Minggu, 16 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 006

Putra raja Kim itu angkat kepalanya, untuk berdongak, maka matanya lantas melihat sepotong papan merek dengan bunyi empat huruf “Tay Pek Ie Hong”. Jadi itu sebuah ciulauw, atau sebuah restoran. Di atas loteng ada lagi sebuah papan merek dengan tiga huruf “Cui Sian Lauw”, yang hurufnya kekar dan bagus, di samping aman ada pula empat huruf kecil bunyinya: “Tong Po Kie-su”. Jadi itu ada ciulauw yang pakai nama Souw Tong Po, penyair yang terkenal, yang aliasnya Thay-pek dan julukannya Cui Sian, Dewa Mabuk. Riasannya ciulauw pun ada istimewa. Tadinya Wanyen Lieh ingin memasuki ciulauw itu atau segera ia tampak si kate sudah keluar pula sambil tangannya membawa satu guci arak yang terus dibawa ke depan kudanya. 

Putra raja Kim ini ingin menontoni kelakuan, ia pun lantas berdiri di pinggiran. Berdiri di tanah si kate nampaknya semakin tak mengasih. Tingginya tak ada tiga kaki, sebaliknya lebar tubuhnya ada tiga kaki penuh. Di depan ia adalah kudanya, yang istimewa tinggi dan besarnya. Dengan berdiri berdekatan, si kate tidak cukup tinggi untuk kepalanya menyundul sanggurdi. Maka inginWanyen Lieh menyaksikan orang punya sepak terjang lebih jauh.

Si kate tidak lompat naik ke atas kudanya, hanya ia berdiri di depan binatang tunggangannya itu, di situ ia letak guci araknya, habis mana dengan sebelah tangannya, ia babat guci sebatas pundaknya guci itu hingga tempat arak itu menjadi terbuka bagaikan jambangan.

“Ah, ia mengenal ilmu tenaga dalam yang lihay,” pikir Wanyen Lieh, Tanpa Iweekang, atau tenaga dalam yang sempurna, tidak nanti guci arak dapat ditebas kutung dengan tangan, dengan tidak pecah seluruhnya. Ia percaya ia dapat melakukan itu hanya tidak sedemikian sempurna.

Begitu guci telah terbuka, kuda kuning itu angkat naik kaki depannya, mulutnya dibuka untuk perdengarkan ringkikkan, setelah turunkan kedua kakinya ia terus tunduki kepalanya, mulutnya dikasih masuk ke dalam guci, untuk sedot arak itu berulang¬-ulang!

Dalam keheranan, Wanyen Lieh segera dapat mencium baunya arak yang melulahkan terbawa angin. Ia kenali arak itu adalah arak Siauwhin yang kesohor, arak simpanan tiga atau empat puluh tahun. Pernah selama di Yan-khia, ibukotanya, ayahnya dikirimkan arak serupa oleh utusan kaisar Song dan oleh ayahnya ia dibagi beberapa guci. Ia sangat menyayangi arak jempolan itu, tak hendak ia sering-¬sering meminumnya, akan tetapi di sini, ia saksikan seekor kuda tunggangan diberikan arak itu!

Si kate tinggalkan kudanya minum, ia kembali ke restoran, sambil kasih dengar bentakan, ia lemparkan sepotong uang ke atas meja kuasa restoran itu. Nyata itu adalah sepotong emas yang berkilau kuning.

“Lekas kamu sajikan sembilan meja barang hidangan kelas satu!” kata si kate. “Yang delapan meja makanan dengan daging, yang satu sayuran saja.”

“Baik, Han Samya!” berkata si kuasa ciulauw sambil tertawa. “Kebetulan hari ini kami dapat empat ekor ikan saylouw, yang tak ada lawannya untuk teman arak! Tentang emas ini, aku minta sudi apakah kiranya samya simpan dahulu. Mengenai perhitungannya nanti perlahan-lahan kita mengurusnya…”

Mendengar itu, matanya si kate terbelalak. “Apa?!” serunya aneh. “Menenggak arak tanpa uangnya ? Apakah kau sangka Han Samya kamu ini tukang anglap?”

Kuasa ciulauw itu tertawa haha-hihi, tanpa layani si cebol itu, ia berpaling ke dalam dan berseru: “kawan-¬kawan, lekas sajikan arak dan makanan untuk Han Samya!”

Seruan itu sudah lantas sapat sambutan berulang¬-ulang.

Wanyen Lieh menjadi heran sekali. “Si kate ini berpakaian tidak karuan tetapi ia sangat royal,” pikirnya. “Dan di sini orang sangat menghormatinya. Mungkinkah ia ada okpa di kota Kee-hin ini? Kalau benar, tentu sulit rasanya untuk undang ia menjadi guru…Baiklah, aku tunggu dulu, hendak aku saksikan orang-orang macam bagaimana yang ia undang berjamu.”

Karena ini ia hampiri ciulauw itu untuk naik ke loteng dimana ia pilih satu meja di pinggir jendela. Ia minta satu poci arak serta barang makanan sekedarnya.

Restoran Cui Sian Lauw ini letaknya di pinggir Lam Ouw, Telaga Selatan. Waktu itu tengah telaga nampak kabut tipis, di muka air ada beberapa buah perahu kecil lagi mundar-mandir. Di situ pun kedapatan banyak pohon lengkak yang daunnya hijau-hijau. Lega hati untuk memandang permukaan telaga itu.

Di jaman dahulu, Kee-hin adalah sebuah kota negara Wat, buah lie keluaran sini kesohor manis, sama kesohornya dengan araknya. Di jaman Cun Ciu, Kee-hin dipanggil Cui Lie atau Lie Mabuk. Disini dahulu Raja Wat, Kouw Cian telah labrak Raja Gouw, Hap Lu. Telaga itu pun ada mengeluarkan hasil yang kesohor yaitu bu-kak-leng, atau lengkak yang tidak ada “tanduknya” yang rasanya empuk dan manis, tak ada bandingannya untuk Kanglam. Itu pun sebabnya di dalam telaga tumbuh banyak pohon lengkak itu.

Sambil minum araknya perlahan-lahan, Wanyen Liaeh memandangi keindahan telaga. Dengan begitu ia pun menantikan tamu-tamunya si cebol. Tiba-¬tiba ia dengar suara beradunya sumpit dan cawan-¬cawan arak, ketika ia menoleh, ternyata beberapa jongos mulai mengatur sembilan buah meja. Hanya herannya untuk setiap meja ditaruhkan Cuma sepasang sumpit dan satu cawan arak.

“Kalau yang datang cuma sembilan orang, untuk apa meja sembilan ini?” ia menerka-nerka. “Kalau jumlahnya banyak, mengapa Cuma disediakan sembilan cawan saja? Apa mungkin ini ada adat kebiasaan di selatan ini….? Ia memikir tetapi tidak dapat jawabannya.

Si cebol sudah lantas duduk minum arak di sebuah meja, minumnya ayal-ayalan.

Kembali Wanyen Lieh memandang ke telaga. Kali ini ia tampak sebuah perahu nelayan yang kecil, yang laju pesat sekali. Perahu itu kecil tatapi panjang, kepalanya terangkat naik. Di pinggiran perahu berdiri dua baris burung-burung air peranti menangkap ikan. Mulanya ia tidak menaruh perhatian, sampai sejenak saja perahu itu dapat melewati sebuah perahu kecil yang terpisah jauh darinya.

Setelah perahu kecil itu datang semakin mendekat, Wanyen Lieh lihat di tengah perahu ada berduduk satu orang, sedang yang mengayuh yang berbareng menjadi pengemudi, yang duduk di belakang ada seseoarng yang memakai baju rumput. Segera ternyata ia adalah seorang wanita. Dia masuki pengayuh ke dalam air, nampaknya ia mengayuh dengan perlahan, akan tetapi perahu itu melesat, tubuh perahu seperti melompat di atasan air. Tenaga mengayuh itu mungkin ada tenaga dari dua ratus kati. Seorang wanita bertenaga demikian besar inilah aneh: maka aneh juga pengayuhnya itu yang dapat dipakai mengower air demikian kuat.

Lagi beberapa gayuan, kenderaan air itu segera mendekati restoran. Di sini ada sinar matahari yang menyoroti pengayuh itu, lalu tertampak suatu cahaya berkilau mengkeredep. Nyata pengayuh itu terbuat dari kuningan.

Si wanita tampak perahunya dipelatok di samping tangga batu di bawah loteng restoran, habis itu ia lompat ke darat. Orang yang menumpang perahu itu satu pria, lompat mendarat juga setelah ia samber sepotong kayu pikulan yang kasar. Keduanya terus mendaki tangga loteng.

“Shako!” memanggil si nona tukang perahu setibanya di atas loteng, kepada si kate terokmok. Dia pun lantas sambil sebuah meja, sebagaimana kawannya juga duduk dikursi lainnya.

“Sietee, citmoay, kamu datang siang-siang?” kata si cebol.

Wanyen Lieh diam-diam perhatikan dua pendatang baru ini. Si wanita berusia tujuh atau delapanbelas tahun, tengah remajanya. Dia bermata besar, panjang bulu matanya, kulitnya putih bagaikan salju. Itulah kulitnya orang Kanglam sejati. Ia mencekal pengayuh kuningannya dengan tangan kanan dan menenteng baju rumputnya dengan tangan kiri. Dia pun mempunyai rambut yang hitam mengkilap.

“Walaupun dia tidak dapat melawan kecantikannya Pauw-sieku, dia toh menggairahkan dengan sifatnya sendiri,” berpikir putra raja Kim itu. Sekarang ia lirik si pria yang membawa-bawa kayu pikulan, yang dari romannya dari kepala sampai di kaki, mirip orang desa tulen, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, baju dan celananya berbahan kain kasar, pinggangnya dilibat tali rumput, sedang sepatunya ada cauw-ee, sepatu rumput. Ia bertangan kasar dan kaki gede, romannya jujur polos. Ketika dia sandarkan pikulannya di samping meja, bentrok sama meja itu, terdengarlah suara beberapa kali. Meja itu menggeser sedikit.

Sendirinya Wanyen Lieh terperanjat, hingga ia awasi pikulan itu, yang warnanya hitam mengkilap, kedua ujungnya muncul sedikit, rupanya peranti menjaga pikulan tidak merosot terlepas. Karena beratnya itu, pasti pikulan itu bukan terbuat dari besi entah dari bahan apa. Di pinggangnya orang itupun ada terselip sebuah kampak pendek, sama denagn kampak biasa, yang sudah sedikit gompal.

Baru dua orang itu duduk, di tangga loteng sudah terdengar lagi tindakan kaki berisik dua orang lagi.

“Bagus, ngoko, liokko, kamu datang berbareng!” menyambut si nona nelayan.







Dari dua orang ini, yang jalan di depan tinggi dan kekar, tubuhnya terlibat semacam kain, tubuh itu meminyak, karena bajunya tidak dikancing, dadanya berbulu gompiok. Karena ia menggulung tangan bajunya tinggi-tinggi, pun terlihat lengannya berbulu hitam seperti dadanya itu. Melihat potongannya, ia mirip satu pembantai atau penyembelih hewan, Cuma ditangannya kurang sebatang golok lancip. Orang yang berjalan di belakangnya berpotongan sedang, kepalanya ditutup kopiah kecil, kulit mukanya putih, tangannya mencekal dacin, alat timbangan, serta sebuah keranjang bambu, hingga ia mirip seorang pedagang kecil. Mereka ini ambil masing-masing sebuah meja.

“Heran!” kata Wanyen Lieh dalam hati kecilnya. “Tiga orang yang pertama adalah orang-orang yang mungkin berkepandaian tinggi, kenapa kedua orang ini mirip orang-orang kalangan rendah, dibahasakan saudara?”

Tengah si putra raja Kim berpikir demikian, di bawah loteng terdengar ringkikan kuda yang disusul sama jeritan kesakitan hebat dari dua orang.

Si pedagang kecil lantas saja tertawa. “Shako, kembali ada orang hendak curi kuda twie-hong¬ma’mu!” katanya.

Si cebol tertawa. “Itu namanya berbuat sendiri, makan sendiri hasilnya!” dia bilang.

Wanyen Lieh segera melongok ke bawah loteng, tampak dua orang tengah mengoser sambil merintih.

Pengurus dari Cui Sian lauw tertawa, kata dia pada dua orang yang bercelaka itu: “Kamu bangsat-bangsat luar kota, kenapa kamu tidak dengar-dengar dulu namanya Han Samya? Bagus, ini namanya benturkan kepala dato…! Hayo lekas naik ke loteng untuk minta ampun!”

Di bawah loteng itu ada lagi orang-orang yang berbicara, satu antaranya mengatakan: “Kuda Han Samya lihay melebihkan manusia, dua jentilan kakinya cukup untuk dua pencuri ini..! Sedang seorang yang lain bilang, “Mereka datang ke Kee-hin untuk mencuri, sungguh mereka sudah bosan hidup!”

“Rupanya mereka hendak mencuri kuda lalu kena kuda jentil” pikir Wanyen Lieh. Kedua pencuri kuda itu mencoba merayap bangun, mulut mereka masih berkoak-koak beraduh-aduh. Segera suara mereka itu bercampur sama satu suara baru, ting-tong-ting-tong seperti besi mengadu dengan batu hinga orang pada memandang ke jurusan dari mana suara itu datang.

Di tikungan jalan besar terlihat munculnya satu orang pengkor yang pakaiannya rombeng dan tangan kirinya memegang sepotong tongkat besi dengan apa dia saban-saban memukul batu-batu yang menggelari jalan besar itu. Maka teranglah ia seorang buta. Sungguh celaka, selagi bercacat di bawah, dia pun bercacat di atas, hingga ia mesti gunai tongkat besinya untuk mencari jalanan sekalian menunjang dirinya. Sudah begitu, dipundak kanannya ia ada menggendol semacam senjata peranti memburu, yang ujungnya dibanduli seekor macan tutul. Ia mendatangi dengan tindakan dangklak-dingkluk.

Wanyen Lieh menjadi bertambah heran. “Belum pernah aku dengar orang picak lagi pengkor pandai berburu binatang hutan, malah ia dapat membinasakan seekor harimau…” pikirnya.

Si pengkor merangkap buta ini rupanya telah dengar pembicaraan orang banyak itu. “Bagian anggotanya yang mana yang kena didupak kuda?” dia tanya, suaranya parau.

“Tekukan dengkul kiri,” sahut salah satu pencuri kuda itu.

“Hm!” si buta pendengarkan suaranya, berbareng dengan mana tiba-tiba ia totok pinggangnya si pencuri, hingga dia ini berteriak kesakitan, mana dia berkelit tetapi sudah terlanjur. Karena kesakitan, dia menjadi pentang mulutnya lebar-lebar, “Hei pengemis bangsat, kau juga hendak main gila sama aku!” Dan ia memburu sambil ulur tangannya untuk meninju.

Kalau tadi ini pencuri sakit kakinya sampai tak dapat digerakkan, sekarang dengan tiba-tiba sakitnya itu lenyap, maka setelah datang dekat si buta ia jadi berdiri menjublak. tapi ia pandai berpikir, maka tangannya yang telah diangkat tinggi segera dikasih turun pula, lalu lantas ia memberi hormat sambil menjura.

“Terima kasih, Tuan orang pandai,” katanya. “Aku bodoh, untuk kekasaranku barusan, aku mohon maaf.” Segera ia berpaling kepada kawannya dan berkata: “Saudara mari lekas, kau mohon toaya ini tolong obati padamu…”

Dengan meringis-ringis, pencuri itu bertindak dengan susah payah mendekati si buta dan pengkor itu.

“Toaya binatang itu dupak dadaku…” katanya, dengan suara susah.

Si buta pindahkan tongkatnya ke tangan kanan, dengan tangan kirinya ia usapi dadanya pencuri itu, lalu mendadak ia kitik ketiak orang.

Pencuri itu kegelian, ia mencoba menahan karena mana ia jadi tertawa cekikikan. Tiba-tiba ia merasa enak perutnya, lantas ia muntah beberapa kali, mengeluarkan ludah lendir. Hampir berbareng dengan itu, lenyap rasa sakit di dadanya itu. Maka lekas-lekas ia jatuhkan diri untuk berkutut manggut-manggut hingga jidatnya berbunyi mengenai batu, mulutnya pun mengecoh: “Oh yaya yang sakti, sungguh….”

Si buta tidak menggubris pencuri itu, ia hanya bertindak memasuki restoran itu, terus mendaki tangga loteng.

“Sungguh hari ini aku sangat beruntung!” kata Wanyen Lieh dalam hatinya. “Diluar dugaanku, aku dapat menemui orang-orang berilmu…”

Sampai di atas loteng, si buta lemparkan macan tutulnya ke lantai. “Jongos, cepat kau urus macan ini!” ia perintahkan. “Tulang-tulangnya kau godok menjadi kuwah yang kental! Hati-hati supaya kulitnya tidak sampai terpotong rusak!”

Satu jongos menyahuti, lalu bersama dua kawannya, ia gotong pergi macan tutul itu. Tapi si buta menunjuk kepada Wanyen Lieh seraya ia berkata pada si jongos: “Kau mesti potongi dagingnya barang dua kati, kau suguhkan itu tuan untuk dia mencicipi rasanya…”

“Ya…ya…” sahut si jongos itu.

Wanyen Lieh sendiri menjadi sangat terkejut. “Kenapa ia dapat melihat aku? Apakah dia bukan buta benar-benar?” dia berkata di dalam hatinya.

Ketika itu semua orang yang telah datang terlebih dahulu, yang tengah duduk lantas bangkit bangun.

“Toako!” mereka berseru. Lalu si nelayan wanita bertindak ke meja nomor satu di sebelah timur, berdiri di samping kursi, ia tepuk-tepuk kursi itu seraya berkata: “Toako, di sini kursimu!”

“Baik!” menyahuti si buta itu. “Apakah jietee masih belum sampai?”

“Jieko sudah tiba di Kee-hin, sekarang sudah waktunya ia sampai disini” sahut orang yang potongannya seperti pembantai itu.

Sembari berbicara, si buta bertindak ke mejanya. di mana ia duduk di kursi yang ditepuk-tepuk oleh si nona nelayan.

Menyaksikan perbuatan si nona, mengertilah Wanyen Lieh bahwa si buta benar-benar tak dapat melihat. Rupanya ia membutuhkan suara apa-apa untuk ketahui ke mana ia mesti pergi.

Segera putra raja Kim itu ambil keputusannya untuk ikat perkenalan dan persahabatan dengan orang-orang kangkouw yang aneh ini. Ia pun segera berbangkit dari kursinya. Hanya tepat ia hendak bertindak, guna hampiri si buta, guna haturkan terima kasihnya, untuk daging yang dibagikan kepadanya – yang mana ada alasan bagus sekali untuk berkenalan – tiba-tiba ia dengar tindakan kaki yang bersepatu kulit di undakan tangga loteng. Tindakan itu ada seperti separuh diseret. Ia menjadi heran pula, maka ia lantas berbalik dan memandang.

Yang pertama muncul di mulut tangga loteng adalah sehelai kipas kertas minyak yang gagangnya dekil, kipas itu dikipaskan beberapa kali, habis itu menyusul munculnnya satu kepala orang yang digoyang-goyang, kepalanya satu pelajar melarat. dan Wanyen Lieh segera kenali orang yang tadi ia ketemui di waktu lenyap uangnya.

“Mungkin dia inilah yang curi uangku…” ia menerka-¬nerka. Hatinya lantas menjadi panas. Justru begitu, si pelajar itu mengawasi ke arahnya, bibirnya tersungging senyum, mukanya bertekukan menggoda, setelah mana ia menegur semua orang yang telah hadir di situ. Dia benar-benar yang dimaksudkan si jietee atau jieko, saudara yang kedua.

“Semua mereka lihay, bentrok dengan mereka tiada untungnya,” Wanyen Lieh berpikir. “Baiklah aku lihat gelagat dulu…” Maka ia berdiam terus. Si pelajar sudah lantas tenggak araknya, lalu menggoyang-goyang pula kepalanya, dari mulutnya keluar suara yang bersenandung: “Uang tidak halal….. lepaskan dia…. Thian yang maha kuasa… umbar adatnya!”

Sembari bernyanyi si pelajar melarat ini merogoh sakunya, berulang-ulang, dan setiap kali ia menarik keluar tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada menjepit potongan-potongan uang perak sampai jumlahnya semua belasan potong, baru berhentilah ia merogoh sakunya.

Meluap hawa amarahnya Wanyen Lieh akan melihat uang perak itu yang ia kenali adalah kepunyaannya yang hilang lenyap itu, akan tetapi ia mencoba sebisa-bisanya untuk mengatasi dirinya, sebab berbareng dengan itu, ia heran tidak kepalang.

“Dia cuma tepuk pundakku dengan kipasnya, mengapa ia bisa curi uangku?” demikian ia berpikir tak habis herannya. “Sungguh kepandaian yang lihay……..”

Si nona nelayan tertawa bergelak melihat uang sebanyak itu. “Jiko, hari ini kau beruntung!” serunya. “Tidak tahu siapa yang apes malang….”

Si pelajar melarat itu pun tertawa. “Citmoay, aku ada punya semacam tabiat buruk yang kau telah ketahui!” katanya.

“Oh, aku tahu!” sahut si nona. “Bukankah kembali mengenai negeri Kim?”

Pelajar itu mengipasi uang di depannya dengan tak hentinya. “Uang orang bangsa asing ada sedikit berbau tetapi uang itu masih dapat digunakan!” katanya. Mendengar itu semua kawannya itu tertawa terbahak¬-bahak.

Wanyen Lieh heran bukan kepalang. “Aku menyamar sebagai orang Han, mirip sekali, cara bagaimana ia masih mengenali aku?” dia tanya dirinya sendiri. Lantas dia panggil pelayan untuk bisiki padanya: “Semua tuan-tuan ini akulah yang undang berjamu…” Dia pun lantas keluarkan dua potong emas, yang ia letakkan di atas meja. “Dan kau bawa dulu kepada kuasamu, untuk dititipkan!” katanya pula.

Si buta tidak awas matanya akan tetapi kupingnya jeli luar biasa, tidak peduli orang berbisik, dan jarak mereka jauh pula, ia dapat mendengarnya, maka dengan itu lantas ia serukan kepada sudara¬-saudaranya. “Saudara-saudara ada orang yang mentraktir kita, maka kamu dahar dan minumlah dengan puas!”

Si pelajar menoleh kepada Wanyen Lieh, matanya menyapu, lalu ia mengangguk-angguk, akan tetapi sembari tertawa, ia bertanya pula: “Mana si wanita baik-baik yang kau perdayakan?”

Wanyen Lieh sudah putuskan untuk tidak menimbulkan keributan, ia lantas berpaling ke lain jurusan, ia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Walaupun demikian hatinya berkerja. Di situ ada sembilan buah meja, sekarang baru datang tujuh orang, dari itu masih lebih dua meja yang masih kosong. Siapa lagi dua tetamu itu? Bukankah tujuh orang yang bakal jadi tuan rumah?

Sampai itu waktu, barang hidangan masih belum disajikan, baru arak saja yang dikeluarkan, maka tujuh orang itu Cuma tenggak air kata-kata.

Tengah putra raja ini berpikir, ia dengar datangnya suara memuji dari bawah loteng: “Amitabha Buddha!” Suara itu sangat jernih dan tedas, nyata terdengar hingga ke atas loteng.

“Nah, Ciauw Bok Taysu tiba!” seru si buta yang terus berbangkit, perbuatan mana diikuti oleh enam kawannya: Dengan sikap menghormat mereka berdiri untuk menyambut orang yang baru tiba itu, yang baru suaranya terdengar.

“Ambithaba Buddha!” kembali terdengar pujian, dan sekarang itu disusul sama munculnya satu tubuh kurus kering bagaikan pohon mati, tetapi tindakannya cepat pesat seperti ia tidak menginjak lantai.

Wanyen Lieh melihat satu pendeta usia empat puluh lebih, yang berkerebong jubah kasee merah dengan lapis dalamnya jubah kuning, sedang tangannya memegang sepotong kayu, yang ujungnya telah hitam bekas terbakar. Tak tahu ia apa faedahnya puntung kayu itu.

Pendeta itu dan tujuh saudara tersebut saling memberi hormat dan saling menegur, habis itu si pelajar melarat pun pimpin tamunya ke sebuah meja yang kosong untuk duduk.

Si hweshio menjura, dia berkata: “Orang itu telah datang menyatroni, siauwceng merasa bahwa siauwceng bukanlah tandingannya, maka itu siauwceng bersyukur yang liat-wie telah sudi membantu. Budi yang besar ini, walaupun tubuhku hancur lebur, tak dapat siauwceng membalasnya.”

Pendeta itu ialah Ciauw Bok Taysu, merendahkan diri. Ia menyebutkan dirinya “siauwceng” si pendeta yang kecil rendah.

“Harap kau tidak sungkan, Ciauw Bok Taysu,” berkata si buta. “Kami tujuh bersaudara pun berterima kasih kepadamu yang biasa melimpahkan kebaikan terhadap kami. Tentang orang itu, dia memang sangat aguli kepandaiannya, tanpa sebab tanpa alasan, dia mencari gara-gara terhadap taysu. Dengan perbuatannya itu, mana dia pandang mata lagi kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini? Karena kejumawaannya itu, meskipun dia tidak musuhkan kau, taysu, kita bersaudara pasti tak mau sudah saja…”

Belum lagi habis suaranya si buta ini, di tangga loteng telah terdengar suara yang sangat berat dan nyaring, seperti ada sesuatu yang mendaki, mungkin itu bukan suara gajah tetapi sedikitnya kerbau…. Menyusul itu pun lantas terdengar suara kaget dari kuasa ciulauw serta jongosnya: “Benda begitu berat mana dapat dibawa naik ke atas…! Eh, lantai loteng nanti kena bikin dobol…! Lekas, lekas cegah dia, jangan kasih dia naik!”

Suara berat itu tapinya terdengar terus, disusul mana patahnya sehelai papan undakan tangga, akan kemudian disusul sama mengerekeknya dua helai papan undakan lainnya.

Bagaikan orang yang matanya kabur, Wanyen Lieh segera melihat munculnya satu tojin, satu imam yang tangannya menyangga sebuah jambangan perunggu yang besar sekali, yang mana dibawa naik ke loteng sambil imam itu berlompat, hingga dengan begitu – rupanya – tak usah dia bertindak lagi di undakan tangga. Dan untuk kagetnya putra raja Kim ini, ia kenali si imam adalah Tiang Cun Chu Khu Cie Kee atau Tiang Cun Cinjin!

Wanyen Lieh ini mendapat tugas dari ayahnya menjadi utusan bangsa Kim ke Tionggoan, kerajaan Song. Dia pun bercita-cita besar sekali, maka itu dia sudah lantas berhubungan sama menterinya kerajaan Song untuk dijadikan si menteri serta konco-konconya sebagai alat untuk menyambut dari dalam bila sudah waktunya ia turun tangan. Utusan Song yang datang dari Yankhia menemani dia sepanjangn jalan, Ong To Kian, karena keserakahannya sudah terima sogokan besar dan berjanji suka bekerja sama, utusannya ini telah rela akan menakluk dan menjadi hambanya kerajaan Kim. Dan menteri yang bekerjasama dengan Wanyen Lieh adalah Perdana Menteri Han To Cu.

Girang sekali ini putra raja Kim menampak ikhtiarnya telah berjalan baik sekali. Hanya kemudian ia menjadi sangat kaget akan mendapatkan Ong To Kian mati terbunuh secara gelap, kepalanya hilang berikut hati dan jantungnya. Han To Cu juga kaget dan ketakutan karenanya, dia khawatir sekali rahasianya nanti bocor. Oleh karena ini, untuk menjaga diri turun tangan terlebih dahulu, ingin ia merubuhkan menteri atau panglima yang paling keras kepala hendak melawan negara Kim.

Yang pertama ia ingin singkirkan adalah Sien Kee Ci, Kepala dari Cip¬eng-thian dan pengurus Ciong-yu-koan. Sebenarnya menteri ini tidak berkuasa atas pemerintahan, ia hanya pandai silat dan surat berbareng dan kesetiaannya terhadap negara adalah luar biasa, dia sangat mengharap dapat membangun pula kerjaan Song hingga menjadi jaya seperti semula, sedang rakyat umumnya mengandal padanya.

Kalau Han To Cu anggap paling baik mengirim orang untuk membunuh menteri itu, adalah Wanyen Lieh menghendaki menawan terlebih dulu pembunuhnya Ong To Kian, guna mengompes dia, kalau mendapat tahu siapa yang menitahkan dia melakukan pembunuhan yang hebat itu. Wanyen Lieh tahu, tidak dapat ia mengandal saja kepada pihak Song, dari itu ia tugaskan enam atau tujuh pengawal pribadinya dari Lim-an. Rombongan ini dapat menyandak Khu Cie Kee di Gu¬kee-cun, hanya apa lacur mereka menghadapi musuh yang terlalu tangguh untuk mereka.

Wanyen Lieh sendiri belum sampai turun tangan atau pundaknya telah terkena panah, hampir ia tak dapat lolos seperti orang-orangnya, syukur ia ditolong oleh Pauw Sek Yok. Ia lari ke istananya Han To Cu, untuk sembunyikan diri sambil berobat. Sementara itu, ia lantas tak dapat melupai Pauw-sie, yang ia anggap cantik dan manis, meskipun sebagai putra raja, ia telah melihat banyak wanita elok.

Setelah sembuh dari lukanya, ia perintahkan orang untuk selidiki tentang Pauw-sie itu, sesudah itu, ia minta Han To Cu mengirim orang untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, sedang ia sendiri menyamar sebagi orang baik-baik sebagai penolong nyonya yang ia gilai itu. Pauw-sie tidak tahu akal muslihat orang, ia menyangka pemuda itu bermaksud baik, suka ia mengikuti, maka di luar tahunya sendiri, dia telah jatuh ke dalam genggaman putra raja Kim itu.

Demikian Wanyen Lieh, bukan main kagetnya ia tengok Khu Cie Kee, sampai ia tak dapat menguasai dirinya lagi, tanpa merasa ia membuatnya terlepas dan jatuh sepasang sumpit yang ia lagi pegang. Syukur untuknya Khu Cie Kee tidak kenali padanya, sebab tempo ia diserang dengan panah, ia belum terlihat nyata, dia sudah lantas jatuh terguling, dan sekarang, imam itu lagi menghadapi Ciauw Bok Taysu serta tujuh orang luar biasa itu, ia tidak perhatikan putra raja itu.

Lega juga hatinya Wanyen Lieh apabila selang sekian lama ia dapatkan itu imam tidak perhatikan padanya, pikirnya orang itu telah tidak kenali dia. Hanya dilain pihak, ia terkejut bukan main apabila ia sudah kenali jambangan perunggu yang dibawa-bawa si imam itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar