia…” kata Thian Tek, semunculnya dia.

“Imam itu sangat galak, dia adalah paderi dari partai mana?” tanya sang paman.

“Entahlah dia imam dari desa mana,” Thian Tek mendusta tak kepalang tanggung. “Sebenarnya tak seberapa ilmu silatnya, dia Cuma bertenaga besar, dasar aku yang tidak punya guna, aku tak sangggup lawan dia…”

“Baiklah, nanti aku temui dia.”

Kouw Bok pakai jubahnya, terus ia pergi keluar. Ia lantas bertemu sama si imam, Khu Cie Kee, selagi imam itu hendak memaksa memasuki pendopo walaupun paderi penjaga pendopo mencegahnya. Ia maju mendekati, ia terus tolak bahu si imam itu. Ia nampaknya menggerakkan tangan dengan perlahan tetapi ia menggunakan tenaga dalam. Ia ingin mendorong imam itu keluar pendopo, tapi begitu ia kena langgar bahu si imam, ia kaget sekali. Ia kena langgar daging yang empuk bagaikan kapas. Celakanya, waktu ia hendak tarik pulang tangannya, ia telah terlambat, diluar kendalinya, tubuhnya tertolak mundur keras sekali, tidak ampun lagi ia terlempar membentur patung Wie Hok di pendopo itu, sudah tentu benturan itu menimbulkan suara yang keras, separuh patung pun hancur!

Dalam kagetnya yang tak terkira, Kouw Bok berpikir, “Dia lihay sekali, ia bukan Cuma besar tenaganya…” Lekas-lekas ia rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat seraya menanya: “Ada pengajaran apakah maka totiang datang berkunjung ke kuil kami ini?”

“Aku datang mencari satu bangsat busuk she Toan!” Cie Kee menjawab ringkas.

Kouw Bok insyaf bahwa ia bukan tandingan ini imam, ia berlaku sabar.

“Seorang pertapa berpokok kepada belas kasihan dan murah hati, kenapa totiang berpandangan sama dengan seorang biasa saja?” ia tanya.

Cie Kee tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya bertindak masuk. Lebar tindakannya itu.

Ketika itu, dengan seret Lie Peng, Thian Tek sudah umpatkan diri ke dalam sebuah kamar, karenanya tentu saja ia tak dapat dicari. Cie Kee juga tidak berani menggeledah, sebab ia dapatkan kenyataan, di hari-¬hari dari musim semi itu Kong Hauw Sie kedatangan banyak penduduk yang bersujud, penduduk pria dan wanita. Sebagai seorang yang beribadat, ia tak mau mengganggu kesujudan banyak orang itu. Dengan tertawa dingin, terpaksa ia berlalu.

Kouw Bok lirik tie-kek-ceng untuk suruh muridnya itu antar tetamu tak diundang itu.

Setelah mengetahui orang sudah pergi, Thian Tek keluar dari persembunyiannya.

“Mana dia hanya satu imam dusun!” kata Kouw Bok dengan mendongkol. “coba kalau dia tidak berlaku murah, jiwaku pasti sudah melayang!”

Thian Tek membungkam, ia tak berani membuka mulut.

“Dia sudah pergi jauh,” kata tie-kek-ceng, yang muncul di depan gurunya.

“Apakah dia mengucapkan sesuatu?” tanya Kouw Bok setelah berdiam sesaat.

“Dia tak bilang apapun,” jawab muridnya itu.

“Ini aneh,” mengatakan Kouw Bok. “Apakah ada sikapnya yang aneh selagi dia hendak berlalu?” tanya lagi.

“Tidak, kecuali setibanya ia di mulut pintu pekarangan, dia sandarkan diri di dua singa-singaan batu, agaknya ia sangat letih,” sahut tie-kek-ceng. “Dia membuang napas, habis itu dia angkat kaki sambil tertawa haha-hihi.” lanjut muridnya lagi.

“Ah, celaka, celaka….” Kouw Bok lantas mengeluh.

“Celakalah singa-singaan kita itu, yang usianya tetelah beberapa ratus tahun…” Dan tangannya melayang ke muka Thian Tek. “Singa-singaan itu musnah di tanganmu!” katanya, habis mana ia lari keluar.

Thian Tek dan tie-kek-ceng menjadi heran, lebih-¬lebih Thian Tek yang mukanya menjadi bengap dan merah, hingga ia mesti bekapi mukanya itu. Keduanya turut lari keluar, akan susul Kouw Bok.

Di pintu pekarangan, Kouw Bok Hweshio berdiri bengong mengawasi sepasang cio-say, singa-singaan batu, yang disebutkan tadi. Nampak romannya yang sangat berduka dan menyayangi singa-singaan itu.

“Kenapa peehu?” sang keponakan tanya.

“Ini takdir…” sahut si paderi dengan masgul. “Aku keliru sudah menyalahkan kau…. Kau tahu, sepasang cio-say ini adalah barang peninggalan jaman Lam Pak Tiauw, ketika itu Kaisar Liang Bu Tee telah memanggil tukang yang pandai untuk membuatnya. Sampai sebegitu jauh, aku pandang Cio-sang itu sebagai mustikanya Kong Hauw Sie. Sekarang….ah!” Ia menghela napas panjang.

Thian Tek masih tidak mengerti. Ia awasi cio-say itu, yang tidak kurang suatu apa. Oleh karena penasaran, ia dekati singa-singaan batu itu, ia raba kepalanya. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Seperti tanpa merasa, begitu kena diraba, kuping dan hidungnya cio-say itu runtuh jatuh. Ia segera tarik pulang tangannya itu, matanya mengawasi pamannya.

Kouw Bok menghela napas pula. “Cio-say ini telah dirusak si imam dengan menggunakan tenaga dalam…” katanya.

Tie-kek-ceng heran, ia pergi tolak tubuh cio-say yang satunya lagi. Tiba-tiba saja, singa batu itu hancur dan rubuh, bertumpuk bagaikan puing. Tentu saja ia kaget hingga mukanya pucat. “Eh…kenapa jadi begini…? katanya.

“Luar biasa sempurnanya tenaga dalam dari imam itu,” kata Kouw Bok, suaranya perlahan dan penuh rasa sangat menyesal. “Cio-say, cio-say, untuk beberapa ratus tahun kamu menjaga pintu kuil ini, maka sekarang, pergilah kamu dengan baik-baik…” Kemudian dia berpaling kepada Toan Thian Tek. Ia berkata pula: “Dia demikian lihay, apa mungkin ia sudi layani kau yang begini hina memperebuti segala bunga berjiwa?”

Thian Tek kaget, tidak berani dia membuka mulutnya.

“Adikku seperguruan, Ciauw Bok Taysu, lebih pandai sepuluh lipat daripada aku, mungkin dia sanggup melayani imam itu,” kata Kouw Bok kemudian. “Pergilah kau kesana, kepada suteeku itu.“

Meyaksikan lihaynya Khu Cie Kee, Thian Tek tahu tidak selamat ia berdiam terus di Kong Hauw Sie ini, dari itu ia tidak bantah pamannya itu, ia cuma minta surat perantara, lalu dengan menyewa perahu, malam itu ia ajak Lie Peng berlayar ke Kee-hin, untuk pergi menumpang pada Ciauw Bok Taysu.

Paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak menduga apa-¬apa, ia tidak sangka yang kawannya Thian Tek adalah satu wanita dalam penyamaran, ia terima mereka itu menumpang.

Keras adalah hatinya Khu Cie Kee, ia berhasil menyusul Thian Tek. Kebetulan ia lihat Lie Peng di dalam tamannya kuil. Ia mengawasi, kecurigaannya timbul. Sayang ia terlambat. Ketika kemudian ia lompat masuk ke dalam pekarangan, Lie Peng sudah disembunyikan Thian Tek dalam ruang bawah tanah.

Ingat Lie Peng, Khu Cie Kee ingat Pauw-sie. Ia mau percaya, Pauw-sie pun disembunyikan di dalam kuil Hoat Hoa Sian Sie itu. Maka itu ia ketemukan Ciauw Bok Taysu, ia minta supaya Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dengan matanya sendiri, ia tidak mau percaya sangkalannya paderi itu, ia berkeras.

Ciauw Bok Taysu merasa tidak ungkulan melawan imam itu, begitu ia ingat pada Kanglam Cit Koay, ia pergi minta bantuannya tujuh Manusia Aneh dari kanglam itu. Demikianlah mereka berkumpul di restoran Cui Sian Lauw, sampai setiba Tiang Cun Cu dengan jambangan araknya yang istimewa itu.

Habis menutur Ciauw Bok Taysu menambahkan: “Telah lama aku dengar Tiang Cun Cu lihay, sekarang kita dapat buktikan itu. Turut penglihatanku, dia seperti bukan hendak mengacau, maka aku mau percaya, pada ini mesti terselip salah mengerti.”

“Aku pikir baiklah minta datang dua orang yang kakakmu itu perkenalkan,” Kim Hoat menyarankan. “Coba kita tanyakan keterangannya.”

“Benar,” Ciauw Bok Taysu menyatakan akur. “Aku memang belum pernah tanyakan sesuatu kepada mereka.”

Paderi ini hendak suruh panggil Thian Tek tempo Tin Ok peringatkan: “Ciauw Bok Suheng, mungkin imam itu menyusul kita, maka kalau kita bertempur pula, mestinya jalannya tak sama dengan yang di rumah makan, dia tidak bakal berlaku murah hati lagi. Pastilah dia menyangka kita telah bekerja sama dengan pihak Kim.”

“Kwa Toako betul, maka itu mesti kita cari jalan untuk mengerti satu pada lain,” berkata si pederi.

“Yang dikhawatirkan justru salah mengerti ini sukar dijelaskan…” kata Tin Ok pula.

“Kalau terpaksa kita maju berdelapan…” Cu Cong turut berbicara.

“Delapan orang lawan satu orang, itulah tidak benar…” menyangsikan Han Po Kie.

“Aku pikir tak apa,” kata Coan Kim Hoat. “Kita tidak berniat binasakan dia, melainkan kita menghendaki dia sabar mendengarkan penjelasan Ciauw Bok Taysu.”

“Apakah nama kita tidak bercacat seumpama tersiar diluaran Ciauw Bok Taysu bersama Kanglam Cit Koay mengepung satu orang?” Han Siauw Eng pun bersangsi.

Belum putus pembicaraan mereka, mereka telah dikagetkan suara keras yang datangnya dari toan¬thian, pendopo besar. Suara itu seperti suaranya dua genta beradu keras, suara itu lalu mengaung, mengalun.

“Nah, si imam datang!” seru Kwa Tin Ok, sambil ia melompat.

Berdelapan mereka memburu ke depan. Lagi sekali mereka dengar suara nyaring seperti tadi, hanya kali ini disusul sama campuran suara rengatnya barang logam.

Seperti terlihat Khu Cie Kee, dengan jambangan arak di tangannya, sedang menggempur genta di toa¬thian itu. Dia menyerang beberapa kali, sampai jambangan perunggu itu retak.

“Citmoay, mari kita maju lebih dahulu!” Ho Po Kie teiaki adiknya. Ia dan adiknya itu memang yang paling aseran diantara Cit Koay. Ia pun lantas tarik Kim-liong¬pian- cambuk Naga Emas, dari pinggangnya, dengan sabetan “Naga hitam menggoyang ekor”, dia mencoba melilit lengan si imam yang memegang jambangan.

Di pihak lain Han Siauw Eng sudah hunus pedangnya, yang tajam mengkilap, dengan itu ia lompat menikam bokong imam.

Diserang dari depan dan belakang, Khu Cie Kee tidak menjadi gugup. dengan satu gerakan tangan kanannya, ia membuat terbitnya suatu suara nyaring. Cambuk Naga Emas bukannya melilit tangan, hanya menghajar jambangan perunggu itu. Berbareng dengan itu, satu egosan tubuh, si imam juga bebaskan diri dari ujung pedangnya si nona. Lincah sekali caranya ia berkelit.

Siauw Eng menjadi penasaran, ia ulangi serangannya, beruntun beberapa kali. Ia kembali gagal.

Cepat sekali Khu Cie Kee ketahui ilmu silat pedang si nona.

Di jaman dahulu, negeri Gouw bermusuhan dengan negeri Wat. Untuk dapat menelan negeri Gouw itu, Raja Wat, yang bernama Kouw Cian, melatih keuletan diri dengan tidur sambil mencicipi nyali yang pahit. Sayang untuknya, ia mesti menghadapi Ngow Cu Sih, panglima sangat tangguh dari negeri Gouw itu, yang pandai sekali mengatur tentara. Ia menjadi sangat tidak puas dan berduka.

Pada suatu hari ia kedatangan satu gadis yang cantik, yang pandai ilmu silat pedang. Ia menjadi sangat girang, ia minta si gadis ajari ilmu silat itu. Kali ini ia berhasil, negeri Gouw dapat dimusnahkan.








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar