Sabtu, 15 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 003

Pauw-sie likat diawasi orang itu, maka lekas-lekas ia ambil rumput, akan tutupi tubuh orang itu, lalu dengan membawa lilinnya, ia balik ke kamarnya. Ia tidak dapat tidur tenang, diwaktu pulas, ia mimpi yang hebat-hebat, umpamanya suaminya tombak mati orang itu atau dua ekor harimau kejar padanya sampai ia tak tahu mesti lari ke mana. Beberapa kali ia mimpi, beberapa kali ia sadar, dengan hati tergoncang.

Ketika akhirnya ia mendusin diwaktu pagi, ia dapatkan suaminya lagi gosok tombak. Ia ingat kejadian semalam, ia jadi kaget sendiri. Diam-diam tapi dengan lekas, ia pergi ke belakang, ke gudang kayu. Selekasnya ia membuka pintu gudang, ia jadi terlebih kaget lagi. Di sana tak ada si luka, rumputnya teruwar kalang kabutan! Ia lantas pergi ke pintu belakang, ia lihat pintu cuma dirapatkan, di atas salju terlihat bekas orang merayap pergi, tujuannya ke arah barat. Ia mengawasi ke arah itu, pikirannya tidak karuan. Sampai sekian lama, setelah mukanya ditiup angin dingin, baru ia sadar. Ia merasa pinggangnya ngilu dan lemas, ia lelah sekali, maka itu, ia lantas kembali ke dalam.

Tiat Sim masak bubur putih, yang diletaki di atas meja. “Kau lihat!” kata suaminya dengan tertawa. “Bubur masakanku tak ada celaannya, bukan?”

Istri itu tertawa, ia tahu karena ia sedang hamil, suaminya itu yang sangat menyayangi ia telah masaki ia bubur. Ia lantas dahar bubur itu. Itu waktu ia telah ambil keputusan akan tutup mulut tentang si terluka yang ia tolongi itu, sebab ia tahu kebencian suaminya terhadap orang jahat, apabila suaminya diberitahukan, pasti ia bakal binasakan orang itu.

Sejak itu beberapa bulan telah berlalu; dengan lewatnya sang waktu, Pauw-sie juga telah lupai itu peristiwa yang ia sudah tolongi orang yang luka.

Pada suatu hari, Tiat Sim dan istrinya pergi ke rumah Siauw Thian, untuk bersantap dan minum arak, sorenya mereka pulang, akan terus masuk tidur. Tepat tengah malam, tiba-tiba Pauw-sie mendusin dan melihat suaminya telah bangun juga dan sedang duduk di atas pembaringan. Ada sesuatu yang mengejutkan suaminya itu hingga ia jadi terjaga dari tidurnya. Dan istri ini masih lungu-lungu ketika kupingnya dapat tangkap suara samar-samar dari tindakan kaki kuda di atas es, makin lama makin nyata, datangnya dari barat ke timur, kemudian itu disusul sama suara serupa yang datangnya dari arah timur. Ia menjadi kaget pula apabila ia dengar pula suara dari selatan dan utara.

“Toako!” katanya pada suaminya sambil bangun untuk berduduk, “Kenapa ada suara kuda dari empat penjuru?”

Tiat Sim tidak menyahuti, ia hanya segera turun dari pembaringan untuk rapikan pakaiannya.

Tindakan kuda dari empat penjuru datang semakin dekat, lalu disusul sama gongongan anjing kampung yang menyahutnya.

“Kita kena dikurung” kata Tiat Sim kemudian.

Pauw-sie terkejut. “Untuk apakah?” tanyanya

“Entahlah!” jawab suaminya itu. Ia terus serahkan pedang pengasihan dari Khu Cie Kee seraya memesan: “Kau pegang ini untuk jaga dirimu!”

Tiat Sim buka jendela, untuk melihat keluar, karena itu suara kuda sudah datang mendekat sekali. Ia lihat tegas kampungnya telah dikurung oleh sejumlah tentara, kurungannya berlapis. Ia dapat melihat karena tentara itu ada membawa obor yang diangkat tinggi-¬tinggi. Perwira yang memegang pemimpin ada tujuh atau delapan orang.

“Tangkap pengkhianat! Jangan kasih dia lolos!” demikian tentara itu mulai berseru-seru.

“Apakah ada pengkhianat yang lolos kemari?” Tiat Sim menduga-duga. Ia cekal tombaknya untuk melihat gelagat.

Tiba-tiba satu perwira berseru: “Kwee Siauw Thian! Yo Tiat Sim! Kamu berdua pemberontak, lekas muncul untuk terima diringkus!”

Tiat Sim menjadi kaget, sedang Pauw-sie menjadi pucat mukanya.
“Entah kenapa pembesar negeri menfitnah rakyat,” kata Tiat Sim kemudian, “Tidak ada jalan lain, kita mesti menerobos keluar! Kau jangan takut, walaupun musuh berjumlah puluhan ribu, akan aku lindungi padamu!”

Dasar turunan orang peperangan. Tiat Sim tidak menjadi kacau pikirannya. dengan tenang tetapi sebat, ia siapkan panahnya, terus ia pegangi tangan kanan istrinya.

“Nanti aku berbenah dulu…” kata Pauw-sie.

“Apa lagi yang hendak dibenahkan?” kata suaminya itu. “Apa juga tak dapat.

Lemah hatinya istri itu, lalu tiba-tiba ia menangis. “Dan rumah ini?” katannya.

“Asal kita dapat lolos, nanti di lain tempat kita membangun pula rumah kita!” sahut sang suami.

“Dan itu anak-anak ayam dan anak-anak kucing?” istri itu menanya pula.

Tiat Sim menghela napas. “Ah, orang tolol, kamu masih memikirkan segala binatang itu! Mana dapat?”

Baru Tiat Sim mengucap demikian, di luar kembali terdengar seruan berisik dan api terlihat berkobar. Dua ruang di depan telah dibakar, lalu dua orang serdadu Song mulai menyulut payon rumah.

Bukan main mendelunya Tiat Sim. Ia buka pintu dan muncul. “Aku Yo Tiat Sim!” ia perkenalkan diri. “Kamu hendak bikin apa?”

Dua serdadu itu kaget, mereka memutar tubuh, sembari melemparkan obornya, mereka lari balik.

Di antara cahya api, satu perwira maju dengan kudanya. “Kamu Yo Tiat Sim? Bagus!” ia berkata. “Mari ikut kami menghadap pembesar kami! Tangkap!”

Lima serdadu lantas merangsak.

Tiat Sim geraki tombaknya, dalam jurus “Ouw liong pa bwee”, atau “ Naga hitam menggoyang ekor,” lalu tiga serdadu roboh terguling, kemudian dengan susulannya “Cun lui cin nouw” atau “Geledak musim semi murka,” ia rubuhkan satu yang lain, yang tubuhnya ia lempar balik ke dalam barisannya.

“Untuk menangkap orang, kamu mesti lebih dahulu beritahukan kedosaannya!” ia membentak.

“Pemberontak bernyali besar!” teriak si perwira. “Kamu berani melawan?!”

Mesti begitu ia gentar hati, tak berani ia maju mendekat. Adalah satu perwira lain yang berada dibelakangnya, mewakilkan ia maju. Berkatalah perwira ini: “Baik-baik saja ikut kami ke kantor, kau akan bebas dari kedosaan berat. Di sini ada surat titah!”

“Kasih aku lihat!” bentak Tiat Sim.

“Masih ada satu pemberontak lainnya, yang she Kwee?!” kata perwira itu.

“Kwee Siauw Thian ada di sini!” sahut Siauw Thian yang tiba-tiba muncul di muka jendela, panahnya telah siap sedia.

Perwira itu terkejut, hatinya ciut.

“Letkai panahmu,” katanya. “Nanti aku bacakan surat titah ini….”

“Lekas baca!” bentak Siauw Thian, yang justru tarik semakin melengkung gandewanya itu.

Terpaksa dengan ketakutan, perwira itu membaca. Itulah surat titah untuk menawan Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim dua penduduk Gu-kee-cun, yang dituduh memberontak melawan negara, sudah bersekongkol sama penjahat besar.

“Surat titah ini datang dari kantor mana?” Siauw Thian tanya.






“Inilah surat titah tulisannya Han Sinsiang sendiri!” jawab perwira itu.

Siauw Thian dan Tiat Sim terkejut. “Hebat urusan, sampai Han Sinsiang sendiri yang turun tangan menulis surat titah?” mereka berpikir. “Mungkin ini disebabkan terbukanya rahasia Khu Cinjin telah membinasakan banyak hamba negara?”

“Siapakah yang mendakwa? Apa ada buktinya?” tanya Siauw Thian pula.

“Kita cuma mesti menawan orang!” kata si perwira. “Nanti di muka pembesar kamu boleh bicara!”

“Han Sinsiang gemar menfitnah orang baik-baik, siapa tidak tahu itu?” kata Tiat Sim. “Kami tak sudi kena jebak!”

Dengan perlahan Tiat Sim kata pada istrinya: “Pergi lapis bajumu, akan aku rampas kuda dia itu untukmu! Akan aku panah perwira itu, tentaranya bakal jadi kacau!” Dan terus ia tarik panahnya, maka setelah satu suara “Ser!” si perwira berkoak keras, tubuhnya terjungkal dari kudanya.

Semua serdadu lantas berteriak-teriak. “Maju! Tangkap!” berseru perwira yang satunya.

Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi selagi maju, mereka disambut busur-busurnya Siauw Thian dan Tiat Sim berdua, hingga enam atau tujuh diantaranya rubuh seketika. Akan tetapi jumlah mereka ini besar, dibawah anjuran pembesarnya, mereka maju terus.

Tiat Sim menjadi mendongkol, ia tukar panah dengan tombaknya, setelah ia lompat keluar pintu, ia sambut penyerang-penyerangnya. Rombongan serdadu itu kena terpukul mundur. Atas itu, Tiat Sim melompat kepada satu perwira yang menunggang seekor kuda putih, ia menyerangnya. Perwira itu menangkis dengan tombaknya. Ia tapinya tak kenal ilmu tombak keluarga Yo, pahanya kena ditikam, maka dengan satu gentakan, tubuhnya terpelanting ke tanah.

Dengan menekan tombaknya ke tanah, Tiat Sim lompat ke atas kuda putih, maka sesaat saja, ia sudah menerjang ke muka pintu rumahnya. Ia tikam rubuh satu serdadu Song, yang menghalangi dia, kemudian dengan satu jembretan, ia angkat tubuh istrinya naik ke kudanya. Itu waktu Pauw-sie sudah siap menanti padanya.

“Kwee Toako, mari turut aku!” orang she So itu teriaki saudara angkatnya.

Siauw Thian tengah menyerang seru dengan sepasang tombak pendeknya yang bercagak. Ia membuka jalan untuk istrinya Lie-sie yang bernama Peng.

Beberapa perwira tidak dapat mencegah kedua orang gagah itu, terpaksa mereka menitahkan menggunai anak panah.

“Enso, lekas naik!” seru Tiat Sim, yang hampiri Lie¬sie. Ia pun lantas lompat turun dari kudanya.

“Tidak bisa….” berkata Lie-sie.

Diwaktu demikian, tidak ada lagi aturan sungkan, maka tanpa bilang suatu apa, Tiat Sim cekal tubuh iparnya, untuk segera diangkat naik ke punggung kuda, kemudian ia bersama Siauw Thian mengikuti dari belakang, untuk melindungi.

Lolos belum jauh, di sebelah depan mereka dicegat oleh satu pasukan lain. Riuh suara tentara itu, hebat serbuannya. Tiat Sim dan Siauw Thian mengeluh di dalam hati. Karena terpaksa, mereka jadi memikir untuk cari jalan lolos.

Sekonyong-konyong terdengar suara panah sar-ser, lalu Pauw-sie menjerit keras. Kuda putih terpanah, kaki depannya tertekuk, lalu tubuhnya ngusruk. Pauw-sie rubuh bersama Lie-sie, yang pun ikut berteriak.

Tiat Sim kaget tetapi ia tabah. “Toako, lindungi mereka, akan aku rampas kuda pula!” serunya. Lalu dengan memutar tombaknya, ia menerjang musuh.

Kwee Siauw Thian berpikir lain daripada saudara angkatnya itu.
“Terang kita berdua tidak bakal dapat menerobos kurungan musuh ini, atau istri kita sukar ditolongi. Karena kita tidak bersalah dosa, daripada antarkan jiwa disini, baiklah kita menemui pembesar negeri untuk berbicara dengannya.”

Maka itu, ia teriaki adik angkatnya itu: “Adik, mari kita ikuti mereka ke kantor!”

Tiat Sim heran, akan tetapi ia hampiri saudaranya itu.
Perwira pemimpin tentera itu menitahkan menunda penyerangan, tetapi mereka mengurung rapat-rapat. “Letaki senjatamu, kami akan beri ampun jiwa kamu!” ia berteriak.

“Toako, jangan kena diperdayakan!” Tiat Sim memberi ingat.

Siauw Thian menggeleng kepala, ia lemparkan sepasang tombaknya.
Tiat Sim lihat istrinya ketakutan, hatinyapun menjadi lemah, maka seraya menghela napas, ia lemparkan panah dan tombaknya.

Atas itu belasan tombak tajam dipakai mengurung empat orang itu, kemudian delapan serdadu maju mendekati, untuk membelenggu mereka berempat.

Tiat Sim berdiri tegak, dia tertawa dingin. Sikap ini tidak menyenangi si pemimpin tentara, ia ayun cambuknya seraya mendamprat: “Pemberontak bernyali besar, benarkah kamu tidak takut mampus?!”

“Bagus!” kata jago she Yo itu. “Siapakah namamu?!”

Perwira itu menjadi semakin gusur, cambuknya disabetkan berulang-ulang. “Tuan besarmu tak pernah ubah she dan namanya!” katanya dengan jumawa. “Tuan besarmu she Toan namanya Thian Tek. Thian Tek itu berarti kebijaksanaan Tuhan, kau mengerti? Ingatkah kau? Supaya kapan nanti kau bertemu Giam Kun, kau boleh ajukan dakwaanmu!”

Tiat Sim tidak takut, ia malah mengawasi dengan bengis.
“Ingat olehmu, tuanmu ada cacat luka di jidatnya dan tanda biru di pipinya!” Thian Tek membentak pula. Ia angkat pula cambuknya.

Pauw-sie menangis. “Dia orang baik, ia belum pernah berbuat jahat, kenapa kau aniaya dia sampai begini?” tanya istri ini yang tidak tega melihat suaminya dicambuki.

Tiat Sim meludah tepat mengenai mukanya perwira she Toan itu. Dia menjadi sangat murka, ia lalu cabut golok di pinggangnya.

“Aku akan bunuh dulu padamu, pemberontak!” teriaknya.

Tiat Sim tidak sudi mandat dibacok, ia berkelit ke samping. Tapi segera ia merasa ada tombak-tombak yang menahan tubuhnya.

Thian Tek membacok pula.
Tiat Sim tidak melihat lain jalan, ia berkelit mundur dengan mengkeratkan tubuhnya.

Melihat bacokkannya kembali gagal, Thian Tek terus menikam. Kali ini goloknya yang tajam bagaikan gergaji dapat melukakan pundaknya orang she Yo itu. Dia tapinya belum puas, kembali ia ulangi bacokannya.

Siauw Thian lihat adik angkatnya terancam bahaya, ia lompat maju seraya mendupak. Thian Tek terkejut, ia batal menyerang, terus dia menangkis.

Siauw Thian lihay, ia tarik kakinya untuk ayun kakinya yang lain. Itulah tendangan saling susul dari ilmu tendangan Wan-yo-twie, maka tak ampun lagi, perwira itu terjejak pinggangnya.

“Hajar mampus dia!” dia berseru.

Beberapa serdadu segera menyerang. Siauw Thian melawan, ia dapat menendang terguling dua serdadu, tetapi karena ia terbelenggu tangannya, akhirnya ia kena dibokong Thian Tek yang sambar ia dari belakang, hingga tangan kanannya terbacok kutung!

Bukan main panasnya hati Tiat Sim menampak kakaknya itu menjadi korban keganasan si perwira, entah darimana datangnya tenaganya ketika ia berteriak keras sekali, belenggu pada tangannya terputus terlepas, maka sambil melompat maju, ia hajar rubuh satu serdadu, untuk rampas tombaknya yang panjang dengan apa ia terus mengamuk.

Thian Tek menginsyafi bahaya, ia sudah mendahului mundur.
Yo Tiat Sim menyerang bagaikan kalap, matanya menjdi merah.
Semua serdadu mejadi kalah hati, dengan ketakutan mereka lari bubaran..

Tiat Sim tidak mengejar musuh, hanya ia menubruk kakak angkatnya yang telah mandi darah. Tanpa merasa ia kucurkan airmata.

“Adik sudah kau jangan pedulikan aku,” kata Siauw Thian lemah. “Lekas, lekas kau singkirkan diri…”

“Akan aku merampas kuda, mari kita pergi bersama!” kata Tiat Sim.

Siauw Thian tidak menyahut, ia pingsan.
Tiat Sim buka bajunya, hendak ia membalut luka kakak itu, tetapi lukanya lebar sekali, dari pundaknya merembet ke dada, sulit untuk membalutnya.

Siauw Thian sadar pula. “ Adik, kau pergilah…” ia kata dengan suara yang sangat lemah. “Pergi kau tolong teehu serta ensomu… aku, aku sudah habis…” Dan ia meramkan matanya untuk selamanya.

Hampir Tiat Sim menyemburkan darah, sangking berduka dan mendongkol. Ia lantas berpaling ke arah di mana istrinya dan ensonya, istri Siauw Thian. Untuk kagetnya ia tidak dapat melihat mereka itu.

“Toako, aku akan balaskan sakit hatimu!” ia berteriak. Lalu dengan membawa tombaknya, ia lari kepada barisan serdadu, yang sekarang sudah berkumpul pula.

Toan Thian Tek memberi perintahnya, maka barisannya itu menyambut dengan hujan anak panah.

Tiat Sim maju terus seraya putar tombaknya, akan halau setiap busur. Ketika satu perwira dekati dia dan membacok, ia berkelit sambil mendak, akan nelusup ke bawahan perut kuda. Si perwira membacok sasaran kosong, hendak ia putar kudanya, tetapi tombaknya Tiat Sim tahu-tahu sudah menikam tepat kepadanya, maka ketika tubuhnya rubuh, orang she Yo itu gantikan ia lompat naik ke atas kudanya itu hingga dengan apa punya binatang tunggangan, Tiat Sim bisa menyerang dengan terlebih hebat.

Sekali lagi barisan serdadu itu lari buyar.
Tiat Sim mengejar, hingga ia lihat satu perwira lagi kabur sambil peluki seorang perempuan. Ia tidak mengejar, hanya ia lompat turun dari kudanya, akan rampas gendawanya satu serdadu Song lalu diantara terangnya api obor, ia panah perwira itu. Tepat panahnya ini, si perwira rubuh dari kudanya yang jatuh ngusruk. Dia rubuh bersama si wanita dalam pelukannya, hingga orang jadi terlepas.

Lagi sekali Tiat Sim memanah. Selagi orang merayap bangun. Kali ini perwira itu rubuh pula untuk tidak dapat bangun lagi.

Tiat Sim lari kepada wanita itu untuk kegirangannya ia dapatkan pada istrinya.
Sek Yok kaget dan girang, ia lompat ke dalam rangkulan suaminya itu.

“Mana enso?” Tiat Sim tanya. Dia lantas ingat istrinya Siauw Thian.

“Ia ada di sebelah depan, ia pun dibawa lari serdadu jahanam itu!” sahut Pauw-sie.

Kapan Tiat Sim menoleh, ia tampak mendatanginya satu barisan lain.
“Toako telah menemui ajalnya, biar bagaimana aku mesti tolongi enso!” ini adik angkat ambil keputusan, ia bicara sama istrinya. “Turunan toako mesti dilindungi. Kalau Thian mengasihi kita, kita berdua dapat bertemu pula…”

Sek Yok rangkul keras leher suaminya itu, ia menangis menggerung-gerung.
“Tak dapat kita berpisah!” ia kata. “Kau yang bilang sendiri, kalau kita mesti binasa, kita mesti binasa bersama! Bukankah benar kau pernah mengatakan demikian?”

Tiat Sim peluki istrinya, hatinya karam. Tapi ia tiba-¬tiba keraskan hati, ia menolak dengan keras, ia sambar pula tombaknya, untuk lari. Ketika sudah lari beberapa puluh tindak, ia lihat istrinya menangis bergulingan di tanah, dan barisan serdadu yang mendatangi sudah mendekati istrinya itu. Ia usap mukanya, peluhnya bercampur sama darah muncratan. Ia lari pula. Telah bulat tekadnya untuk menolong Lie-sie. Di sebelah depan, ia dapat rampas seekor kuda, maka itu ia jadi tambah semangat. Kebetulan ia dapat bekuk satu serdadu, atas pertanyaannya, serdadu itu bilang Lie-sie berada di sebelah depan. Maka ia kaburkan kudanya.

Tiba-tiba dari samping jalanan mana ada perpohonan lebat, terdengar cacian seorang wanita. Ia lekas tahan kudanya, yang ia putar untuk hampirkan tempat lebat itu. Dengan tombaknya ia menyingkap cabang-cabang pohon. Maka di hadapannya terlihat dua serdadu sedang menyeret-nyeret Lie-sie.

Tidak ampun lagi, Tiat Sim tikam mampus mereka satu demi satu.
Lie-sie berbangkit dengan rambut kusut dan pakaian penuh tanah tidak karuan. Diwaktu begitu, tidak ada ketika untuk omong banyak, maka Tiat Sim angkat tubuh iparnya itu, dikasih naik ke atas kudanya, untuk mereka menunggang bersama. Ia lari balik untuk cari istrinya di tempat dimana tadi mereka berpisah. Untuk kedukaannya ia tak dapatkan Pauw-sie, tempat itu sunyi senyap dari segala apa. Ia turun dari kudanya untuk memeriksa tanah. Ketika itu sudah fajar. Ia lihat tapak-tapak kaki dan tanda bekas orang diseret, maka sakitlah hatinya. Ia percaya istrinya telah jatuh pula ke dalam tangan musuh….

“Mari!” katanya seraya melompat naik ke atas kudanya yang ia terus kasih lari, perut kudanya pun dijepit hingga binatang itu kesakitan dan lari kabur.

Sedang kuda lari keras mendadak dari samping jalanan muncul belasan orang yang hitam semua pakaiannya, orang yang terdengar segera menyerang dengan toyanya.

Tiat Sim sempat menangkis, dapat ia menikam. Orang itu sebat dan gesit, ketika ia membuat perlawanan, nyata permainan toyanya pun lihay. Hal ini membuat heran kepada orang she Yo itu.

Pernah Tiat Sim dan Siauw Thian berbicara tentang ilmu silat, bahwa dijamannya kawanan Liang San, Pek¬lek-hwee Cin Beng adalah yang terlihay ilmu toyanya, tetapi dijaman itu orang Kim-lah yang terkenal. Maka itu sekarang ia curigai lawannya itu ada satu perwira Kim. Ia hanya heran, kenapa perwira Kim bisa muncul di situ. Tapi ia tidak bisa berpikir lama-lama, ia lantas menyerang dengan hebat. Kali ini ia berhasil membuat lawan itu terjungkal, karena mana barisan serdadunya lantas kabur.

Segera Tiat Sim menoleh, hatinya lega akan dapatkan iparnya tak kurang satu apapun. Ia masih mengawasi iparnya itu ketika “Ser!” sebatang gendewa menyambar kepadanya, menyambar dari arah pepohonan yang lebat, hingga ia tidak sempat menagkis atau berkelit, busur itu tembus di punggungnya.

“Encek, kau kenapa?” tanya Lie-sie kaget.

Tiat Sim tidak menyahut, hanya di dalam hatinya ia berkata: “Aku tidak sangka bahwa aku bakal habis disini… Sebelum aku binasa, aku mesti labrak dulu musuh, supaya enso dapat lolos!” Ketika ia geraki tombaknya, ia menjadi kaget. Ia merasa sakit hingga ke paru-parunya.

“Cabut panah ini!” ia kata.

Tapi hati Lie-sie lemah, tenaganya tidak ada, tak dapat ia menolong.

Tiat Sim lantas mendekam di atas kudanya, tangan kirinya dipakai mencekal gagang panah, dengan satu kali sentak, ia cabut busur itu terus ia pandangi.

Anak panah itu nancap sedalam kira-kira tiga dim, gagangnya memakai bulu burung rajawali, batangnya terbuat dari perunggu. Itu bukanlah sembarang busur. Beberapa saat ia memeriksa lebih jauh, pada gagang itu ada terukir tiga huruf “Wanyen Lieh” Ia terkejut.

“Wan-yen” itu adalah she, yaitu nama keluarga dari bangsa Kim, dari golongan keluarga raja. Biasanya dari raja hingga jenderalnya, bangsa itu memakai nama keluarga tersebut.

“Bagus!” serunya. “Benar-benar si pembesar jahanam itu telah bersekongkol sama bangsa asing, bersama-sama mereka mencelakai rakyat negeri!”

Ia serahkan busur itu kepada Lie-sie. “Enso ingat baik-baik nama ini!” ia pesan. “Pesanlah anakmu untuk menuntut balas….!”

Habis berkata, ia putar tombaknya, ia menerjang musuh, tetapi darah di punggungnya membanjir keluar, tiba-tiba matanya menjadi gelap, tak dapat ia menahan diri lagi, ia rubuh dari kudanya.

**** 003 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar