Sabtu, 15 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 005

Sesudah jalan beberapa puluh tindak, Sek Yok menoleh ke belakang. Herannya ia lihat si perwira dan barisannya masih belum pergi, agaknya mereka itu masih mengasih selamat jalan…….. Ia berpaling kepada si anak muda, ingin ia bertanya, tapi anak muda itu, sambil tertawa mendahului.

“Walaupun Han To Cu sendiri yang melihat aku, dia jerih tiga bagian,” katanya, “Maka itu, apapula segala perwira itu…….”

“Jikalau begitu, pastilah gampang untuk kau membalaskan sakit hatiku,” kata Pauw-sie.

“Soal itu ada lain,” sahut si anak muda. “Sekarang ini kita telah ketahuan siapa adanya, pihak tentara tentu telah membuatnya persediaan, apabila kita pergi menuntut balas sekarang juga, kita bakal gagal, kita bisa celaka.”

“Habis bagaimana?” si nyonya tanya pula. Ia tidak mengerti.

Yen Lieh berdiam sejenak. “Nyonya , dapatkah kau mempercayai aku?” dia tanya.

Pauw-sie mengangguk.

“Sekarang ini mari kita balik dulu ke utara,” Yen Lieh berkata. “Kita tunggu sampai suasana reda, baru kita berangkat ke selatan untuk menuntut balas. Nyonya legakan hati, tentang sakit hati suamimu itu serahkan kepada tanggung-jawabku seorang.”

Sek Yok bingung tidak berdaya. Percaya saja ia ragu-ragu. Bukankah ia sudah rudin dan tak bersanak kandung juga? Kemana ia mesti pergi untuk pernahkan diri? Bukankah lebih baik ia turut pemuda ini? Tapi dia janda, orang pun bukan sahabat bukan sanak, cara bagaimana ia bisa terus ikuti pemuda itu? Dia jadi menjublak karena kesangsiannya itu.

“Jikalau nyonya anggap saranku kurang sempurna, silahkan kau beri petunjukmu,” kata Yen Lieh melihat orang berdiam saja. “Akan aku turut segala titahmu.”

Menampak sikap orang itu, Sek Yok menjadi tak enak sendirinya. “Baiklah, sesukamu…” katanya perlahan, sambil tunduk.

Yen Lieh menjadi girang sekali. “Budimu yang besar, Nyonya, takkan kulupakan,” dia bilang. “Nyonya….”

“Harap kau tidak sebut-sebut tentang budi…” kata Sek Yok.

“Baik, baik, Nyonya….”

Lantas keduanya larikan pula kuda mereka, kadang-kadang yang satu di depan yang lain di belakang, atau setempo berendeng. Hawa udara begitu nyaman karena itu waktu pun ada di musim pertama yang indah. Di sepanjang jalan ada kedapatan pohon-pohon yangliu dan bunga.

Untuk melegakan hati si nyonya, Yen Lieh sering membuka pembicaraan.

Sek Yok heran dan kagum untuk si anak muda, ini kawan seperjalanannya yang sebenarnya asing untuknya. Ia dapati orang halus sikapnya dan menarik kata-katanya. Luas pengetahuannya si anak muda, pandai ia memilih bahan pembicaraan. Orangnya pun tampan dan menyenangkan untuk dipandang.

Pada tengah hari di hari ketiga, mereka tiba di Kee¬hin, sebuah kota besar di Ciat-kang barat, kota dari sutera dan beras. Memangnya kota sudah ramai pada asalnya, terletak dekat kota raja, keramaiannya menjadi bertambah sendirinya.

“Mari kita cari hotel untuk singgah dan beristirahat dulu,” Yen Lieh mengajak.

“Hari masih siang, sebenarnya kita masih dapat melanjutkan perjalanan,” Sek Yok mengutarakan pikirannya.

“Disini ada banyak toko, Nyonya,” Yen Lieh bilang. “Pakaianmu sudah terpakai lama, nanti aku belikan yang baru.”

Sek Yok melengak. “Bukankah ini baru dibeli?” tanyanya. “Apanya yang dibilang lama?”

“Kita jalan jauh dan ditengah jalan banyak debu,” terangkan si anak muda, “Dengan dipakai baru satu dua hari, pakaianmu sudah tak mentereng lagi. laginya dengan wajah ini, Nyonya, mana boleh kau tidak memakai pakaian dari bahan yang terbaik?”

Diam-diam senang hatinya Sek Yok karena orang puji kecantikannya. “Aku tengah berkabung…” katanya perlahan.

“Terang itu aku tahu,” Yen Lieh bilang.

Nyonya itu lantas membungkam.

Yen Lieh terus tanya-tanya orang, akhirnya ia ajak nyonya itu ke hotel Siu sui yang paling besar untuk kota Kee-hin. Di sini mereka paling dulu bersihkan tubuh, lalu duduk bersantap.

“Kau tunggu , Nyonya, hendak aku pergi berbelanja,” kemudian kata si pemuda.

Pauw-sie mengangguk.

Yen Lieh lantas pergi keluar, baru ia sampai di muka hotel, ia lihat seorang mendatangi, orang mana menyolok perhatiannya. Orang mirip dengan satu sastrawan tetapi ia jalan sambil menyeret sepatu kulit, sepatu itu berbunyi ketrak-ketruk walaupun ia jalannya perlahan. Dia pun tidak karuan dandannya, ialah pakaiannya kotor, berminyak, kotor juga mukanya yang penuh debu. Mungkin sudah belasan hari ia tidak pernah mandi. Di tangannya ia mencekal satu kipas kertas minyak warna hitam yang sudah butut, sembari jalan dia mengipas-ipas tak hentinya.

Yen Lieh ada apik, walaupun orang mirip sastrawan, tetapi karena orang demikian jorok, tak mau ia jalan di dekatnya, khawatir tubuhnya nanti kena terlanggar, maka itu sambil mengerutkan kening, ia gancangi tindakannya.






Tiba-tiba orang jorok itu tertawa, suaranya kering, bagaikan siulannya burung malam. Dia tertawa terus beberapa kali, tertawanya itu tajam menusuk telinga. Tepat ketika keduanya impas-impasan, si jorok itu ulur tangannya, dengan kipas bututnya dia tepuk pundaknya Yen Lieh.

Anak muda ini gagah, akan tetapi, atas tepukan itu tak keburu ia berkelit. Ia menjadi tidak senang.

“Eh, kau bikin apa`?” ia menegur.

Orang itu perdengarkan pula tertawanya yang kering itu, ia jalan terus, tindakan kakinya terus berbunyi ketrak-ketruk. Ketika ia tiba di ujung hotel, ia menoleh kepada jongos hotel seraya berkata dengan keras: “Eh, jongos, kau jangan pandang tak mata kepada baju tuanmu yang rubat-rabit ini! Kau tahu, tuan besarmu ada punya uang perak! Di pihak lain, ada bocah yang tersesat, dengan pakaiannya yang mentereng, dia pentang aksi untuk bikin orang silau guna menipu, untuk mengakali kaum wanita, buat anglap makanan dan hotel! Terhadap bocah begitu macam, kau mesti awas mata! Paling baik kau minta dia membayar uang sewa di muka!” Lalu dengan tak menantikan jawaban, dia ngeloyor terus, sepatunya terus berbunyi: “Truk! Truk! Truk…!”

Panas hatinya Yen Lieh. “Binatang!” katanya dalam hatinya, “Bukankah dia maksudkan aku?”

Jongos itu melirik kepada pemuda ini, mau tidak mau timbul kecurigaannya. Dengan lekas ia menghampiri. “Tuan, harap kau tidak kecil hati, bukannya aku kurang ajar…” katanya sambil memberi hormat.

Yen Lieh bisa duga hati orang. “Kau pegang uang ini!” katanya menyela. Sementara itu tangannya meragoh ke sakunya, tetapi segera ia melongo. Ia tahu, dia ada membekal uang empat atau lima puluh tail perak akan tetapi sekarang kantungnya kosong.

Jongos itu lihat air muka orang, ia jadi menduga terlebih keras. Sekarang ia tak sungkan-sungkan lagi. “Apa?! Kau tidak membawa uang?” katanya.

“Kau tunggu sebentar, hendak aku balik ke kamarku untuk mengambil,” kata Yen Lieh. Ia mau menyangka tadi karena terburu-buru ia lupa bawa uangnya. Setibanya di dalam kamar, ia menjadi tercengang pula. Ia dapatkan buntalannya tidak ada uangnya. Ia heran, tak tahu ia di mana lenyapnya uangnya itu.

Jongos mengikuti ke kamar, ia tangal-tongol di muka pintu dengan begitu ia jadi dapat lihat orang tidak punya uang. Ia menjadi berani. “Apakah wanita ini benar istrimu?” dia tanya. “Apakah kau tengah menipu dia? Janganlah kau nanti rembet-rembet kami!”

Sek Yok tidak tahu apa yang sudah terjadi tetapi ia dapat menduga, mukanya menjadi merah. Ia malu dan bergelisah.

Dengan tiba-tiba Yen Lieh mencelat ke pintu dan tangannya menyambar. “Plok!” demikian suara di mukanya si jongos yang pipinya menjadi bengap dan giginya rontok beberapa biji. Tentu ia menjadi gusur, sambil pegangi pipinya dia menjerit: “Bagus, ya bagus betul! Kau sewa kamar tidak mau bayar, kau juga berani pukul orang!”

Dengan murkanya Yen Lieh mendupak, hingga orang itu jungkir balik.

“Mari kita lekas pergi!” Sek Yok mengajak. “Jangan kita nginap disini!”

“Jangan takut!” kata Yen Lieh. Kali ini ia tertawa. “Kita tidak punya uang tetapi kita boleh suruh mereka mengadakannya!”

Ia lantas sembat sebuah kursi yang ia letaki di ambang pintu. Di situ ia lantas bercokol.

Jongos tadi yang telah kabur keluar segera kembali bersama belasan orang, yang romannya seperti buaya darat, tangan mereka membawa toya dan ruyung, sikap mereka garang.

“Apakah kamu hendak berkelahi?” tanya Yen Lieh sambil tertawa. Kata-kata itu disusul sama mencelatnya tubuhnya, lalu tahu-tahu ia telah rampas toyanya satu orang dengan apa terus ia menghantam kalang kabutan. Sekejap saja empat lima orang telah terguling rubuh. Menampak demikian, sisa yang lainnya lantas lemparkan senjata mereka dengan memutar tubuh, mereka sipat kuping, akan kemudian diturut oleh kawan-kawan yang telah terima hajaran, yang repot merayap bangun.

“Ah, urusan menjadi hebat, mungkin nanti datang pembesar negeri,” kata SekYok dengan berkhawatir.

Yen Lieh tetap tertawa. “Itulah yang aku kehendaki!” sahutnya.

Nyonya Yo bungkam. Tak tahu ia maksudnya pemuda ini.

Kira-kira setengah jam, hotel menjadi sunyi. Pihak hotel atau tetamu, tidak ada yang berani banyak mulut lagi. Baru kemudian, di luar terdengar suara berisik lalu muncul belasan orang polisi, yang bersenjatakan golok dan thie-cio (ruyung pendek yang bercagar atau gagangnya bergaetan). Mereka pun bekal borgol yang rantainya berkontrangan.

“Sudah menipu wanita, masih berani galak, aturan dari mana?” demikian di antarannya pentang bacot. “Mana dia si penjahat!”

Yen Lieh bercokol tidak bergeming.

Menyaksikan sikap orang itu, rombongan oppas itu tidak berani lantang maju.

“Eh, kau she apa?” menegur yang menjadi kepala. “Mau apa kau datang ke Kee-hin ini?”

Yen Lieh tetap tidak bergerak. “Pergi kau panggil Khay Oen Cong kemari!” ia bilang, suaranya keren.

Hamba negeri itu terkejut. Khay Oen Cong itu adalah namanya pembesar mereka, tiehu atau residen dari Kee-hin. Kemudian mereka menjadi gusur.

“Apakah kau edan?” si kepala polisi tanya.”Bagaimana kau berani sembarang sebut namanya Khay Toaya kami?”

Yen Lieh rogoh sakunya, untuk mengeluarkan sepucuk surat yang mana ia lemparkan ke atas meja, kemudian sambil matanya memandang keatas, ia berkata: “Kau bawa suratku ini, kasihkan pada Khay Oen Cong. Hendak aku lihat, ia datang ke mari atau tidak!”

Orang polisi itu jumput surat itu, setelah membaca sampulnya ia terkejut, akan tetapi agaknya ia masih sangsi.

“Kamu jaga dia, jangan sampai dia kabur…” pesannya pada orang-orangnya, lalu ia terus pergi.

Sek Yok saksikan itu semua, hatinya terus goncang. Tak tahu ia urusan bakal jadi bagaimana hebatnya. Karena ini, hebat ia menunggu kira setengah jam, sesudah mana di luar hotel terdengar pula suara berisik dari orang banyak. Itulah suara beberapa puluh orang polisi, yang mengiringi dua pembesar dengan pakaian dinasnya. Kapan mereka berdua sampai di depan Yen Lieh, keduanya lantas saja memberi hormat sambil tekuk lutut.

“Piecit adalah Khay Oen Cong, tiehu dari Kee-hin dan Kiang Bun Kay tiekoan dari Siu-sui-koan,” berkata mereka.”Piecit tidak ketahui tayjin tiba disini, kami tidak datang menyambut, harap tayjin suka memaafkannya.”

Yen Lieh ulapkan tangannya, ia membungkuk sedikit. “Aku telah kehilangan uang di kecamatan ini, aku mohon Tuan-tuan suka tolong periksa dan mencarinya,” ia berkata, terutama terhadap Kiang Bun Kay si camat.

Khay Oen Cong menyahuti dengan cepat.

“Ya, ya,” katanya, habis mana, ia menoleh ke belakang seraya geraki tangannya, atas mana muncul dua orang polisi yang membawa dua menampan-¬menampan, yang satu bermuatkan emas berkilau kuning dan yang satunya lagi berisi perak yang berkeredep putih.

“Di tempat kami ada penjahat yang main gila, itulah kealpaan kami,” berkata Khay Oen Cong. “Sekarang ini sudilah kiranya Tayjin menerima dahulu ini jumlah yang tidak berarti.”

Yen Lieh tertawa, ia mengangguk.

Dengan cara hormat, Khay Tiehu lantas angsurkan suratnya pemuda itu.

“Piecit telah siapkan tempat beristirahat, silahkan Tayin dan hujin singgah di sana,” tiehu itu memohon kemudian.

“Tempat di sini lebih meyenangkan,” berkata Yen Lieh. “Aku lebih suka tempat yang tenang. Kamu jangan ganggu aku.” Dengan tiba-tiba wajah si anak muda menjadi keren.

“Baik, baiklah,” kata Oen Cong dan Bun Kay dengan cepat. “Tayjin masih membutuhkan apalagi, tolong sebutkan, nanti piecit siapkan.” Yen Lieh dongak, ia tidak menyahuti, Cuma tangannya diulapkan.

Dengan tidak bilang apa-apa lagi, Oen Cong dan Bun Kay mengundurkan diri dengan hormat dan tanpa berisik semua polisi mengikuti mereka.

Jongos saksikan itu semua, mukanya menjadi pucat, lenyap darahnya. Bukankah residen dan camat pun mesti berlutut terhadap tetamunya itu? Tidak ayal lagi dengan dipimpin kuasa hotel, dia berlutut seraya memohon ampun.

Yen Lieh mengambil sepotong perak dari atas nampan,, ia lemparkan itu ke atas tanah. “Aku persen ini kepadamu!” katanya sambil tertawa. “Lekas pergi!”

Jongos itu melengak, ia bersangsi, tetapi kapan kuasa hotel lihat wajah si tetamu tenang dan ramah, khawatir orang gusar, lekas-lekas ia pungut uang itu, ia berlutut dan manggut-manggut, lalu dengan cepat ia seret si jongos pergi.

Sampai disitu Pauw Sek Yok menjadi heran, hatinya pun lega, hingga ia bisa tertawa. “Sebenarnya suratmu itu wasiat apa?” ia tanya. “Satu pembesar sampai ketakutan demikian rupa!”

Yen Lieh tertawa. “Sebenarnya tidak ku niat pedulikan mereka,” ia menyahut. “Pembesar itu sendirinya tak punya guna, orang-orang sebawahannya Tio Kong semua bangsa kantong nasi, kalau negara mereka tidak lenyap, benar-benar tidak pantas!”

Sek Yok heran. “Siapa itu Tio Kong?” tanyanya.

“Tio Kong ialah Kaisar Leng Cong yang sekarang!” sahut Yen Lieh.

Nyonya Yo Tiat Sim menjadi terperanjat. “Dia mengaku sebagai sahabatnya Han Sinsiang, semua pembesar sipil dan militer hormati dan takuti dia, aku menyangka dialah sanaknya kaisar,” dia berpikir. “Atau setidaknya dia pembesar berpangkat sangat tinggi…. Kenapa dia sekarang berani terang-terangan menyebut nama kaisar? Kalau hal ini di dengar orang, apa ini didengar orang, apa itu bukan artinya sangat kurang ajar..?” Maka lekas-lekas ia berkata “Bicara hati-hati! Nama raja mana boleh sembarangan disebut¬-sebut?”

Senang Yen Lieh akan mengetahui nyonya ini menyayangi dia. “Tidak ada halangannya untuk aku menyebutkan namanya,” ia menyahut sambil tertawa. “Setibanya kita di utara, jika kita tidak panggil dia Tio Kong, habis kita mesti memanggil apa?”

Lagi sek Yok terkejut. “Ke Utara?” dia bertanya.

Yen Lieh mengangguk. Ia baru mau menyahuti, tapi di luar hotel terdengar tindakan dari beberapa puluh kuda yang terhenti tepat di muka hotel. Ia lantas saja mengerutkan kening, nampaknya ia sangat tidak puas. Sek Yok sebaliknya terkejut.

Segera terdengar tindakan banyak kaki yang bersepatu kulit memasuki ruang hotel, terus ke muka kamarnya si anak muda. Itulah beberapa puluh serdadu dengan pakaiannya yang tersulam. Begitu mereka melihat Yen Lieh, semua sangat girang, hampir berbareng mereka menyerukan: “Ongya!” Dan lantas semuanya memberi hormat sambil berlutut.

“Akhir-akhirnya kamu dapat cari aku!” kata Yen Lieh sambil tertawa

Sek Yok dengar orang dipanggil “ong-ya” – “sri paduka”, ia tidak terlalu heran. Ia hanya heran menyaksikan rombongan serdadu itu, yang terus berbangkit untuk berdiri dengan tegak. Mereka semua bertubuh besar dan kekar. Peragamannya rapi. Mereka beda daripada tentara Tionggoan.

“Semua keluar!” kemudian Yen Lieh berkata, tangannya diulapkan.

Dengan berbareng menyahuti semua serdadu itu mundur teratur.

“Bagaimana kau lihat semua orangku dibandingkan dengan tentara Song?” ia tanya.

“Apakah mereka bukannya tentara Song?” si nyonya membaliki.

Yen Lieh tertawa. “Sekarang baiklah aku omong terang padamu!” katanya, riang gembira. “Semua serdadu itu adalah tentara pilihan dari negara Kim yang besar!” Dan dia tertawa pula, panjang dan puas sekali.

“Kalau begitu kau jadinya, kau…” katanya Sek Yok dengan suara yang gemetar.

Yen Lieh kembali tertawa. “Bicara terus terang nyonya, namaku mesti ditambah satu huruf “Wan” di atasnya,” dia menyahuti. “Sebenarnya aku yang rendah ini adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari Raja Kim, Pangeran Tio Ong adalah aku yang rendah….”

Mau atau tidak Sek Yok terperanjat, ia tercengang. Pernah dahulu ia dengar ayahnya bercerita bagaimana bangsa Kim telah menggilas wilayah Tionggoan, bagimana dua kaisar Tionggoan telah ditawan, dibawa pulang ke negeri Kim itu, bahwa rakyat di utara telah diperlakukan dengan kejam oleh bangsa Kim itu. Kemudian, setelah ia menikah dengan Yo Tiat Sim, ia juga ketahui bagimana hebat suaminya itu membenci bangsa Kim itu. Sekarang diluar tahunya, orang dengan siapa siang dan malam ia berada bersama selama beberapa hari, adalah putranya raja Kim itu, yang menjadi musuh Tionggoan. Tentu saja oleh karena ini ia menjadi tidak dapat membuka mulutnya.

Wanyen Lieh lihat air muka orang berubah, lenyap senyumnya si nyonya. Ia lantas berkata, “ Telah lama aku kagumi keindahan wilayah selatan, karenanya pada tahun baru yang baru lalu telah aku mohon Ayahanda raja mengirim aku ke Lim-an sebagai utusan yang datang untuk memberi selamat tahun Baru kepada kaisar Song. Di samping itu kebetulan kaisar Song belum membayar upeti tahunannya yang berjumlah beberapa puluh laksa tail perak, dari itu Ayahanda raja menitah aku menagihnya sekalian.”

“Upeti tahunan?” Sek Yok heran.

“Ya,” sahut putra raja Kim itu. “Kerajaan Song mohon negaraku tidak menyerang dia, dia janji saban tahu mengirim upeti uang dan cita, tetapi dengan alasan penghasilan negaranya tidak mencukupi, sering-sering kaisar Song tidak menepati janjinya, maka kali ini aku tidak sungkan-sungkan lagi menghadapi Perdana Menteri Han To Cu, aku tandaskan kepadanya, apabila dalam tempo satu bulan upeti tidak dibayar penuh, aku sendiri bakal mengepalai angkatan perang untuk mengambilnya dan dia tak usah capekkan hati lagi mengurusnya!”

“Apa kata Han Sinsiang?” Sek Yok tanya.

“Apa lagi dia bisa bilang? Belum lagi aku meninggalkan Lim-an, uang dan cita sudah diseberangkan sungai. Hahaha!!”

Sek Yok berdiam. Alisnya kuncup.

“Menagih upeti ada urusan yang remeh, cukup dengan utus satu menteri,” berkata pula Wanyen Lieh. “Akan tetapi Aku datang sendiri, karena ingin aku menyaksikan kepermaian wilayah selatan ini, maka adalah diluar dugaanku, aku bertemu dengan Nyonya, sungguh aku sangat beruntung.”

Pauw Sek Yok tetap bungkam.

“Nah, sekarang hendak aku pergi beli pakaian,” kata Wanyen Lieh kemudian.

“Tidak usah,” kata Sek Yok tunduk.

Putra raja Kim itu tertawa ketika ia berkata pula, “Uang pribadi Han Sinsiang sendiri yang dibekali padaku, jikalau aku pakai itu untuk membeli pakaian, tak habis kau pakai itu selama seribu tahun, Nyonya! Kau jangan takut, di empat penjuru sini telah berjaga¬jaga pasukan pribadiku, tidak akan ada penjahat yang berani ganggu padamu!”

Mendengar itu Sek Yok mau menduga bahwa ia telah diancam dengan samar-samar bahwa tak dapat ia melarikan diri apabila ia mikir demikian, karena hotel itu telah dijaga rapat, ia hanya heran sekali, apa maksudnya putra raja Kim itu yang ia seorang wanita dari rakyat jelata, diperhatikan demikian macam. Itulah perlakuan istimewa. Kapan ia ingat suaminya, yang sangat mencintainya, ia lantas mendekam di pembaringannya dan menangis sedih sekali.

Dengan membekal uang, Wanyen Lieh pergi ke kota di bagaian yang ramai. Ia lihat penduduk kota halus gerak-geriknya, walaupun kuli, nampak beda juga, maka itu diam-diam ia mengaguminya. Ia lantas memikir untuk nanti, kapan ia mengepalai angkatan perang mendatangi wilayah ini, ia akan mohon ayahnya angkat ia menjadi Gouw Ong, pangeran wilayah selatan ini, supaya dapat ia tinggal tetap di Kanglam….

Dengan perasaan puas, bangsawan ini bertindak dengan perlahan-lahan, matanya memandangi sekitarnya hingga mendadak ia dengar larinya kuda derap. Jalan besar di situ tidak lebar, orang-orang yang berlalu lintas kebetulan banyak, dan pinggiran jalanan pun ditempati pedagang-pedagang gelar dan pikulan, kenapa ada orang yang larikan kudanya di situ. Ia lantas menyingkir ke pinggiran. Sebentar saja kuda itu telah tiba. Itulah seekor kuda kuning yang tinggi dan besar, tegap tubuhnya dan pesat gerakkannya. terang itu adalah kuda asal luar tapal batas. Menampak kuda itu, Wanyen Lieh memuji akan tetapi kapan ia saksikan penunggangnya, ia jadi tertawa sendirinya.

Penunggang kuda itu adalah seorang yang tubuhnya kate dan terokmok dan romannya jelek, dengan bercokol di atas kuda yang tinggi besar, ia mirip setumpuk daging belaka. Sudah ia pendek tangan dan pendek kaki, lehernya pun seperti tidak ada, yang kelihatan cuma kepalanya yang gede, yangmuncul mengkeret di atasan pundaknya.

Di sebelah keanehan si penunggang kuda, aneh juga cara kudanya berlari-lari. Kuda itu tidak pernah menerjang barang atau menyentil orang, ia dapat bergerak merdeka, seperti kelit sana dan kelit sini, atau melompati pukulan pedagang-pedagang. Wanyen Lieh merasa ia adalah satu ahli penunggang kuda, tetapi sekarang tanpa merasa ia berseru; “Bagus!”

Si kate terokmok dengar orang memuji dia, dia berpaling, maka dengan itu Wanyen Lieh dapat lihat tegas muka orang. Itulah satu muka yang merah seperti ampas arak, dengan hidung besar dan bulat seperti buah prim merah ditempel di muka.

“Kuda itu jempol, baik aku beli dengan harga istimewa,” pikirnya.

Hampir di itu waktu, di jalan itu muncul dua bocah berlari-lari main kejar-kejaran melintas di depan kuda. Kuda itu kaget, kakinya bergerak. Tepat di itu saat, kate terokmok angkat lesnya, tubuhnya pun terangkat dari bokong kuda, kuda mana terus lompat melewati atas kepalanya dua bocah itu, sesudah itu, tubuh si kate turun pula, bercokol lagi di bokong kuda seperti tadi, numprah dengan aman!

Wanyen Lieh kagum hingga ia menjublak. Lihay luar biasa si cebol itu, di negaranya sendiri – negara Kim tidak ada penunggang kuda sepandai dia walaupun ia ada punya banyak ahli penunggang kuda. Sekarang ia insyaf bahwa manusia tidak dapat di lihat dari romannya saja.

“Jikalau dia bisa diundang ke kota rajaku, untuk jadi guru, bukankah pasukan kudaku bakal menjagoi di kolong langit ini?” dia berpikir. Dia pun melamun, berapa besar faedahnya apabila ia berhasil membeli kuda istimewa itu.

Memang putra raja Kim ini adalah seorang dengan cita-cita luhur, dan teliti sepak terjangnya. Dengan mendatangi Kanglam, ia berperang sudah perhatikan keletakan daerah, hingga ia tahu baik sekali tempat-¬tempat dimana ia dapat pernahkan tentaranya atau dimana dia dapat seberangi sungai. Malah ia ingat juga nama-namanya setiap pembesar setiap tempat serta kepandaiannya setiap pembesar itu.

“Pemerintah di selatan ini justru buruk, sayang kalau orang pandai ini tak dapat digunai olehku,” dia ngelamun terlebih jauh. Karenanya ia lantas ambil ketetapan untuk undang kate terokmok itu. Malah ia lantas lari untuk menyusul penunggang kuda itu. Selagi ia khawatir nanti tak dapat menyandak, sedangnya ia berniat mengoaki si kate itu, mendadak kuda orang itu berhenti berlari. Kembali ia menjadi heran. Tak biasanya kuda larat dapat berhenti secara demikian tiba-tiba, biasanya kuda itu mesti berlari-kari perlahan dahulu.

Selagi Wanyen Lieh terheran-heran, si kate terokmok sudah lompat turun dari kudanya dengan cepat luar biasa, ia telah memasuki sebuah restoran di pinggiran mana kudanya dihentikan secara istimewa itu, maka dilain saat sudah terdengar tindakannya yang cepat di undakan tangga loteng.








OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar