Minggu, 16 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 007

Itu bukan jambangan biasa hanya tempat pembakaran kertas emas dalam kuil, yang beratnya tiga atau empat ratus kati, sekarang diisi penuh arak, hingga beratnya bertambah, akan tetapi di tangan si imam, nampaknya enteng sekali, imam ini seperti tidak menggunakan tenaga. Akan tetapi, setiap kali si imam bertindak, tentu lantai loteng perdengarkan suara meletek nyaring, suatu bukti dari beratnya jambangan itu, sedang dibawa loteng, orang ribut ketakutan dan pada lari keluar, ke jalan besar, tak terkecuali si kuasa restoran, jongos-jongos dan koki-¬koki. Semua mereka itu khawatir loteng ambruk dan mereka nanti ketimpa.

“Benar-benar toheng telah dapat mencari siauwceng hingga ke mari!” terdengar suaranya Ciauw Bok Taysu keras tetapi dingin. “Sekarang mari siauwceng perkenalkan dahulu kau dengan Kanglam Cit Koay!”

Khu Cie Kee menjura membungkuk tubuh. “Barusan pinto berkunjung ke kuil taysu,” ia berkata, “Disana ada pesan untukku, katanya taysu undang pinto datang ke Cui Sian Lauw ini untuk membuat pertemuan. Dengan lantas pinto meikir-mikir, mungkin taysu mengundang sahabat-sahabat, buktinya benarlah dugaan pinto itu. Sudah lama pinto dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung! Nyatalah pengharapanku seumur hidup telah kesampaian.”

Ciauw Bok Taysu tidak menjawab si imam, hanya berpaling kepada tujuh kawannya yang ia sebutkan Kanglam Cit Koay itu – Tujuh Manusia aneh dari kanglam – dan menunjuk kepada si imam, ia memperkenalkan: “ Ini dia Totiang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee yang tuan-tuan telah lama kagumi nama besarnya!” Kemudian tanpa tunggu sesuatu dari Kanglam Cit Koay itu seraya menunjuki si buta melanjutkan: “Inilah tertua dari Cit Koay, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok. Dan ini adalah….”

Lalu ia memperkenalkan enam orang lainnya, menyebutkan setiap nama. Khu Cie Kee menjura kepada orang-orang yang diperkenalkan itu.

Selagi orang berkenalan, Wanyen Lieh memasang kuping dan matanya, ia kerjakan otaknya mengingat baik-baik nama Kanglam Cit Koay itu. Selain Kwa Tin Ok yang berjuluk Hui Thian Pian-hok, si Kelelawar Terbangkan Langit, yang kedua si pelajar melarat yang mencuri atau mencopet uangnya adalah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, Pelajar Tangan Lihay.

Orang yang datang paling dulu ke restoran yaitu si kate terokmok yang menunggang kuda jempolan, adalah Ma Ong Sin Han Po Kie atau si Malaikat Raja Kuda. Dia inilah yang tiga. Si orang tani yang membawa-bawa pikulan adalah orang yang keempat, Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin atau si Tukang Kayu dari Lam San (Gunung Selatan). Yang kelima yang tubuhnya kekar tegap mirip sebagai pembantai adalah Siauw Mie To Thio A Seng atau si Buddha Tertawa. Yang keenam adalah orang yang mirip pedagang, namanya Coan Kim Hoat, gelarannya Lauw-sie In Hiap atau Pendekar Sembunyi di Kota. Si nona nelayan adalah Wat Lie Kiam Han Siauw Eng, atau si Ahli Pedang Gadis Wat, yang termuda dari Kanglam Cit Koay.

Selama Ciauw Bok Taysu memperkenalkan, Khu Cie Kee tetap pegangi tempat araknya yang istimewa itu, sama sekali ia ia tak nampak lelah, sedang beberapa orang yang melihat tak terjadi kecelakaan sesuatu, diam-diam mendaki loteng untuk bicara. Katanya: “Kami menonton”

Habis perkenalan itu, Kwa Tin Ok mendahulukan bertujuh saudaranya untuk berbicara, “Sudah lama kami mendengar Totiang lihay ilmu silatnya, baik ilmu silat tangan kosong maupun bersenjatakan pedang, tidak ada tandingannya, hingga kami sangat mengaguminya. Sementara itu, ini Ciauw Bok Taysu juga adalah satu sahabat sejati, maka walaupun totiang berdua ada dari dua golongan yang berbeda, satu Hud-kauw yang lain To-kauw, tetap kedua-duanya adalah orang-orang Rimba Persilatan. Oleh karena itu, kami tidak tahu, dalam hal apakah Taysu telah berbuat salah terhadap Totiang? Umpama kata Totiang sudi memandang muka kami bertujuh saudara, ingin sekali kami menjadi juru pendamai, supaya perselisihan dapat disingkirkan, untuk kita minum arak bersama. Sudikah kau Totiang?”

“Sebenarnya pinto dengan Ciauw Bok Taysu tidak kenal satu dengan lain dan kita juga tidak punya dendam dan tidak punya permusuhan,” menyahut Khu Cie Kee, “Oleh karena itu asal Taysu sudi menyerahkan dua orang kepada pinto, pastilah lain hari akan pinto pergi berkunjung ke Hoat Sian Sie untuk menghanturkan maaf.”

“Siapakah orang yang harus diserahkan?” tanya Kwa Tin OK.

“Dua sahabatku,” sahut Tiang Cun Cu, menerangkan. “Mereka telah difitnah dan dicelakai oleh pembesar negeri yang bekerjasama dengan tentera bangsa Kim, tidak beruntung untuk mereka, hingga meninggal dan meninggalkan janda mereka yang tidak ada lagi sandarannya, hingga mereka mesti hidup sengsara sebatang kara. Lihat, Kwa Tayhiap, pantas atau tidak permintaan pinto ini?”

“Jangan kata mereka adalah jandanya sahabat-¬sahabat totiang,” sahut si buta, “Walaupun mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal, asal kami ketahui perkaranya itu, pasti kami akan bekerja sekuat tenaga untuk menolong mereka, Untuk itu kami tak bakal menampik lagi.”

“Jelas!” seru si imam. “Sekarang ini pinto menghendaki Ciauw Bok taysu menyerahkan dua orang wanita yang sengsara dan harus dikasihani itu!”

Mendengar itu bukan hanya Kanglam Cit Koay yang heran melainkan juga Wanyen Lieh si putra raja Kim itu.

“Mustahilkah dia bukannya menyebutkan istri-¬istrinya Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian atau wanita yang lain?” berpikir putra raja asing ini.

Mukanya Ciauw Bok taysu menjadi kuning pucat, tak dapat ia membuka mulut. “Kau…kau…ngaco belo!” serunya kemudian.

Khu Cie Kee menjadi gusar. “Kau juga orang Rimba Persilatan yang kenamaan, bagaimana kau berani melakukan kejahatan semacam ini?” ia menegur dengan bengis. Lantas ia ayun tangan kanannya, hingga tempat pembakaran kertas perunggu itu yang beratnya ratusan kati terbang menyambar ke kepalanya si pendeta.

Semua orang menjadi kaget, mereka yang tadinya datang menonton dengan diam-diam pada lari mundur hingga mereka saling tabrak dan terguling jatuh ke tangga loteng.

Di antara Kanglam Cit Koay adalah Tio A Seng yang tenaganya paling besar, percaya ia sanggup menanggapi jambangan itu, ia lantas lompat ke depannya Ciauw Bok Taysu, untuk mendahului jambangan itu yang terus ia sambuti dengan kedua tangannya sambil berbuat mana ia berseru: “Bagus!” Akan tetapi dia mesti pasang kuda-kuda teguh sekali, sedang lantai loteng tak demikian kuat, maka dengan menerbitkan suara kaki kirinya melesak mendam, hingga orang-orang di bawah loteng menjadi kaget dan semuanya menjerit.

Di dalam saat yang berbahaya itu karena kakinya bisa kejeblos terus, lekas-lekas Thio A Seng kerahkan tenaganya, untuk ayun balik jambangan itu ke arah Tiang Cun Cu. Itulah gerakan “Twie chong bong goat” – “Menolak daun jendela untuk memandangi si putri malam”.

Khu Cie Kee ulur tangan kanannya, dengan tenang ia menyambuti. “Kanglam Cit Koay bukan bernama kosong saja!” ia memuji sambil tertawa. Ia tapinya tertawa sebentar, segera wajahnya menjadi bermuram pula. Kembali ia pandang si pendeta dan membentak dengan pertanyaan: “Bagaimana dengan dua wanita yang bercelaka itu? Hai, pendeta jahanam, jikalau kau ganggu selembar saja rambut mereka itu, akan aku patah-patahkan hingga menjadi abu semua tulang-¬tulangmu dan akan bakar musnah hingga menjadi tanah putih kau punya kuil Hoat Hoa Sian Sien itu!”





Cu Cong tidak lantas dapat mempercayai kata-kata imam itu. “Ciauw Bok Taysu adalah satu pendeta beribadat,” katanya sambil tangannya mengipas-ngipas dan kepalanya di geleng-geleng. “Cara bagaimana dia dapat melakukan perbuatan sekeji itu? Totiang, mestinya kau telah keliru dengar omongannya segala manusia rendah! Itu ngaco belo, pasti tak dapat dipercaya!”

Khu Cie Kee menjadi mendongkol. “Pinto menyaksikan itu dengan mataku sendiri, bagaimana bisa jadi dusta?!” dia berkata.

Kanglam Cit Koay melengak semuanya.

“Taruh kata benar kau sengaja datang ke Kanglam ini buat untuk angkat namamu,” akhirnya Ciauw Bok Taysu dapat buka mulutnya, “Kenapa untuk itu kau mesti menodai nama baikku? Kau… kau… kau pergilah ke seluruh kota Kee-hin untuk menyelidiki! Mana bisa aku, Ciauw Bok Taysu, melakukan perbuatan semacam itu?!”

Cie Kee tertawa mengejek. “Bagus betul yah!” katanya dingin, “Kau telah undang banyak kawan, kau pikir menggunakan jumlah banyak mendapatkan kemenangan! Tidak, hari ini tidak nanti aku beri kau lolos!”

“Sabar Totiang!” Kwa Tin Ok memotong. “Totiang menuduh Taysu menyembunyikan kedua nyonya itu, Taysu sebaliknya menyangkal, inilah sulit. Mari kita bersama pergi ke Hoat Hoa Sian Sie, untuk melihat sendiri guna buktikan siapa sebenarnya yang benar, siapa yang salah! Mataku memang tidak dapat melihat akan tetapi orang-orang di sini tidak buta semuanya“

Cu Cong berenam memberikan persetujuan mereka.

“Apa? Menggeledah kuil?” kata Khu Cie Kee dengan tawar. “Pinto sudah menggeledahnya di luar dan di dalam, sampai beberapa kali, tetapi walaupun pinto melihatnya dengan mataku sendiri kedua nyonya itu masuk ke situ, buktinya mereka tidak kedapatan, hingga pinto habis daya! Tidak ada jalan lain daripada si pendeta serahkan mereka itu!”

“Jadinya dua wanita itu bukannya manusia!” berkata Cu Cong.

Khu Cie Kee melengak. “Apa” katanya.

Dengan sikapnya yang wajar, Cu Cong menyahuti: “Mereka itu bangsa dewi, jikalau mereka bukannya menghilang tentunya mereka sudah menyingkir dengan ilmu pinjam tanah!”

Mendengar ini mau tidak mau, semua orang tersenyum.

Imam itu menjadi gusar. “Bagus! Kamu permainkan aku!” dia berseru. “Kanglam Cit Koay pasti membantu pihak si pendeta, bukankah begitu?”

Kwa Tin Ok jawab imam itu; “Kami tidak punya kepandaian sesuatu apa juga akan tetapi untuk Kanglam ini nama kami terkenal juga sedikit. Mereka yang kenal kami semua dapat mengatakan sepatah kata: ‘Walaupun Kanglam Cit Koay edan-edanan lagak lagunya, mereka bukannya manusia-manusia yang takut mampus. Kamu tidak berani menghina orang lain tetapi kami juga tak dapat mengijinkan orang lain perhina kami!”

Khu Cie Kee tidak ingin layani tujuh orang aneh dari Kanglam itu. “Perkaraku dengan si pendeta, biarlah aku yang bereskan sendiri!” katanya kemudian. “Maafkan pinto, tidak dapat pinto temani kau lebih lama! Eh, pendeta, mari pergi!”

Ia pun ulur sebelah tangannya, dengan niatan menarik si pengikut Buddha itu.

Ciauw Bok Taysu paham ilmu dalam Hoat Hoa Lam Cong, begitu ia kasih turun lengannya, ia lolos dari cekalan si pendeta.

Ma Ong Sin Ho Po Kie bertabiat aseran, tak senang ia menampak orang mulai gunai kekerasan.

“Sebenarnya kau hendak gunai aturan atau tidak?” dia tegur si imam.

“Habis bagaimana, Han Samya?” imam itu membalik bertanya.

“Kami percaya Ciauw Bok Taysu, satu kali dia bilang tidak, pasti tidak!“ kata Cit Koay yang ketiga itu. “Seorang laki-laki sejati kangouw, mana ia dapat bicara dusta?!”

Cie Kee nampaknya habis sabarnya. “Pinto cari pendeta ini, itulah sudah pasti!” dia berkata. “Tuan-¬tuan bertujuh hendak campur tangan urusan ini, telah pastikah itu?”

“Tidak salah!” sahut Cit Koay serempak.

“Baik!” seru si imam. “Sekarang aku hendak memberi selamat kepada Tuan bertujuh dengan seorang satu cawan arak, habis minum barulah Tuan-¬tuan geraki tanganmu!”

Habis berkata, imam ini kasih turun tangannya yang memegang jambangan arak itu, dengan mulutnya sendiri, ia hirup arak satu ceglukan.

“Silahkan!” katanya habis menengak. Sembari berbuat begitu, ia ayun tangannya kepada Siauw Mie To Thio A Seng.

Si Buddha tertawa sudah lantas berpikir.

“Jikalau aku sambuti jambangan seperti tadi, dengan dipegang dan diangkat di atasan kepalaku, cara bagaimana aku dapat meminumnya?” demikian katanya dalam hati kecilnya. Meski begitu ia sudah lantas mundur dua tindak, kedua tangannya ditaruh di depan dadanya. Tepat ketika jambangan menyambar ke dadanya, ia pentang kedua tangannya itu. Ia bertubuh terokmok, dadanya itu penuh dengan daging yang lembek, tetapi tempo jambangan itu sampai, ia kerahkan tenaga dalamnya, untuk sambut jambangan dengan kedua dadanya itu, berbareng dengan mana kedua tangannya bergerak untuk memeluk jambangan. Adalah disaat ini dengan sebat ia tunduk, mulutnya dikasih masuk ke dalam jambangan, menghirup arak di dalamnya!

“Oh, arak yang harum!” dia memuji. Dengan cepat ia lepaskan pelukannya, ia pindahkan kedua tangannya ke bawah jambangan untuk dipakai menampa, sesudah mana berbareng dia menolak dengan dadanya, kedua tangannya menolak juga dengan gerakannya, “Sia ciang ie san” atau “Sepasang tangan memindahkan bukit”. Maka melesatlah jambangan itu ke arah Khu Cie Kee. Tenaga yang dikerahkan itu bukan kepalang besarnya.

Wanyen Lieh menyaksikam itu dengan kekaguman dan terkejut juga. Ia telah menyaksikan suatu gerakan tenaga dalam dari Gwa-kee, ahli luar yang lihay sekali.

Khu Cie Kee dengan tenang sambut pulang jambangannya itu dan ia menghirup pula.

“Sekarang aku hormati Kwa Toako dengan satu jambangan!” ia berkata pula, berbareng dengan mana jambangan arak itu dilemparkan ke arah si buta.

Wanyen Lieh heran dan khawatir, tapi juga keras keinginan tahunya. “Cara bagaimana dia dapat menyambutnya?” ia berpikir. “Sudah buta ia pun pincang….”

Kwa Tin Ok tertua Kanglam Cit Koay, pasti ada punya kepandaian yang istimewa. Sekalipun senjata rahasia, ia dapat dengar suara sambarannya dan tahu tepat arahnya, apapula sebuah jambangan yang besar yang anginnya seperti menderu-deru. Diwaktu jambangan dilemparkan kepadanya, ia tetap duduk dan tenang seperti juga ia tidak mengetahuinya.

Wanyen Lieh khawatir sehingga hampir ia berseru sendirinya.

Tepat ketika jambangan sampai, Kwa Tin Ok sambut itu dengan tongkat besinya, yang ia pakai menanggapi dasarnya jambangan itu, hingga jambangan jadi duduk di ujung tongkat, duduk sambil berputaran seperti tukang dangsu tengah mengasi pertunjukan. Satu kali tongkat itu miring, jambangannya turut miring juga. Hebat kalau jambangan jatuh dan menimpah batok kepalanya si buta ini. Tapi jambangan tetap tinggal miring, adalah araknya yang lantas meluncur keluar seperti pancuran, Kwa Tin Ok buka mulutnya menanggapi menengak arak, sampai belasan cegluk. Sesudah ini ia gerakkan pula tongkatnya, membuat jambangan itu berdiri tetap lagi, hanya sekarang ia tidak lagi menunda seperti tadi, tiba-tiba ia angkat naik tongkatnya dengan tiba-tiba, jambangan mumbul, menyusul mana tongkat itu diputar, dipakai menolak tubuh jambangan, sampai terdengar satu suara nyaring, berbareng dengan mana jambangan itu bertolak balik kepada Khu Cie Kee. Selagi melayang jambangan itu masih mengasi dengar suara menguwang.

Tiang Cun Cu tunjuki jempolnya, ia tertawa. “Diwaktu mudanya pasti Kwa Toako gemar main putaran nenempan!” katanya. Sembari bicara, ia sambut jambangan araknya itu.

“Diwaktu kecil, Siauwtee melarat, maka kepandaian ini dipakai modal mengemis nasi,” sahut Tin Ok dingin.

“Tentang seorang gagah tidak ditanya asal usulnya,” berkata si imam. “Sekarang hendak aku menyuguhkan Lam Sieko sejambangan arak!” Ia lantas menghirup pula satu seguk, setelah mana jambangan itu ia lemparkan ke arah Lam Hie Jin.

Lam San Ciauw-cu si Tukang kayu dari Gunung Selatang pendiam tak suja bicara, pada wajahnya tak tertera rasa girang atau murka, demikian juga kali ini, sikapnya tenang dan wajar, kapan jambangan itu tiba kepadanya, ia angkat kayu pikulannya untuk menahan sebelum jambangan turun.

Ketika kayu pikulan dan jambangan beradu, keduanya menerbitkan suara yang keras dan nyaring. Kayu pikulan itu ternyata bukannya kayu melainkan sebangsa logam, yang terbuat dari campuran hancuran tungsten, emas hitam dan baja pilihan, karenanya mejadi berat dan kuat luar biasa. Begitu terbentur pikulan logam itu, jambangan berhenti menyambar, lalu turun ke bawah akan tetapi belum lagi tempat arak istimewa itu jatuh ke lantai, Hie Jin sudah sambar araknya dengan tangannya untuk disendok dan dihirup. Jambangan itu tertahan pikulan dan terduduk di dengkulnya orang aneh yang keempat ini, yang sudah lantas tekuk sebelah lututnya yang kiri. Habis itu, dengan dibantu tangan kanan, jambangan itu diangkat, siap untuk dilemparkan pulang!

Belum lagi jambangan dikasih melayang pergi, terdengarlah tertawanya Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat, yang terus berkata: “Aku si pedagang kecil suka sekali mendapat keuntungan oleh karenanya ingin aku tanpa menggunakan banyak tenaga untuk turut minum arak!” Ia segera menghampiri Lam Hie Jin, yang telah kasih turun jambangan di tangannya, maka itu dengan sekali sendok saja, si Pendekar Sembunyai di kota sudah turut mencicipi arak itu. Tapi ia tidak berlaku ayal. Dengan cepat ia pasang kuda-kudanya, ia kerahkan tenaganya, maka dilain saat jambangan itu sudah terangkat naik dan terlempar terapung kearah Khu Cie Kee.

“Bagus! Bagus!” Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong memuji seraya ia goyang-goyang kipasnya.

Tiang Cun Cu sambuti jambangannya itu, kembali ia mencegluk araknya. “Bagus! Bagus!” ia pun turut memuji. “Sekarang pinto hendak menyuguhkan kepada Cu Jieko!”

Belum lagi jambangan itu dilemparkan, Cu Cong sudah berjingkrak bangun. “Ayo! Tak dapat!” dia berseru. “Jangan! Aku si pelajar cilik tak punya tenaga kekuatan untuk kata meringkus ayam, perutku tak dapat memuat segantang arak, maka jikalau aku disuguhkan, umpama kata aku tidak mampus ketindihan, mungkin aku bakal mati karena mabuk…”

Akan tetapi sia-sia saja ia unjuk roman ketakutan seperti kalap itu, jambangan sudah lantas terbang melayang kearahnya.

“Tolong! Tolong!” dia berteriak-teriak selagi jambangan itu mengancam padanya. “Orang bakal mampus ketindihan! Tolong!” Di mulut ia mengoceh tidak karuan, tapi kipasnya ia pakai untuk mencelup ke dalam jambangan, untuk sendok araknya bawa ke dalam mulutnya, kemudian dengan gagang kipas, dia segera menahan turunnya jambangan itu, yang dia barengi tolak pergi.

“Brak!” demikian satu suara nyaring, dan lantai papan pecah bolong, membuatnya satu lobang besar ke dalam mana tubuh si pelajar terjeblos masuk di waktu mana terdengar jeritannya berulang-ulang: “Tolong! Tolong!”

Selagi jambangan mental balik, hampir tiba dimulut jendela, Wan Lie Kiam Han Siauw Eng telah lompat menyusul. Nona ini dengan tiba-tiba menjejak dengan kaki kanannya, tubuhnya lantas mencelat ke arah jendela, gerakkannya bagaikan burung walet menyambar air; ketika ia berada di atas jambangan, kepalanya ditunduki ke dalam jambangan itu, mulutnya lantas menyedot arak. Berbareng dengan itu kakinya sudah lantas menginjak palang jendela. Lincah gerakannya itu, manis dipandang.

Ahli pedang Gadis Wat lihay ilmu pedangnya, enteng tubuhnya tetapi ia kurang tenaga, maka itu, cacat itu ditambal dengan kelincahan dan kecerdikannya. Ia insaf, kalau jambangan berat itu ditimpuki kepadanya – gilirannya memang bakal tiba – tidak nanti ia sanggup menganggapnya, maka itu ia gunai ketika yang baik ini untuk menenggak arak tanpa tunggu Khu Cie Kee menyuguhkan kepadanya. Akal cerdik semacam ini tadi pun telah digunai oleh Coan Kim Hoat, Cuma Lauw-sie In Hiap menambahkan itu dengan memulangkan jambangan kepada Khu Cie Kee.

Jambangan itu tidak ada yang tahan, maka ia melintasi jendela, terus melayang turun ke luar, ke bawah loteng. Semua orang terkejut, si imam sendiri tak terkecuali. Kalau jambangan itu jatuh ke bawah loteng, pasti ada orang yang bakal tertimpa dan menjadi korban.

Berbareng kaget, Tiang Cun Cu berniat lompat, akan mendahului jambangan itu, guna mundurkan semua orang untuk mencegah kecelakaan yang tak dikehendaki itu.Justru ia baru memikir, tapi kupingnya sudah dengar seruan keras tapi halus nadanya: “Sian¬cay!” Itu adalah suatu pujinya seorang penganut Buddha.

Berbareng dengan puji itu tubuhnya Ciauw Bok Taysu lompat melecat menyusuli jambangan itu. Pendeta ini sangat beribadat dan murah hatinya, sekarang ia gunai hasil latihannya beberapa puluh tahun, untuk korbankan diri, guna menolong siapa yang dapat ditolong dari bencana ketimpa jambangan itu. Untuk itu ia perlu mendahului jambangan, karena untuk mencegahnya dengan menahan, tak sanggup ia melakukannya.

Baru pendeta itu melewati jendela, lain orang telah mendahului. Itulah seorang dengan baju kuning yang sembari melompat, telah perdengarkan satu suara bersiul.

Mendengar siulan itu, kuda kuning di bawah loteng lantas saja lari ke jalan besar di betulan mulut jendela loteng itu.

Semua mata segera diarahkan ke mulut loteng. Maka itu mereka dapat lihat benda bagai segumpal daging yang seperti bentrok dengan jambangan, lalu keduanya jatuh miring dengan berbareng, hingga tenaga turunnya menjadi berkurang. Tepat sekali keduanya jatuh di bebokong kuda yang lalu lari beberapa tindak, lalu kembali untuk terus lari masuk ke dalam ciaulauw dan mendaki loteng!

Selagi kuda itu beraksi, Ma Ong Sin Han Po Kie, segumpal daging yang tadi telah melayang menyambar jambangan sudah pernahkan dirinya dibawah perut kuda itu, kaki kirinya menyantel pada sanggurdi, kedua tangannya dibantu kaki kanannya menahan jambangan, hingga jambangan itu dapat duduk tetap di atas kuda. Kemudian, sedangnya binatang itu mendaki loteng, Han Po Kie geraki tubuhnya untuk naik sedikit, guna ulur kepalanya ke mulut jambangan, dengan begitu ia jadi bisa berbareng mencicipi juga arak itu. Habis itu, dengan sekali sebat dan cerdik, ia pondong jambangan untuk dikasih turun dari bebokong kuda, guna diletakkan di lantai loteng. Ia lakukan itu sembari tertawa, tangannya yang sebelah mengedut les kudanya, atas mana binatang itu sudah lantas lompat lewati jendela untuk turun ke bawah. Ia sendiri masih bercokol terus di bebokong kuda. Maka selang sesaat, dengan bergandengan tangan bersama Cu Cong, sang kakak yang kedua dengan keduanya sambil tertawa, mereka sudah mendaki loteng untuk kembali ke atas loteng!

Wanyen Lieh menyaksikan semua semua itu, ia ulur keluar lidahnya.

Ciauw Bok Taysu juga sudah lantas menyusul naik kembali ke loteng.

Khu Cie Kee tertawa, ia berkata: “Benar-benar Kanglam Cit tersohor bukan nama belaka. Sesuatunya lihay sekali, pinto takluk! Sekarang, dengan memandang Tuan-tuan bertujuh, pinto tidak hendak mempersulit pula kepada si pendeta, cukup asal dia suka menyerahkan itu dua orang perempuan yang malang, yang harus dikasihani…”

“Tiang Cun Cu Totiang, inilah bagianmu yang tidak benar!” Kwa Tin Ok memotong. “Ciauw Bok Taysu ini adalah seorang yang beribadat beberpa puluh tahun, dan kuil Hoat Hoa Sin Sie juga adalah berhala kenamaan dalam kota Kee-hin ini, maka itu bagaimana bisa jadi taysu dapat menyembunyikan wanita baik-¬baik dalam kuil itu?”

“Di kolong langit yang luas itu mesti ada manusia palsu yang menipu dunia!” berkata si imam dengan nyaring.

Han Po Kie menjadi gusar. “Dengan kata-katamu ini, Totiang, kau jadinya tidak percaya pada kami?!” tanyanya.

“Aku hanya lebih mempercayai mataku sendiri!” sahut sang imam.

“Habis itu apakah yang totiang kehendaki?” Po Kie tanya pula.

“Urusan sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Tuan-tuan bertujuh,” sahut Cie Kee, “Akan tetapi Tuan-tuan tampaknya memaksa hendak mencampuri, dengan begitu teranglah Tuan-tuan terlalu andalkan kepandaian! Tuan¬-tuan pinto tolol, tetapi karena tidak ada jalan lain, terpaksa pinto mesti mencoba denganmu untuk menetapkan siapa yang tinggi dan siapa yang rendah. Umpama kata pinto tak dapat melawan, terserah saja kepadaTuan-tuan, apa saja yang hendak perbuat!”

“Jikalau sudah pasti totiang menghendaki demikian, silahkan totiang tunjukkan caramu!” bilang Kwa Tin Ok.

Cie Kee berdiam sebentar, ia perdengarkan suara perlahan. “Kita berdua sebenarnya tak saling dendam,” dia bilang kemudian. “Pinto juga telah dengar lama yang Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah mulia untuk wilayah Kanglam, oleh karenanya jikalau kita gunai senjata, itu pasti bakal merusak kerukunan. Pinto pikir baik diatur demikian saja…” Lantas ia teriaki si jongos untuk siapkan empatbelas cawan arak yang besar.

Sejak tadi jongos-jongos umpatkan diri di bawah loteng, begitu dipanggil, lantas satu diantaranya muncul dengan belasan cangkir yang diminta itu.

Cie Kee letaki jambangan arak di lantai, lalu satu persatu cawan dia keroboki ke dalam arak itu, untuk isikan penuh semuanya, sesudah itu, empatbelas cawan terisi arak itu diatur dalam dua baris di lantai itu.

“Pinto hendak adu kekuatan minum arak dengan tuan-tuan bertujuh,” katanya kemudian. “Tuan-tuan bertujuh minum satu cawan, pinto sendiri akan minum tujuh cawan. Perjanjian kita ialah sampai habisnya isi jambangan ini, siapa yang tidak mabuk, ialah yang menang. Tidakkah cara ini bagus?”

Han Po Kie dan Thi A Seng adalah tukang tenggak susu macan, mereka mendahului menyatakan setuju. Akan tetapi Kwa Tin Ok berkata: “Kami bertujuh melawan satu, umpama kami menang, itu tidaklah cara laki-laki! Totiang, baiklah kau sebutkan lain cara!”

“Cara bagaimana tuan dapat merasa demikian pasti akan memperoleh kemenangan?” Tiang Cun Cu tegaskan.

Wanyen Lieh pun heran sekali. Banyak cara untuk adu pibu, - adu kepandaian – belum pernah ia dengar cara seperti itu. Taruh kata si imam kuat minum tetapi berapakah besar perutnya? Dapatkah satu perutnya melawan perut tujuh orang?

Han Siauw Eng adalah yang termuda diantara Kanglam Cit Koay, ia pun polos dan bersikap jantan, atas perjanjiannya si imam, ia tidak menawar lagi.

“Baiklah!” demikian katanya, “Mari kita adu minum arak dulu! Belum pernah aku mendapati orang yang begitu memandang enteng kepada kami bertujuh, dan inilah yang pertama kali!” Dan tanpa bersangsi lagi, ia jemput satu cawan dan jegluk isinya.

“Nona Han adalah jantannya wanita!” Khu Cie Kee puji nona itu. “Nah, Tuan, Silakan!”

Hampir berbareng enam manusia aneh lainnya dari Kanglam itu angkat cawannya masing-masing dan mengiringnya seperti saudara angkat mereka yang bungsu, sedang si imam pun tanpa banyak omong lagi, tenggak kering satu demi satu tujuh cawan bagiannya.

Lalu semua cawan diisi pula, lantas semua itu di cegluk habis!

Setelah cawan yang ketiga, Nona Han Siauw Eng segera merasakan bahwa ia bakal tak sanggup minum terlebih jauh. Ia memang bukan tukang minum.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar