Sabtu, 15 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 004

Hatinya Pauw-sie sakit bagai disayat-sayat karena tolakan suaminya, beberapa saat ia mengawasi suaminya itu, sang suami lantas lenyap, di pihak lain, rombongan serdadu telah mendatangi ke arahnya. Ia mencoba lari, tetapi sudah terlambat, ia kena kecandak dan ditawan, tubuhnya segera dikasih naik ke atas seekor kuda.

“Aku tidak sangka dua orang itu demikian kosen hingga mereka dapat mencelakai tak sedikit saudara-¬saudara kita!” berkata satu perwira sambil tertawa.

“Tapi sekarang kita toh peroleh hasil!” kata satu perwira lain. “Eh, sahabatku Ciong, untuk cape kita ini kita bakal dapat persen tiga atau empat puluh tail perak!”

“Hm!” menyahut si Ciong itu. “Aku harap asal saja potongannya dikurangi sedikit…!” Terus ia menoleh kepada barisannya, akan beri titahnya: “Kumpulkan barisan!” Serdadu tukang terompet sudah lantas kasih dengar suara alat tiupnya

Pauw-sie menangis tersedu-sedu, ia lebih memikirkan suaminya yang ia tidak tahu bagaimana jadinya.

Ketika itu sang fajar telah tiba, dijalanan sudah ada beberapa orang yang berlalu lintas, akan tetapi mereka nampak serdadu, mereka lalu menyingkir jauh-jauh.

Mulanya Pauw-sie sangat khawatir kawanan serdadu itu nanti perlakukan kasar atau kurang ajar terhadapnya, kemudian ia merasa sedikit lega. Ia tidak saja tidak diganggu, ia malah diperlakukan dengan manis dan hormat.

Barisan ini baru berjalan beberapa lie, tiba-tiba mereka dicegat oleh belasan orang yang mengenakan pakaian serba hitam, yang semua berbekal senjata. Mereka itu muncul dengan tiba-tiba dari pinggir jalanan. Seorang yang berada di paling depan sudah lantas kasih dengar suaranya yang bengis: “Kawanan serdadu tak tahu malu dan kejam, tukang ganggu rakyat, kamu semua turun dari kuda kamu dan serahkan diri!”

Perwira yang pimpin barisan itu menjadi gusar. “Kawanan berandal dari mana yang berani mengacau di wilayah kota raja?!” dia balas membentak. “Lekas menggelinding pergi!”

Pihak baju hitam itu tidak menggubris bentakan itu, sebaliknya mereka buktikan ancaman mereka, tanpa bilang suatu apapun, mereka maju menerjang, dengan begitu pihak jadi bertempur kalut.

Kawanan baju hitam itu berjumlah lebih kecil akan tetapi mereka mengerti ilmu silat dengan baik, dengan begitu pertempuran menjadi berimbang.

Menyaksikan pertempuran itu, diam-diam Pauw-sie girang. “Bukankah mereka ini adalah kawan-¬kawan suamiku, yang mendengar kabar dan telah datang menolong?” demikian ia menduga-duga.

Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba satu busur nyasar menyambar punggung kudanya Pauw Sek Yok. Binatang itu kaget dan kesakitan, ia berlompat dan lari kabur.

Sek Yok kaget dan ketakutan, ia mendekam di kudanya itu yang lehernya ia peluki keras-keras. Ia takut jatuh.

Kuda itu kabur terus hingga beberapa lie, sampai di sebelah belakangnya, terdengar datang kuda lain, lalu tertampak satu penunggang kuda datang memburu. Cepat sekali larinya kuda pengejar ini segera ia mendahului dan lewat di samping Pauw-sie, si penunggangnya sendiri sambil melarikan kudanya itu memutar sehelai dadung panjang di atas kepalanya, apabila ia melepaskan sebelah tangannya, dadung itu ialah lasso, lantas menyambar ke kudanya Sek Yok. Sekarang kedua kuda jadi lari berendeng, si penunggang kuda menahan dengan perlahan-lahan, dari itu sesaat kemudian kedua kuda itu larinya perlahan, akhirnya selang beberapa puluh lie, kuda si penunggang berhenti dengan tiba-tiba, sebab mulutnya penunggang itu perdengarkan tanda. Dengan begitu kuda Sek Yok pun berhenti seketika. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya.

Pauw-sie kaget dan ketakutan, ia juga ngantuk dan lelah, sehingga ketika kuda itu berlompat berdiri habislah tenaganya, tak dapat ia memeluki lagi leher kuda lantas saja ia rubuh ke tanah dan pingsan. Ia tidak tahu berapa lama, hanya dapatkan tubuhnya rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk kasurnya dan tubuhnya pun dikerebongi selimut kapas yang membuat ia merasa hangat. Ia buka matanya perlahan-lahan. Yang pertama ia lihat ialah langit kelambu kembang. Maka sadarlah ia telah tidur di atas pembaringan. Ia menoleh ke samping, ia dapatkan sebuah meja dan satu pelitanya. Di tepi pembaringan duduk satu orang laki-laki dengan pakaian serba hitam.

Ketika pria itu melihat orang siuman dan tubuhnya bergerak, lekas-lekas iapun bangun berdiri, menyingkap kelambu dan menggantungnya. “Oh, kau sudah sadar?” pria itu bertanya, perlahan suaranya.

Biar bagaimana, Sek Yok belum sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia mengawasi.

Si pria ulur tangannya, untuk meraba jidat si nyonya. “Oh, panas sekali!” katanya. “Tabib akan segera datang…”

Sek Yok meramkan pula matanya, terus ia tidur pula. Ketika sadar samar-samar ia merasa ada orang pegang nadinya, kemudian memberi ia makan obat. Ia masih tak sadar benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak: “ Engko Tiat! Engko Tiat!” Lalu ia merasa ada tangan pria yang dengan perlahan-lahan mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah lembut.

Beberapa saat kemudian Sek Yok siuman, hari sudah terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit duduk.

Seseorang menghampiri. “Minum bubur?” tanyanya dari luar kelambu.

Pauw-sie kasih dengar suara perlahan, pria itu singkap kelambunya.

Sekarang dua muka saling berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok dapat melihat dengan jelas, maka ia menjadi terkejut. Tampak satu wajah yang tampan, yang tersungging senyuman manis. Itulah si anak muda yang beberapa bulan yang lalu ia tolong selagi orang terluka dan rebah tak berdaya di atas salju, yang kemudian menghilang tidak keruan paran dari gudang kayu.

“Tempat ini tempat apa?” nyonya ini kemudian tanya. “Mana suamiku?”

Pemuda itu menggoyang tangan, melarang orang berbicara.

“Sebenarnya aku bersama beberapa kawan kebetulan lewat di sini,” ia berkata dengan perlahan. “Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak puas, maka aku tolong kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang telah menunjuki aku penolongku…” Ia berhenti sebentar, lalu lanjutnya “Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang berada dirumah seorang petani, maka itu jangan Nyonya sembarang muncul. Harap Nyonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah suami Nyonya…”

Muka Sek Yok menjadi merah, akan tetapi ia mengangguk.

“Mana suamiku?” ia bertanya. 




“Sekarang kau letih dan lemah sekali, Nyonya,” kata pula si anak muda. “Nanti saja setelah kesehatanmu pulih, aku berikan keterangan. Sekarang baiknya kau beristirahat dulu.”

Sek Yok terperanjat. Dari caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah mendapat suatu kecelakaan.

“Dia…dia kenapa, suamiku itu?” ia tanya, tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur.

“Nyonya, jangan gelisah tidak karuan,” orang itu menhibur, “Untukmu paling baik adalah merawat diri…”

“Apakah dia…dia telah meninggal dunia?” Sek Yok Bertanya.

Pemuda itu mengangguk.

“Ya, ia telah dibinasakan oleh rombongan serdadu itu…” ia beri keterangan.

Sek Yok kaget, ia lantas pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan.

“Sudahlah,” si anak muda menghibur pula.

“Bagaimana caranya ia meninggal dunia?” Pauw-sie tanya.

“Bukankah suami Nyonya berumur kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, yang bersenjatakan sebatang tombak panjang?” si anak muda tegaskan.

“Benar dia.”

“Aku tengah melawan tiga musuh ketika satu musuh jalan mengitar ke belakang suamimu itu yang dia tombak punggungnya,” si anak muda beritahu.

Lagi-lagi Sek Yok pingsan. Besar sangat cintanya kepada suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau minum. Ia berkeputusan nekad untuk binasa bersama suaminya itu.

Si pria kelihatan halus budi pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan membujuki untuk nyonya legakan hati.

“Apa she dan nama Tuan?” kemudian Sek Yok bertanya. Ia menjadi tak enak hati untuk bersikap tawar terus. “Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan kau dapat menolong?”

Pria itu bersangsi agaknya. ia telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian barulah ia bisa omong juga.

“Aku orang she Yen dan namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu satu dengan lain.” ia menyahut akhirnya

Merah muka Sek Yok ketika mendengar kata “jodoh”, ia balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan. Tetapi hatinya bukan tidak bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya.

“Apakah kau dan tentara negeri itu datang dari satu jurusan?” ia tanya

“Ke…kenapa?” Yen Lieh tanya.

“Bukankah baru-baru ini kau dapat luka karena kau bersama tentara negeri hendak mencoba menawan Khu Totiang?” Sek Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan pemuda itu.

“Kejadian hari itu sungguh membuat aku penasaran!” sahut Yen Lieh. “Aku datang dari utara, hendak aku pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba sebatang busur nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku, Nyonya, pastilah terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya imam siapa yang hendak mereka tawan itu?”

“Oh, kiranya kau kebetulan lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka itu?” berkata Sek Yok, romannya heran, “Aku tadinya menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu Totiang, hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau.”

Sampai di situ, Pauw-sie tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentara negeri, karena mana imam itu telah membuatnya perlawanan dahsyat.

Yen Lieh mengawasi orang berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok dapat lihat kelakuan orang itu.

“Eh, kau hendak dengari ceritaku atau tidak?” ia menegur.

Yen Lieh terkejut, lalu ia tertawa.

“Ya, ya aku tengah memikirkan cara bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongan serdadu itu,” ia menjawab. “Tidak ingin aku yang kita nanti kena di bekuk mereka…”

Sek Yok menangis. “Suamiku telah terbinasa, untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama…?” katanya. “Baik kau pergi sendiri saja…”

“Tetapi Nyonya!” peringatkan Yen Lieh. “Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu belum terbalas, bagaimana kau Cuma ingat kematian saja? Nanti suamimu, yang berada di tanah baka, matanya tak meram…”

Nyonya itu terkejut, tetapi ia lemah hatinya. “Aku seorang perempuan, bagaimana dapat aku membalas dendam?” tanyanya.

Yen Lieh kelihatannya murka. “Biarpun aku bodoh, akan kucoba membalas dendam untukmu, Nyonya!” katanya keras. “Apakah nyonya tahu, siapa musuh suamimu itu?”

Nyonya Yo Tiat Sim berpikir sejenak. “Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya, namanya Toan Thian Tek,” sahutnya kemudian. “Dia punya tanda biru di mukanya.”

“Dia telah diketahui she dan namanya, gampang untuk mencari dia,” berkata si anak muda. Ia terus pergi ke dapur, untuk mengambil semangkok bubur serta satu biji telur asin.

“Jikalau kita tidak pelihara kesehatanmu, cara bagaimana kau bisa menuntut balas?” katanya perlahan setelah ia bawakan bubur dan telur asin itu kepada si nyonya.

Pauw-sie anggap perkataan itu benar, ia sambut bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan.

Besok paginya, Pauw-sie turun dari pembaringan, setelah rapikan pakaian ia hadapi kaca untuk sisiri rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu merupakan setangkai bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia berkabung untuk suaminya. Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang cantik bagaikan bunga akan tetapi pemiliknya telah tak ada – yang satu tetap menjadi seorang manusia, yang lain telah menjadi setan…. Ia menjadi sedih sekali, maka ia menangis dengan mendekam di meja.

Yen Lieh bertindak masuk selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah sedikit reda, ia berkata: “Tentara di luar sudah pergi, mari kita berangkat.”

Sek Yok susut air matanya, ia berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu.

Yen Lieh serahkan sepotong perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda, satu diantaranya adalah kudanya Sek Yok, yang terkena panah, yang sekarang telah diobati lukanya.

“Kita menuju kemana?” tanya Pauw-sie.

Yen Lieh kedipi mata, untuk cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain, kemudian ia membantu nyonya itu naik ke atas kuda, maka di lain saat, keduanya sudah jalankan kuda mereka berendeng menuju ke utara.

Belasan lie telah mereka lalui. “Kau hendak bawa aku kemana?” akhirnya Sek Yok menanya pula.

“Sekarang kita cari dahulu tempat sepi untuk tinggal sementara waktu,” Yen Lieh jawab. “Kita tunggu sampai suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah suamimu, untuk dikubur dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian tek si jahanam itu guna menuntut balas.”

Sek Yok lemah hatinya, lemah lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia bersyukur sekali.

“Yen, Yen Siangkong, bagaimana harus membalas budimu ini?” katanya.

“Jiwaku ini adalah nyonya yang tolong,” sahut Yen Liah, “Maka itu tubuhku ini serahkan kepada nyonya untuk nyonya suruh-suruh, walaupun badanku hancur dan tulang-tulangku remuk, meskipun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah selayaknya saja.”

Dua hari mereka berjalan, sore itu mereka singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang didatangi, Yen Lieh mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya ia meminta satu kamar.

Sek Yok tidak bilang suatu apa, akan tetapi hatinya tidak tentram, karena itu diwaktu bersantap, ia bungkam, diam-diam ia meraba pedang peninggalan Khu Cie Kee, didalam hatinya ia bilang: “Asal dia berlaku kurang ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!”

Yen Lieh menitahkan jongos ambil dua ikat rumput kering, ia tunggu sampai si jongos itu keluar, ia lantas kunci pintu, rumput kering itu ia delar di lantai, di situ ia rebahkan dirinya terus ia tutupi dengan gudri.

“Nyonya silakan tidur!” ia berkata, kemudian meramkan matanya.

Hati Nyonya Yo berdebar-debar, matanya memandang ke satu arah. Ia jadi ingat suaminya, hatinya menjadi sangat berduka. Ia tidak lantas rebahkan diri, untuk setengah jam ia masih duduk diam. Akhirnya ia menghela napas panjang, padamkan api lilin, baru ia tidur tanpa buka pakaian luar lagi, pedang pendeknya tergenggam di tangannya.

Besok paginya Pauw-sie bangun dari tidurnya, Yen Lieh sudah tidak ada di kamarnya, pemuda itu telah pergi siapkan kuda mereka dan sudah pesan jongos menyediakan barang makanan. Diam-diam nyonya ini jadi sangat bersyukur, ia menemui orang satu kuncu, laki-laki sejati. Oleh karena itu semakin kurang penjagaan dirinya.

Barang hidangan itu terdiri dari masakan ayam, daging asin, ikan dan bubur yang semuanya harum, sedap dan lezat. Akan tetapi mendahar ini, hatinya Pauw-sie kurang tenang. Ia dari keluarga sederhana, dan biasanya, dedaharannya setiap hari adalah sayur dan ikan asin, baru di hari raya atau tahun baru ia dapat hidangan istimewa.

Tak lama sehabis dahar, jongos datang menyerahkan satu bungkusan. Waktu itu, Yen Lieh sudah keluar dari kamar.

“Apakah itu?” tanya si nyonya.

“Inilah barang yang tadi pagi tuan belikan untuk Nyonya, pakaian baru,” jawab jongos itu. “Tuan pesan supaya nyonya suka salin pakaian.”

Sek Yok buka bungkusan itu yang membuat dia melengak. Tampak seperangkat pakaian baru warna putih, berikut sepatu dan kaos kaki putih juga, yang lainnya ada pakaiaan dalam, baju pendek, sapu tangan dan handuk.

“Dia seorang pria, cara bagaimana ia dapat memikir begini sempurna?” katanya dalam hati, yang sangat bersyukur.

Memang ketika ia keluar dari rumah, pakaiannya tidak karuan, sesudah itu untuk satu malaman ia mesti lari-larian, maka pakaiannya jadi kotor dan robek disana sini. Sekarang setelah tukar pakaian, ia berubah seperti seorang baru.

Perjalanan sudah lantas dilanjutkan. Sore itu selagi mendekati dusun Kiap-sek-tin, tiba-tiba mereka mendengar jeritan hebat dari sebelah depan. Pauw-sie kaget sekali, ia putar balik kudanya untuk lari. Bukankah ia baru saja lolos dari bahaya yang menakuti?

“Jangan takut!” kata Lien Yeh sambil tertawa. “Mari kita liat!” Pemuda ini berlaku tenang, dengan begitu dapat ia menentramkan sedikit hati si nyonya kawan seperjalanannya itu.

Mereka maju terus, hingga di sebuah tikungan. Di situ terlihat lima serdadu, dengan mencekal golok panjang, lagi cegat seorang lelaki tua yang ada bersama satu anak muda serta satu nona. Dua serdadu lagi memeriksa mengaduk-aduk buntalannya si orang tua, yang uangnya dan lainnya barang mereka pindahkan ke saku mereka sendiri. Tiga serdadu lainnya tengah mengurung si nona yang mereka perlakukan dengan ceriwis. Si nona menangis. Dialah ynag tadi menjerit.

“Lagi-lagi serdadu mengganggu rakyat jelata,” kata Sek Yok ketakutan. “Mari kita lekas menyingkir…”

Yen Lieh sebaliknya tersenyum simpul.

Satu serdadu segera hampiri dua orang ini yang mereka dapat lihat. “Diam!” dia membentak. “Kamu bikin apa?”

Yen Lieh benar-benar tidak takut, sebaliknya dari angkat kaki, ia justru maju mendekati. “Kamu ada bawahan siapa?” ia tanya, membentak. “Lekas pergi!”

Pada waktu itu tentara Song, kalau menghadapi musuh bangsa Kim, tentu mereka kalah dan lari, akan tetapi terhadap rakyat jelata, mereka galak bukan kepalang, malah mereka main merampas dan paksa. Maka itu melihat Yen Lieh cuma berdua dengan satu nyonya manis, mereka anggap inilah untung mereka. Serdadu itu lantas berseru, lalu maju mendekati, dituruti empat kawannya.

Sek Yok takut bukan main, ia mengeluh dalam hatinya. Tapi justru itu, kupingnya mendengar suara menyambar “Serr!” lalu satu serdadu menjerit dan rubuh, dadanya tertumblaskan sebatang busur. Segera si nyonya lihat di tangan kawannya ada gendewa yang bersinar kuning emas, malah gendewa itu dipakai memanah pula beruntun-runtun, hingga lagi tiga serdadu rubuh seperti rekannya yang pertama. Tinggal serdadu yang kelima, ia ketakutan, dia lalu putar tubuhnya untuk lari merat.

Menyaksikan orang lari ngiprit, Yen Lieh tertawa enteng. Ia lantas siapkan pula busurnya. Tepat orang lari kira-kira enampuluh tindak, ia berpaling kepada si nyonya, sambil tertawa, ia berkata, “Tunggu sampai ia lari lagi tiga tindak, akan aku panah batang lehernya!”

Selagi pemuda ini berkata, si serdadu lari terus, maka gendewa ditarik, busur melesat mengejar dengan cepat sekali, tidak ada ampun lagi serdadu itu terpanah batang lehernya, ujung panah tembus ke tenggorokannya.

“Hebat!” memuji Sek Yok tanpa terasa.

Yen Lieh lompat turun dari kudanya, ia hampiri lima serdadu itu, untuk cabuti anak panahnya dari tubuh mereka, anak panah mana dikasih masuk ke dalam kantungnya, habis itu ia melompat naik pula ke atas kudanya. Ia tertawa girang sekali. Justru ia hendak ajak Pauw-sie melanjuti perjalanan, dari samping kiri muncul dengan tiba-tiba sepasukan serdadu dengan suara mereka yang berisik.

“Celaka!” Sek Yok menjerit karena kaget dan takut. Yen Lieh cambuk punggung kuda si nyonya selagi ia pun kasih lari kudanya dengan begitu kedua ekor kuda segera lari keras.

“Tangkap!” berteriak tentara yang di belakang itu apabila mereka melihat mayat-mayat rekannya, lalu sambil terus berteriak-teriak, mereka mengejar.

Setelah lari serintasan, Pauw-sie menoleh ke belakang, lantas ia menjadi kaget sekali dan ketakutan, ia dapatkan sejumlah tentara pengejar lebih dari seribu orang, kopiahnya kopiah besi dan bajunya lapis besi juga. Seorang diri, mana bisa Yen Lieh melawan mereka itu walaupun pemuda ini lihay ilmu panahnya?

Celaka adalah kudanya si nyonya Yo ini. Karena lari terlalu keras, lukanya yang belum sembuh telah pecah pula dan mengeluarkan darah, larinya pun menjadi tambah perlahan. Karenanya ia jadi ketinggalan Yen Lieh.

Lagi selintasan, selagi tentara pengejar mendatangi semakin dekat, tiba-tiba Yen Lieh tahan kudanya, akan tunggu kudanya Pauw-sie rendengi ia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa mengucap sepatah kata, ia sambar si nyonya untuk ditarik dan dipindahkan ke kudanya, setelah mana ia kaburkan kudanya itu.

Akan tetapi ketika itu sudah terlambat. Karena tadi ia menunda kudanya, Yen Lieh tersusul pengejarnya, terutama oleh pengejar yang motong jalan dari samping. Segera ia tidak punya jalan lagi, maju tidak, nyampingpun tidak. Karena itu terpaksa ia tahan kudanya.

Pauw-sie takut bukan main, mukanya pucat pasi. Yen Lieh sebaliknya tenang.

Satu perwira yang bersenjatakan sebatang golok besar, maju menghampiri. “Kau tidak hendak turun dari kudamu untuk manda dibelenggu?” perwira itu menegur.”Kau hendak tunggu apalagi?”

Sebaliknya daripada serahkan diri atau ketakutan, Yen Lieh tertawa gembira. “Apakah kamu adalah pengawal pribadi dari Han Sinsiang?” ia tanya.

Heran perwira itu, hingga ia tercengang. “Kau siapa!” ia membentak.

Yen Lieh rogoh sakunya, keluarkan sepucuk surat. “Apakah kau tidak kenali aku?” dia bertanya. Dia tertawa pula. “Nah, kau lihatlah surat ini!”

Perwira itu melirik kepada satu serdadu di sampingnya. Ia mengedipi mata. Serdadu itu lantas menerima surat itu untuk dihaturkan kepada pemimpinnya. Kapan perwira itu sudah membaca, mukanya menjadi pucat, dengan tergesa-gesa ia lompat turun dari kudanya untuk memberi hormat.

“Pie-cit, tidak kenali tayjin, dosaku berlaksa kali mati,” katanya, “Pie-cit mohon diberi ampun….”

Tidak saja perwira itu membasakan dirinya “pie-cit” yang artinya “bawahan yang rendah”, surat itu pun segera ia acungkan ke atas kepalanya, selaku tanda hormat, dan wajahnya terus menunjuki ia bergelisah.

Yen Lieh menerima kembali surat itu. “Nampaknya tentara mu kurang kenal tata tertib ketentaraan!” katanya sambil tertawa.

Sementara itu, Pauw-sie mengawasi kejadian dengan hati heran bukan main.

Perwira itu menjura dalam. “Nanti pie-cit melakukan pemeriksaan untuk memberi hukuman,” ia berkata, suaranya dan sikapnya sangat merendah.

Yen Lieh tertawa pula. “Kami masih kekurangan seekor kuda,” katanya.

“Perwira itu tuntun kudanya sendiri. “Silahkan hujin pakai kudaku ini,” pintanya. Ia bicara terhadap Pauw¬sie.

Sek Yok heran yang ia dipanggil “hujin” atau nyonyanya si anak muda, mukanya menjadi merah.

Yen Lieh manggut perlahan ia lantas sambuti kudanya si perwiara. “Pergi kau sampaikan kepada Han Sinsiang,” katanya. “Bilang aku ada punya urusan penting dan mesti pulang lantas, dari itu aku tak dapat pamitan lagi.”

“Baik, baik, tayjin, pie-cit mengerti,” kata perwira itu tetap dengan sangat hormat.

Yen Lieh tidak pedulikan lagi pemimpin pasukan itu, ia pondong Pauw-sie untuk dipindahkan ke kuda yang baru, lalu bersama-sama mereka melanjutkan perjalanan ke utara.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar