Minggu, 16 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 008

“Citmoay, mari aku wakilkan kau!” berkata Thio A Seng kepada adik angkatnya yang ketujuh itu, yang ia lihat sudah lelah.

“Khu Totiang, boleh tidak aku diwakilkan?” tanya si nona kepada si imam. Sebagai satu jantan, ia menanyakan dulu pikirannya si imam itu.

“Akur!” jawab Khu Cie Kee. “Siapa juga yang meminumnya sama aja!”

Maka itu, A Seng lantas wakilkan adiknya.

Si imam juga tenggak habis tujuh cawannya.

Kapan hendak dilanjuti giliran yang lain, Coan Kim Hoat tampaknya sudah kewalahan. Khu Cie Kee sebaliknya. Duapuluh cawan telah ditenggak kering, ia masih segar seperti biasa, air mukanya tak berubah. Maka heranlah Kim Hoat yang cerdik itu.

“Dengan jebolnya aku dan citmoay, kita tinggal berlima,” ia berpikir. “Kelihatannya untuk mereka minum lagi tiga atau empat cawan, mereka tentu masih sanggup. Dengan si imam, apakah ia masih bisa menghabisi lagi duapuluh cawan?”

Oleh karena ia pikir begini, Kim Hoat percaya pihaknya bakal menang. Tetapi tiba-tiba saja ia terperanjat. Kebetulan ia melihat ke lantai, ia tampak lantai dimana si imam berdiri menjadi basah. Ia lantas ingat sesuatu, ia segera bisiki Cu Cong, “Jieko, coba lihat kakinya si imam!”

Cu Cong memandang ke tempat yang ditunjuki. “Hebat!” ia inipun berbisik. “Ia gunai tenaga dalamnya memaksa arak turun ke kakinya…”

“Benar,” Kim Hoat berbisik pula. “Begini lihay tenaga dalamnya, habis bagaimana?” Cu Cong jadi berpikir. “Dengan dibantu tenaga dalamnya, seratus cawan lagi dia minum, dia tidak bakal rubuh….” katanya.

Mereka itu sudah keringi pula cawan mereka yang lainnya. Sekarang lantai di kakinya Khu Cie Kee tertampak barang cair mengembang dan mengalir. Lam Hie Jin dan kawan-kawannya dapat lihat itu. Mereka tahu sebabnya itu, mereka kagumi si imam untuk tenaga dalamnya yang sempurna itu.

Han Po Kie letaki cawannya di meja, hendak ia menyerah kalah.

Cu Cong lihat perbuatan adiknya itu, ia lantas mengedipi mata, tangannya sendiri menyambar satu cawan yang besar, untuk di pakai itu menyendok arak.

“Khu Totiang,” ia berkata, “Hebat tenaga dalammu, kami semua sangat mengaguminya, akan tetapi dengan kami berlima melayani kamu, itu rasanya tidak terlalu adil…”

Cie Kee melengak. “Habis Cu Jieko memikir bagaimana?” dia tanya.

Cu Cong si Pelajar Tangan Lihay tertawa. “Baiklah aku sendiri yang layani kau, satu lawan satu!” sahutnya.

Cie Kee heran, begitu juga dengan pihak Kanglam Cit Koay. Lima orang sudah keteter, bagaimana dia ini hendak melawan sendirian? Keenam Manusia aneh menjadi heran, meskipun mereka tahu ini saudara yang kedua sangat cerdik dan licin. Mereka berdiam, tetapi mereka duga saudara ini tentu ada akal muslihatnya. “Kanglam Cit Koay sungguh hebat,” kata Cie Kee kemudian. “Sekarang begini saja. Cu Jieko, kau temani aku minum terus, setelah kandasnya ini jambangan, akan pinto menyerah kalah. Tidakkah ini bagus?”

Arak di dalam jambangan perunggu itu tinggal separuh, meski begitu, isi itu masih banyak, akan tetapi Cu Cong seperti tidak pedulikan itu. Begitulah ia menantang. Ia tertawa ketika ia berkata: “Sebenarnya aku tidak kuat minum akan tetapi tempo tahun lalu aku pesiar ke daerah Selatan, di sana aku pernah menangkan beberapa makhluk lihay. Mari keringkan!”

Ia goyang-goyang kipasnya di tangan kanan, ujung bajunya yang kiri pun dikibaskan, dengan sikap wajar itu, ia minum araknya, cawan demi cawan.

Cie Kee turut minum juga. “Apakah itu mahkluk yang lihay?” ia tanya.

“Satu kali aku telah pergi ke India,” sahut Cu Cong. “Di sana putra raja India seret keluar seekor lembu, dia menghendaki aku lawan kerbau itu minum arak yang keras. Kesudahannya akulah yang menang!”

“Cis!” Cie Kee kasih dengar suaranya. Ia tahu orang bicara ngaco, dengan itu dia dicaci sebagai kerbau. Dimana orang berpura-pura edan-edanan, tak dapat ia bergusur. Ia heran juga menyaksikan orang kuat minum dan sikapnya tenang. Ia telah perhatikan, orang bukannya mengerahkan tenaga dalam, tidak ada arak yang merembas keluar.Hanya rada aneh, perut si Manusia aneh rada melendung.

“Mustahilkah perutnya bisa kempes dan kembang, bisa dibuat main?” ia berpikir. Selagi ia tetap belum mengerti, ia dengar orang berkata-kata pula.

“Pada tahun dulu aku telah pergi ke negeri Siam,” kata Cu Cong itu. “Ah, di sini lebih hebat lagi! Raja Siam telah suruh keluarkan seekor gajah putih yang besar, aku disuruh lawan gajah itu minum arak! Binatang dogol itu telah sedot habis tujuh jambangan! Totiang tahu, berapa jambangan aku tenggak habis?”

Tiang Cun Cutahu orang bergurau, hanya orang bicara secara wajar sekali, sikapnya menarik hati. “Berapa jambangan?” dia tanya sekenanya.

Dengan tiba-tiba saja wajah Cu Cong menjadi sungguh-sungguh. “Sembilan jambangan!” katanya, perlahan tetapi mengesankan. Ia tidak tunggu sampai orang membilang atau menunjukkan sesuatu apa, terus ia sambungi dengan nyaring: “Mari minum! Lekas, lekas!”

Lantas setelah itu, ia ngoceh pula, kaki dan tangannya digerak-gerakkan, saban-saban ia tenggak araknya. Dikatakan mabuk, ia tidak sinting, dikata gila, ia tidak angot.

Tentu saja, selama itu Khu Cie Kee mesti layani orang minum, hingga akhirnya jambangan arak itu nampak dasarnya!

Imam itu segera tunjuki jempolnya. “Saudara Cu, kau benar satu manusia aneh!” serunya. “Aku menyerah!”

Cu Cong awasi imam itu, ia tertawa. “Totiang minum dengan andalkan tenaga dalam,” katanya. “Aku? Lihatlah!”

Ia tertawa pula, bergelak-gelak lalu dengan sekonyong-konyongia lompat jumpalitan ketika ia telah berdiri pula,tangannya mencekal sebuah tahang air, kapan tahang air itu ia balingkan, bau arak tersiar menyampok hidung!

Orang kedua dari Kanglam Cit Koay sudah perlihatkan kelihayannya. Disitu ia berhadapan dengan orang lihay akan tetapi tidak ada seorang juga yang lihat darimana ia sembatnya tahang air itu! perutnya tinggal kempes, sebab semua arak pindah ke dalam tahang air ini, yang sekian lama disembunyikan di bawah jubahnya yang gerombongan.

Wajahnya Khu Cie Kee menjadi berubah.

Cu Cong pandai mencuri dan mencopet, maka itu ia digelar sebagai Biauw Ciu Sie-seng, si Pelajar Tangan Lihay. Dengan”Tangan Lihay” itu diartikan lihay mencopetnya. Kepandaiannya itu menyembunyikan tahang air adalah kepandaian umum di kalangan tukang sulap Tiongkok, suatu ilmu kepandaian turun temurun yang hingga kini telah membuat kagum orang di Eropa dan kepulauan selatan.




Mungkin pembaca pernah menyaksikan pertunjukkan sulap semacam itu. Satu kali ia jungkir balik, ditangannya ada sepelas ikan emas, dua kali ia jungkir balik di atas pentas tambah semangkok air tawar, air mana dapat ditambah menjadi banyak. Dan Cu Cong sekarang mengacau matanya Tiang Cun Cu dengan ilmu kepandaiannya itu. Tentu saja si imam tidak menyangka orang bergurau secara demikian, ia jadi kena dipermainkan.

“Ah!” seru si imam kemudian. “Kepandaianmu ini toh tak dapat dibilang orang minum arak?!”

“Kau sendiri, Totiang, apakah kau juga minum arak?”si Manusia aneh membaliki. “Arakku kumpul di dalam tahang, arakmu kumpul dilantai! Ada apakah perbedaannya?” ia lantas jalan mundar-mandir sampai ia kena injak lantai yang basah dengan araknya Khu Cie Kee, di situ ia terpeleset, tubuhnya rubuh membentur tubuhnya si imam.

Khu Cie Kee segera menyambat untuk pegangi tubuhnya orang itu.

Setelah dapat berdiri pula, CuCong lompat mundur, terus ia putar tubuhnya, sembari berputaran, mulutnya perdengarkan suara: “Syair yang bagus, syair yang bagus! Sejak jaman purbakala di pertengahan musim rontok…..rembulan gilang gemilang…..Di Waktu tibanya angin yang sejuk…malam yang jernih terang……..Suatu hari…….udara membuatnya. Jalan susu bagaikan tenggelam….Ikan dan naga diempat penjuru lautan…….mentereng seperti siluman air………”

Panjang nada syairnya. Khu Cie Kee heran hingga ia melengak.

“Itulah syairku yang kutulis di harian Tiong Ciu tahun yang lalu, yang masih belum selesai,” katanya di dalam hatinya. “Syair itu aku simpan, niatku adalah untuk nanti meyambunginya, belum pernah aku perlihatkan orang syairku itu, mengapa sekarang ia dapat mengetahuinya….?”

Lantas ia merogoh ke sakunya, untuk cari syairnya itu, tapi ia melengak pula. Tak ada syair itu didalam sakunya itu!

Cu Cong seperti tidak ambil pusing orang terheran-¬heran, ia membeber kertas di atas meja. Itulah kertas bermuatkan syair yang baru ia bacakan.

“Totiang lihay ilmu silatnya, tidak kusangka, kau juga pandai ilmu surat!” katanya memuji, “Sungguh aku kagum….!”

“Bagus!” seru Cie Kee yang mengerti bahwa benar-¬benar ia telah dipermainkan orang. Tentu saja ia sangat penasaran yang orang telah copet syairnya itu tanpa ia merasa, “Kau benar-benar lihay! Sekarang pinto ingin mohon pengajaran…!”

Rupanya barusan selagi ia pura-pura terpeleset, selagi si imam pegangi dia, Biauw Ciu Sie-seng gunai ketikanya untuk rogoh kantung si imam.

Tidak tempo lagi, sebelah tangan si imam melayang.

Cu Cong berkelit ke samping. “Totiang, benarkah kau berniat mencari keputusan dengan kepalan dan kaki?” ia menegasi.

“Benar!” sahut si imam memberikan kepastian. Dan menyerang pula, kali ini tiga kali beruntun serangannya itu, anginnya mendesir.

Thio A Seng lihat saudaranya sangat terdesak, sampai saudara itu sulit membela dirinya, ia lompat untuk menghalang, sambil berlompat., ia menyerang ke dadanya si imam. Khu Cie Kee dapat lihat serangan itu, ia lantas menangkis.

Bukan main kagetnya Siauw Mie To si Buddha tertawa. Tangkisan si imam itu membuat tangannya sakit dan gemetaran, rasanya baal. Inilah lawan tangguh yang pertama kali ia pernah ketemukan.

Coan Kim Hoat bisa duga perasaan saudaranya itu. “Totiang, harap kau tak katakan kami tak tahu aturan!” ia berkata sambil ia menggapekan kepada Lam Hie Jin dan Han Siauw Eng, seraya ia melompat maju untuk menyerang.

Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan dan Wan Lie Kiam si Gadis Wat sudah lantas taati ajakan saudaranya itu, Manusia Aneh yang keempat.

“Kamu majulah berdelapan!” tantang Tiang Cun Cu menyaksikan orang pada turun tangan.

“Jangan mengepul!” Kwa Tin Ok kata dengan dingin.

Khu Cie Kee tidak gubris sindiran itu, ia menyerang Lam Hie Jin dengan sebelah tangan kirinya, Lam San Ciauw-cu menangkis dengan kedua tangannya, yang dibawa ke depan dadanya. Hebat tangkisannya ini.

“Lam Sieya sungguh lihay!” si imam memuji mendapatkan tangkisan itu. Tapi justru itu sekonyong¬-konyong wajahnya berubah. Ia pun segera berseru dengan ejekan: “Bagus betul, kamu masih menjanjikan bantuan! Biar di sana ada ribuan tentara dan tidak pandang itu di matanya!“

Thio A Seng merasa pihaknya diejek. “Kita ada tujuh bersaudara!” ia bilang. “Untuk apa menjanjikan bantuan lagi?!”

Kwa Tin Ok tidak berpikir seperti saudaranya yang kelima itu. Ia cacat mata akan tetapi kupingnya awas bukan main. Ia telah mendengar puluhan orang berlari-¬lari mendatangi ke restoran itu, suara mana tercampur suara bentroknya senjata-senjata tajam. Maka ia lompat berdiri.

“Semua mundur!” ia berseru. “Siapkan senjata!”

Thio A Seng semua segera lari balik ke tempat duduknya masing-masing, untuk ambil senjata masing-masing.

Hampir di waktu itu, di tangga loteng terdengar riuh tindakan kaki yang keras, lalu beberapa puluh orang tertampak merubul naik.

Segera terlihat orang banyak yang naik ke loteng itu adalah serdadu-serdadu bangsa Kim, sebagaimana mereka gampang dikenali dengan seragam mereka. Melihat mereka, naik darahnya Khu Cie Kee. Ia hargakan Kanglam Cit Koay, ia menyangka mereka itu diperdayakan oleh Ciauw Bok Hweshio, maka itu sampai sebegitu jauh, ia layani mereka separuh main-¬main, akan tetapi sekarang tak dapat ia atasi diri lagi. Sangking murkanya,ia tertawa terbahak-bahak.

“Ciauw Bok Hweshio! Kanglam Cit Koay!” ia berseru, “Walaupun kasih datang tambahan tigaribu lagi serdadu berandal Kim, toya kamu masih tidak jerih!”

Han Po Kie gusar mendengar ejekan itu. “Siapakah yang kasih datang tentara Kim?!” ia menegur.

Tentara Kim itu adalah pengiring Wanyen Lieh. Mereka menanti sekian lama putra raja mereka masih belum kembali, timbuk kekhawatiran mereka itu, mereka lantas pergi mencari, kebetulan mereka dengar di Cui SianLauw ada orang berkelahi, mereka datangi rumah makan itu. Lega hati mereka akan saksikan putra raja mereka tidak kurang suatu apa pun, duduk tenang di mejanya. Mereka lantas menghampiri untuk memberi hormat.

Ketika itu pihak rumah makan baru siap dengan hidangan mereka yang terdiri dari daging macan tutul, tidak peduli orang baru saja berhenti bertempur dan disitu ada banyak serdadu bangsa Kim, mereka bawa naik barang hidangan itu untuk disajikan disembilan meja kecuali mejanya Ciauw Bok Taysu, si hweshio, pendeta yang pantang makan daging.

Hidangan untuk Wanyen Lieh pun disiapkan sekalian. Putra raja Kim itu lantas bangkit dari kursinya, guna menghampiri Kwa Tin Ok, lalu memberi hormat, walaupun orang tak dapat melihat kepadanya.

“Terima kasih Kwa Toako!” ia mengucap. Dengan berani ia lantas memanggil “toako” atau kakak.

“Hm!” Khu Cie Kee perdengarkan suara di hidung selagi Hui Thian Pian-hok belum sahuti orang asing itu. “Bagus! Bagus!” ia menambahkan. “Sudah cukup, maaf, pinto tak dapat menemani lebih lama lagi!”

Lantas ia angkat jambangan araknya, sambil membawa itu, ia bertindak ke tangga.

Kwa Tin Ok lantas sudah bangkit berdiri. “Khu Totiang, jangan kau keliru mengerti!” kata orang tertua dari kanglam Cit Koay itu.

“Adakah aku keliru mengerti?” jawab si imam sambil jalan terus. “Kamu adalah bangsa Enghiong, bangsa hohan, habis perlu apa kamu undang tentara bangsa Kim untuk bantu kamu?”

Dengan sengit si imam menjengek orang, Enghiong dan hohan – orang-orang gagah.

“Kami tidak undang atau janjikan mereka itu,” Kwa Tin Ok menyangkal.

“Aku juga bukanya si picak!” sahut Khu Cie Kee mengejek.

Tin Ok buta, ia paling benci orang mengatakan ia picak, maka itu gerakkan tongkat besinya, melompat maju. “Kalau picak bagimana?!” tanyanya.

Tiang Cun Cu tidak ladeni si buta itu, sebaliknya ia layangkan tangannya yang kiri, tepat mengenai batok kepalanya satu serdadu Kim, hingga tanpa suara apapun, suara itu rubuh dengan kepalanya remuk, jiwanya terbang pergi.

“Inilah contohnya!” kata si imam kemudian. Lalu tanpa tunggu jawaban lagi, ia ngeloyor ke tangga.

Serdadu-serdadu Kim lainnya menjadi gaduh karena kebinasaan tidak karuan dari rekannya mereka itu, mereka kaget dan gusar, beberapa diantaranya segera menikam bokongnya si imam dengan tombak mereka yang panjang.

Seperti bokongnya punya mata, Khu Cie Kee tangkis serangan itu tanpa membalikkan tubuh. Sambil manangkis tangannya menyambar, beberapa batang tombak kena tercekal dan terampas.

Beberapa serdadu lagi hendak maju untuk mengulangi penyerangan.

“Jangan!” Wanyen Lieh segera mencegah. Lantas ia berpaling kepada Kwa Tin Ok beramai, untuk mengatakan: “Imam jahat itu tidak kenal aturan, tidak kenal Tuhan, dia tidak usah dilayani! Tuan-tuan mari kita minum dulu, sembari minum kita bicarakan cara menghadapi dia!”

Kwa Tin Ok tidak tahu orang itu bangsa Kim, maka tadi ia berlaku manis budi dengan suruh jongos membagi daging macannya, sekarang setelah mengetahui orang bangsa apa, ia tak sudi melayani bicara. “Minggir!” ia membentak.

Wanyen Lieh heran. “Apa!” tanyanya.

“Toako kami meminta kau pergi!” Han Po Kie wakilkan kakaknya menyahut, sembari berkata ia gerakan pundak kanannya, mengenai kempolansi putra raja Kim itu, hingga Wanyen Lieh lantas saja mundur beberapa tindak.

Kwa Tin OK semua lantas berlalu, turun di tangga loteng. Ciauw Bok Hweshio turut mereka, Biauw Ciu Sie-seng jalan paling belakang, selagi lewat di samping Wanyen Lieh, ia tepuk pundaknya putra raja Kim itu dengan kipasnya seraya bilang: “Apakah kau telah jual itu orang perempuan yang kau tipu? Bagaimana kalau kau jual dia padaku? Hahaha!” Dan terus ia ngeloyor turun.

Wanyen Lieh terkejut. Ia ingat pada pengalamannya yang pertama. Maka sebelum layani godaan orang itu, paling dulu ia ragoh sakunya. Kagetnya ia dapatkan beberapa potong emas dalam sakunya terbang pula! Ia mendongkol, akan tetapi ia jerih pula.

“Beberapa orang ini lihay sekali, aku serta semua serdaduku bukan tandingan mereka,” ia berpikir. “Pauw-sie ada padaku, jikalau mereka tahu, ini berbahaya……….”

Oleh karena kekhawatirannya ini, ia tidak lagi berpikir untuk beli pakaian buat si nyonya, dengan tinggalkan restoran itu, ia lekas-lekas balik ke hotel, terus ia ajak si nyonya untuk berangkat ke Utara, pulang ke Yankhia, ibukotanya kerajaan Kim. Bersama dia turut juga semua pengiringnya. (Yankhia = Peking sekarang).

Sementara itu Kwa Tin Ok beramai telah ikuti Ciauw Bok Hweshio pergi ke kuil Hoat Hoa Sian Sie yang letaknya di bagian barat dari luar kota Kee-hin, di dalam kuil itu mereka berkumpul di kamar bersemedhi. Kacung hweshio lantas menyuguhkan air teh, lantas mengundurkan diri.

“Kesalah pahaman ini jadi makin hebat…” Ciauw Bok Taysu mulai berkata sambil menghela napas.

“Taysu,” tanya Han Siauw Eng. “Dia menyebutkan dua orang wanita, siapakah mereka itu? Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?”

“Nanti aku jelaskan,” sahut hweshio itu. “Aku punya Suheng yang menjadi pendeta di kepala kuil Kong Hauw Sie di Hangciu…”

“Itulah Kouw Bok Siansu, bukan?” Tin Ok memotong.

“Benar,” sahut Ciauw Bok. “Kemarin dulu ia menulis surat padaku, ia menitahkan dua orang yang menyampaikan surat itu, ia bilang ada orang jahat hendak mengganggu mereka itu dan karenanya dia minta supaya aku beri tempat berlindung kepada mereka. Kami orang beribadat mesti berlaku murah hati, apalagi ia kakak seperguruanku, tentu saja aku mesti terima permintaannya itu. Diluar dugaanku, baru satu dua hari orang itu tiba, lantas Tiang Cun Cu datang menuduh ada dua orang wanita dari Hangciu, dari kuil Kong Hauw Sie, datang menyembunyikan diri di kuilku. Tentu saja aku menjadi tidak mengerti.”

“Melihat dari sikapnya tadi, mesti dia bakal datang lagi membikin onar,” menyatakan Coan Kim Hoat. “Maka aku pikir, kita haris siaga.”

“Itu benar,” Tin Ok juga menyatakan.

Sampai disitu mereka berunding, merundingkan daya penjagaan. Mereka tidak dapat mengerti sikapnya Khu Cie Kee. Ciauw Bok Taysu bingung, lebih bingung pula Kanglam Cit Koay.


**** 008 ****








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar