Jumat, 14 Agustus 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 002

“Bagus!” seru si imam buat kedua kalinya. Ia tidak menjadi gugup, justru ketika ujung tombak sampai, ia menyambutnya dengan kedua telapak tangan dirangkap, ditempel menjadi satu dengan keras, hingga ujung tombak itu kena terjepit.

Tiat Sim kaget bukan kepalang. Ia mendorong dengan keras, tombaknya itu tak dapat maju melewati telapak tangan lawan. Ketika ia menarik dengan sekuat tenaga, betotannya pun sia-sia belaka, tombaknya tak terlepas dari cekalan lawannya itu, kuda-kuda si imam juga nancap bagaikan terpaku. Tiga kali ia mencoba menarik tanpa hasil, mukanya menjadi merah.

Tiba-tiba saja si imam tertawa, lalu jepitan tangannya terlepas. Tapi ia tidak Cuma melepas, tempo tombak tertarik pulang, ia membacok dengan tangan kanannya kepada tombak, hingga dengan bersuara nyaring, tombak besi itu patah menjadi dua potong!

Imam itu segera tertawa pula, lalu ia berkata. Kali ini dengan suara manis. “Tuan, benar lihay ilmu silat tombakmu!” katanya. “Maaf untuk perbuatanku ini! Mohon ku tanya she tuan”

“Aku yang rendah she Yo bernama Tiat Sim,” sahut Tiat Sim, selagi ia belum dapat tenangkan diri. Ia kesakitan pada kedua tangannya, ia pun heran sekali.

“Pernah apakah Tuan dengan Ciangkun Yo Cay Hin?” tanya si imam.

“Ia adalah leluhur saya,” jawab Tiat Sim pula.

Mandadak si imam itu menjura kepada saudara angkat itu, sikapnya hormat sekali.

“Maaf, barusan aku menyangka Tuan-tuan adalah orang jahat,” ia berkata dengan pengakuannya. “Aku tidak sangka Tuan-tuan adalah turunan orang-orang setia. Boleh kutanya she Tuan?” ia lanjuti kepada Siauw Thian.

Dengan cara hormat Siauw Thian perkenalkan dirinya.

“Tuan ini kakak angkatku, dia adalah keturunan dari Say Jin Kui Kwee Seng dari gunung Liang San,” Tiat Sim menambahkan.

“Bagus!” berkata si imam, ia pun minta maaf pada pemuda she Kwee itu. Kembali ia menjura.

Tiat Sim berdua membalas hormatnya.
“Silahkan Totiang minum arak pula,” ia mengundang pula kemudian.

“Memang kuingin minum dengan puas bersama jiwi!” kata si imam tertawa.

Tiat Sim dan Siauw Thian undang orang masuk pula ke dalam.
Pauw-sie menyaksikan pertempuran dari muka pintu, girang ia mengetahui kesudahannya orang menjadi sahabat, ia terus lari ke dalam, untuk menyiapkan pula arak dan barang hidangan.

Kali ini Tiat Sim dan Siauw Thian tanya gelaran si imam.

“Pinto she Khu bernama Cie Kee,” sahut imam itu.

Siauw Thian terperanjat mendengar nama itu. “Oh, apa bukannya Tiang Cun Cinjin?” ia menyela.

“Itulah nama pemberian rekan-rekanku, pinto malu menerimanya,” kata Cie Kee sambil tertawa.

Siauw Thian segera berkata kepada adik angkatnya: “Adik, totiang ini adalah orang gagah nomor satu di jaman ini! Sungguh beruntung kita dapat berjumpa dengannya!”

“Oh!” Tiat Sim berseru kaget. Lalu berdua, mereka berlutut di depan imam itu.

Khu Cie Kee tertawa, ia memimpin bangun orang. “Hari ini pinto telah membunuh seorang jahat, karenanya para pembesar negeri sedang mencari aku,” ia berkata. “Barusan pinto lewat di sini, pinto lihat kamu berdua lagi minum arak. Di sini adalah kota raja dan kamu kelihatannya bukan sembarang orang, dari itu pinto menjadi curiga sendiri….”

“Keliru adalah saudaraku ini, yang tabiatnya keras,” Siauw Thian bilang. “Totiang lihat sendiri, dia suruh lantas turun tangan, pantas kalau Totiang jadi curiga karenanya.”

Siauw Thian dan Tiat Sim tertawa. Begitulah mereka lalu minum dan dahar dengan gembiranya.

“Sebenarnya pinto adalah orang utara,” kemudian Tian Cun Cinjin berkata pula. “Rumah tanggaku hancur lebur karena kejahatan bangsa Kim, sedang pemerintah selalu mencari muka daripadanya, dari itu pinto telah sucikan diri.” Ia terus tuding kepala manusia yang remuk dan yang tergeletak di lantai itu. “Dia itu adalah Ong To Kian, si pengkhianat besar. Pada tahun yang lalu kaisar mengutus dia kepada raja Kim, buat memberi selamat ulang tahun raja itu. Ketika itu digunai ia untuk bersekongkol, supaya bangsa Kim bisa menyerbu ke Kanglam. Pinto susul dia selama sepuluh hari, baru ia dapat dicandak, lalu pinto membunuhnya. Pikiranku sedang kacau maka juga tadi pinto berlaku tidak selayaknya.”

Siauw Thian dan Tiat Sim membilang tidak apa. Mereka memang kagumi imam ini yang kesohor lihay ilmu silatnya. Sekarang ternyata orangpun menyinta negara, mereka lebih-lebih lagi menghormatinya. Lalu mereka mohon pengajaran silat. Khu Cie Kee tidak keberatan, lalu ia memberi beberapa petunjuk.

“Totiang, sunggguh beruntung kami dapat bertemu dengan Totiang,” kemudian Tiat Sim utarakan isi hatinya, “Maka itu sudilah Totiang berdiam untuk beberapa hari di gubuk kami ini.”

Imam itu hendak menjawab tuan rumah itu, ketika mendadak air mukanya berubah.
“Ada orang datang mencari aku,” ia bilang, “Ingat, tidak peduli bagaimana denganku, sebentar kamu tidak boleh munculkan diri! Mengerti?!”






Siauw Thian dan Tiat Sim heran akan tetapi mereka lantas mengangguk.
Cie Kee lantas sambar kepalanya Ong To Kian, dengan cepat ia bertindak keluar, lalu gesit bagaikan burung terbang ia loncat naik ke atas sebuah pohon besar di dalam pekarangan, di situ ia umpatkan dirinya.

Siauw Thian berdua heran bukan buatan. Kecuali deruan angin, mereka tidak dengar suara lainnya, mereka pun tidak nampak apa-apa. Baru kemudian, sesudah memasang kuping dan angin pun lewat, mereka dengar tindakan kaki kuda.

“Sungguh jeli kuping cinjin!” puji Tiat Sim

Suara kuda itu datang semakin mendekat, dan kemudian tampaklah belasan penunggang kuda, setiap penunggangnya mengenakan pakaian hitam dan kopiah hitam. Mereka itu menghampiri pintu, setelah tiba, orang yang pertama pecahkan kesunyian: “Sampai di sini bekas-bekas kakinya, lalu lenyap!”

Beberapa orang lompat turun dari kudanya, mereka periksa tapak kakinya Khu Cie Kee.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sembunyi di dalam rumah, dari mana mereka mengintai di antara sela-sela jendela. Mereka dapat kenyataan orang semuanya gesit, suatu tanda dia orang mengerti ilmu silat dengan baik.

“Masuki rumah itu dan geledah!” terdengar memerintah orang yang maju di muka itu.

Dua orang segera lompat turun dari kuda mereka, untuk itu lantas hampiri rumahnya Tiat Sim untuk menggedornya. Justru itu dari atas pohon menyambar sebuah benda, yang jitu sekali mengenai batok kepalanya satu di antara dua orang itu, hingga dia ini rubuh dengan kepalanya pecah hancur. Hingga kawannya menjadi kaget dan berteriak, hingga yang lain-lainnya turut berteriak pula, lebih-lebih setelah diketahui, benda yang dipakai menimpuk itu adalah kepalanya “Ong Tayjin”. Dengan lantas itu mereka mengurung pohon dari mana serangan itu datang.

Orang yang menjadi pemimpin menghunus goloknya yang panjang, untuk memegang pimpinan, atas perintahnya lima orang menggunai panah untuk menyerang ke arah atas pohon!

Yo Tiat Sim sambar sebatang golok dari pojok rumahnya, hendak dia menerjang keluar untuk membantu si imam, akan tetapi Siauw Thian menariknya.

“Jangan!” katanya. “Totiang telah pesan kita jangan keluar! Kalau ternyata dia tidak sanggup melawan, baru kita turun tangan…….”

Selagi orang she Kwee ini berbicara, Khu Cie Kee sudah beraksi. Dia sambut empat batang anak panah itu lalu ia pakai itu untuk menimpuk ke bawah, tubuhnya sendiri turut lompat turun, hingga akibatnya dua musuh menjerit dan rubuh binasa kena tikaman pedang.

“Imam bangsat, kiranya kau!” berseru si pemimpin, yang bajunya hitam. Dia perdengarkan suaranya seraya tangkis anak panah yang ditimpukkan ke arahnya, kemudian ia keprak kudanya maju untuk menyerang untuk mana tiga batang panah di tangannya telah mendahului majunya itu.

Belum Cie Kee menyerang ini pemimpin, dia telah rubuhkan lagi dua musuh, hingga sebentar saja ia telah minta lima korban.

Tiat Sim kagum hingga ia tergugu. Dia telah belajar silat belasan tahun, tetapi sedikit juga ia tidak dapat tandingi imam itu, yang gesit dan lihay sekali. Maka ia merasa ngeri waktu ia ingat tadi ia telah berani lawan imam yang lihay itu.

Sekarang Cie Kee tengah layani si pemimpin, yang bengis sekali, meski demikian selang sesaat, Siauw Thian dan Tiat Sim segera mengerti bahwa sang imam tengah mempermainkan orang, sebab di lain pihak, saban-saban imam ini gunai ketika akan rubuhkan lain orang – ialah orang-orang yang mengepungnya. Terang si imam lagi gunai siasat, guna menumpas semua penyerangnya itu. Kalau dia lekas-lekas rubuhkan si pemimpin, mungkin bawahannya nanti lari kabur semua.

Selang tak lama, imam itu dikepung hanya tujuh orang, yang ilmu silatnya paling baik. Menampak ini, si pemimpin menjadi kecil hatinya, dari itu, dengan tiba-¬tiba ia keprak kudanya, buat dikasih berbalik untuk lari pergi.

Sang imam ada sangat jeli matanya dan cepat gerakannya, selagi kuda berputar, ia menyambar dengan tangan kirinya, akan cekal ekornya kuda itu, untuk ditarik. Sembari menarik ia enjot tubuhnya, untuk melompat naik, tetapi belum lagi ia bercokol di atas kuda itu, pedangnya sudah menikam tembus punggung si pemimpin, tembus dari belakang ke depan, hingga tubuh orang itu rubuh ke depan. Demikian dengan menunggang kuda, sekarang si imam ini bisa serang lain-lain musuhnya. Ia tidak membutuhkan banyak waktu untuk membikin setiap kuda tanpa penumpangnya, sebaliknya mayat-mayat bergelimpangan di tanah bersalju itu, yang menjadi merah karena berlumuran darah mereka itu….

Seorang diri si imam tertawa. “Puas aku dengan pertempuran ini!” katanya kepada Siauw Thian dan Tiat Sim, yang telah lantas muncul. Hanya hati mereka masih kebat-kebit.

“Totiang, siapakah mereka ini?” tanya Siauw Thian.

“Kau geledah saja tubuh mereka!” sahut si imam.

Siauw Thian menghampiri mayatnya si pemimpin, untuk memeriksa sakunya. Ia dapatkan sepotong surat titah, dari Tio Tayjin si residen Lim-an yang bisa “menggonggong” sebagai anjing itu. Itu juga adalah titah rahasia untuk membekuk pembunuhnya Ong To Kian, untuk mana si residen bekerja sama dengan pihak bangsa Kim, sebab ia telah di desak oleh utusan negara Kim.

Mengetahui itu, orang she Kwee ini menjadi sangat mendongkol. Sedang begitu, Tiat Sim telah perdengarkan seruan seraya tangannya menyekal beberapa potong yauw-pay, yang dia dapatkan dari beberapa mayat. Yauw-pay itu adalah tanda kedudukan atau pangkat beberapa mayat itu, karena huruf-huruf yang kedapatan adalah huruf bahasa Kim, menjadi nyata, di antara orang-orangnya residen Lim¬an itu adalah orang bangsa Kim.

“Celaka betul!” teriak Siauw Thian dalam murkanya. “Tentara Kim main bunuh orang di wilayah kita, sekarang pembesar kita boleh disuruh-suruh dan diperintah olehnya. Negara kita ini menjadi negara apa?!”

Khu Cie Kee sebaliknya tertawa. “Sebenarnya orang suci sebagai aku mestinya berlaku murah hati dan berbelas kasihan,” katanya, “Akan tetapi menyaksikan kebusukan segala pembesar dan orang-¬orang jahat, tak dapat aku memberi ampun pula!”

“Memang, memang mesti begitu!” seru dua saudara angkat she Kwee dan she Yo itu. “Begini barulah puas!”

Kemudian Tiat Sim ambil pacul dan sekop, untuk menggali liang, guna pendam belasan mayat itu. Didalam hal ini ia tidak kuatir ada orang yang melihat kejadian ini, sebab desa itu sedikit penduduknya dan itu waktu lagi turun salju dengan lebatnya, tak ada orang yang sudi berkeliaran di luaran.

Habis itu nyonya rumah sapui sisa darah di atas salju. Nyonya ini rupanya tak dapat menahan bau bacin dari darah, ia rupanya bekerja keras, tiba-tiba saja ia rasai kepalanya pusing, matanya kabur, lalu ia rubuh.

Tiat Sim terkejut, ia tubruk istrinya, untuk diangkat bangun. “Kau kenapa?” tanya suaminya ini beberapa kali.

Pauw-sie berdiam, kedua matanya tertutup rapat, mukanya pucat pias, kaki tangannya dingin seperti es. Tentu saja suaminya itu menjadi kaget dan berkhawatir.

Cie Kee pegang nadi si nyonyi, lantas ia tertawa. “Kionghie! Kionghie!” ia memberi selamat.

“Apa, Totiang?” tanya Tiat Sim heran.

Justru itu Pauw-sie mennjerit, ia sadarkan diri. Mulanya ia heran di kerumuni tiga orang, habis itu ia likat, ia lari ke dalam.

“Istrimu lagi hamil!” kata Cie Kee kemudian.

“Benarkah itu, Totiang?” Tiat Sim tegaskan.

“Tidak salah!” si imam pastikan. “Banyak ilmu yang pinto yakinkan, tiga yang memuaskan hatiku, ialah pertama ilmu tabib, kedua syair, dan ketiga ialah ilmu silat kucing kaki tiga ……”

Dengan kata-kata “kucing tiga kaki” atau tidak ada artinya, imam ini merendahkan diri.

“Totiang begini lihay tetapi totiang menyebutkan kepandaianmu sendiri sebagai kucing kaki tiga, kalau begitu kepandaian kami berdua pastilah kepastiannya si tikus berkaki tunggal!” katanya. Cie Kee tersenyum, begitu pula dengan Tiat Sim.

Kemudian mereka bertiga masuk pula ke dalam untuk lanjuti minum arak. Dua saudara angkat itu sangat kagumi tamu mereka, yang bertempur hebat tetapi tubuhnya tak berkeciprukan darah. Tiat Sim minum dengan gembira sekali. Ia ingat akan hamilnya istrinya.

“Kwee Toako,” katanya kemudian. “Enso pun lagi berisi, maka aku pikir baiklah kita minta totiang yang memberi nama kepada anak-anak kita nanti!”

Siauw Thian berikan kesetujuannya atas saran itu.
Cie Kee pun tidak menampik, ia berpikir sebentar lantas ia bilang: “Anak Kwee Toako baik diberi nama Ceng, yaitu Kwee Ceng, dan anak Yo Toako diberinama Kong, yaitu Yo Kong. Nama-nama ini dapat juga diberikan sekalianpun untuk anak perempuan.”

“Bagus!” seru Siauw Thian. “Aku mengerti, totiang tentu tidak melupai peristiwa Ceng-kong yang memalukan, untuk memperingati ditawannya kedua raja kita.”

“Benar begitu!” sang imam mengakui. Terus ia merogoh sakunya, untuk kasih keluar dua potong pedang pendek, yang ia letakan di atas meja. Pedang itu sama panjang pendeknya dan besar kecilnya, sarungnya dari kulit hijau, gagangnya dari kayu hitam. Kemudian ia ambil pisaunya Tiat Sim, untuk dipakai mengukir gagang kedua pedang pendek itu. Ia mengukir masing-masing dua huruf “Kwee Ceng” dan “Yo Kong”.

Dua-duanya Siauw Thian dan Tiat Sim kagum menyaksikan kepandaiannya si imam mengukir huruf-¬huruf itu, cepat dan indah hurufnya.

“Diwaktu berkelana seperti ini aku tidak punya barang apa-apa, pedang pendek ini saja aku berikan sebagai tanda mata untuk anak-anak kedua toako nanti!” kata si imam. Dua saudara angkat itu terima bingkisan itu, keduanya mengucapkan terima kasih.

Tiat Sim mencoba menghunus pedangnya, ia menjadi kagum. Pedang itu berkilau dan memberikan hawa dingin. Demikian pun pedangnya Siauw Thian. Jadinya kedua pedang itu bukan sembarang pedang, meskipun badan pedang tipis sekali.

Cie Kee pegang pedang yang satu, ia adu itu dengan pisau belatinya, dengan memberikan satu suara, ujungnya pisau belati itu putus menjadi dua potong.

Siauw Thian dan Tiat Sim berdua menjadi terkejut. “Totiang, tak berani kami menerima hadiah ini!” kata mereka. Sebab kedua pedang itu adalah semacam pedang mustika.

Tiang Cun Cinjin tertawa. “Dua pedang ini pinto dapatkan secara kebetulan saja, walaupun benar untuk itu pinto mesti keluarkan sedikit tenaga,” ia berkata. “Untukku, senjata ini tidak ada perlunya, sebaliknya adalah besar faedahnya apabila dibelakang hari anak-anak itu pakai untuk membela negeri, guna melabrak musuh!”

Dua saudara angkat itu masih mencoba menampik hingga mereka membangkitkan amarahnya si imam itu.

“Aku anggap kamu adalah turunan orang-orang kenamaan, maka itu aku hargakan kamu, kenapa sekarang kamu begini tidak bersemangat?” ia menegur.

Baru sekarang Siauw Thian dan Tiat Sim tidak menolak lagi, mereka lantas menghaturkan terima kasih.

Cie Kee berkata pula, dengan sungguh-sungguh: “Kedua pedang ini adalah benda usia beberapa ratus tahun tua, setahu sudah berapa banyak orang terbunuh dan berapa banyak darah telah dihirupnya, maka mengertilah kamu, siapa saja yang mengerti ilmu silat melihat ini lantas matanya menjadi merah! Kamu pun mesti menginsafinya, seorang bocah yang ilmu silatnya tidak sempurna dengan menggunai pedang ini, dia Cuma dapat memperbahayakan dirinya sendiri, dari itu kamu mesti berhati-hati! Kamu ingatlah baik-¬baik!”

Siauw Thian dan Tiat Sim berdua saling mengawasi, hati mereka tidak tentram.
Khu Cie Kee tertawa panjang. “Sepuluh tahun sejak ini, apabila pinto masih ada di dalam dunia ini, mesti pinto datang pula ke mari untuk ajarkan anak-anak itu ilmu silat,” ia berkata, “Setujukah kamu?”

Dua saudara angkat itu menjadi girang sekali. “Terima kasih totiang, terima kasih!” mereka mengucap.

“Sekarang ini bangsa Kim sedang mengincar negara kita, terhadap rakyat dia sangat telengas,” berkata pula si imam, “Karena mestinya tidak lama lagi bangsa itu turun tangan, dari itu pinto harap jiwi jaga diri baik-baik….”

Dia angkat cawannya, untuk tenggat habis isinya, setelah itu dia buka pintu, untuk bertindak keluar. Siauw Thian berdua berniat meminta si imam berdiam lebih lama, siapa tahu tindakan orang cepat sekali, tahu-¬tahu imam itu sudah pergi jauh.

“Begitulah kelakuan orang berilmu, ia datang dan pergi tak ketentuannya,” kata Siauw Thian sambil menghela napas. “Kita dapat bertemu dia tetapi sayang, kita tidak dapat meminta pengajaran daripadanya……..”

Tiat Sim sebaliknya tertawa. “Toako, hebat cara bertempurnya totiang hari ini!” ia bilang. “Dengan menonton saja, sedikitnya terumbar juga hati pepat kita!” ia lantas buat main pedang yang satu, sampai ia lihat ukiran dua huruf Yo Kong. Lantas ia berkata “Toako ada satu pikiran cepat, entah kau setuju atau tidak?”

“Apakah itu, Saudaraku?” Siauw Thian balik bertanya.

“Inilah mengenai anak-anak kita nanti,” Tiat Sim beri keterangan. “Umpama anak kita laki-laki semua, biarlah mereka menjadi saudara satu dengan yang lain, apabila mereka adalah perempuan, biarlah mereka menjadi enci dan adik……….”

“Jikalau mereka adalah laki-laki dan perempuan, biarlah mereka menjadi suami-istri!” Siauw Thian menyela.

Keduanya lantas menjabat tangan, mereka tertawa terbahak. Itulah janji mereka.
Justru pada saat itu Pauw-sie muncul. “Eh, kenapa kamu menjadi girang begini?” tanya si nyonya.

“Kami baru saja membuat janji,” sahut Tiat Sim, yang lantas tuturkan kecocokan mereka berdua.

“Cis!” si nyonya meludah. Tetapi di dalam hati, ia pun girang.

“Sekarang marilah kita saling tukar pedang dahulu,” Tiat Sim berkata pula. “Ini adalah semacam tanda mata. Kalau mereka ada laki-laki atau perempuan, biarlah mereka jadi saudara satu dengan yang lain, kalau……..”

“Kalau begitu, kedua pedang ini akan berkumpul di rumah kakak!” Siauw Thian bilang.

“Mungkin akan berkumpul di rumahmu, Saudara!” kata Pauw-sie.

Lantas mereka tukar kedua pedang itu. Sampai disitu, Siauw Thian pulang dengan membawa pedang itu, untuk memberitahukan kepada istrinya, Lie-sie.

Tiat Sim ada gembira sekali, masih ia minum seorang diri, hingga ia mabuk.
Pauw-sie pimpin suaminya ke kamar tidur, lalu ia benahkan piring mangkok dan cawan, habis mana melihat hari sudah mendekati sore, ia pergi ke belakang untuk kurungi ayamnya. Setibanya ia di pintu belakang, ia menjadi terkejut. Di situ, di atas salju, ia tampak tanda-tanda darah, yang melintas di luar pintu belakang itu.

“Kiranya di sini masih ada tanda darah yang belum dilenyapkan,” pikirnya heran. “Kalau pembesar negeri melihat ini, inilah bahaya….” Maka ia cari sapu, lantas ia menyapu pula.

Tanda darah itu menuju ke belakang rumah dimana ada pepohonan lebat. Di sini ia lihat tanda darah dari orang yang rupanya jalan merayap. Ia jadi bertambah heran, saking curiga, ia ikuti terus tanda darah itu, yang sampai di belakang sebuah kuburan tua. Di situ ia lihat suatu benda hitam yang tergeletak di tanah. Kapan ia sudah datang mendekat, ia kembali jadi terkejut. Itu adalah tubuhnya satu orang dengan pakaian serba hitam, ialah salah satu orang yang tadi mengepung Khu Cie Kee. Rupanya habis terluka, ia tidak terbinasa, ia lari ke belakang rumah.

Selagi berpikir, Pauw-sie ingat untuk panggil suaminya, buat kubur orang itu. Ia belum bertindak tempo ia ingat, adalah berbahaya kalau ia tinggal pergi, sebab mungkin nanti diketemui lain orang yang kebetulan lewat di situ. Ia jadi beranikan diri, ia menghampiri orang itu dengan niat menyeret, guna dipindahkan ke dalam rujuk, setelah mana baru ia baru hendak panggil suaminya. Benar disaat ia cekal tubuh orang untuk ditarik, mendadak tubuh itu bergerak, lau terdengar suara merintihnya. Ia menjadi sangat kaget, ia jadi berdiri bagaikan terpaku, sedang sebenarnya ingin ia lari pulang.

Lewat sesaat, tubuh itu terdiam pula. Dengan beranikan hati, Pauw-sie pakai sesapu, untuk bentur tubuh orang. Maka sekali lagi ia dengar suara rintihan perlahan.

Sekarang Pauw-sie dapat kenyataan orang belum mati dan pundaknya dia itu tertancapkan sebatang anak panah. Batang patah juga berbelepotan darah.

Nyonya ini bernama Sek Yok, nama ini tepat sama sifatnya, yang selalu berhati murah. Nama itu pun berarti “menyayangi yang lemah”. Begitulah diwaktu masih kecil, kalau ia lihat burung gereja atau ayam terluka, ataupun kutu seperti semut, tentu ia mengobatinya, sampai binatang itu sembuh, kalau tidak, ia buatnya berduka. Karena ini, dikamarnya ia rawat banyak kutu. Sifat ini tidak berubah sampai ia menikah, dari itu kebetulan untuknya Yo Tiat Sim, suaminya tidak menentangi padanya, maka juga di belakang rumahnya ia ada pelihara banyak burung dan binatang peliharaan lainnya. Suatu sifat lagi ialah Pauw-sie tidak tega menyembelih binatang piaraannya untuk suaminya dahar ayam, ia sengaja beli di pasar, ayamnya sendiri ia pelihara hingga matinya ayam itu.

Demikian kali ini, menampak orang terluka parah timbul rasa kasihannya, walaupun ia tahu orang bukannya orang baik-baik. Cuma bersangsi sejenak, lantas ia lari pulang, niatnya untuk mengasih bangun suaminya. Tiat Sim lagi tidur nyenyak, mungkin disebabkan mabuk arak, ia tak mendusin kendati istrinya sudah goyang-goyang tubuhnya.

Pauw-sie menjadi sibuk. Ia tahu orang perlu lekas ditolong. Akhirnya dengan terpaksa ia ambil obat-¬obatan suaminya, dengan bawa pisau kecil dan sepotong cita, juga arak yang hangat, ia kembali pada si luka. Biasa merawat binatang, ia jadi juga bisa merawat orang luka. Begitu setelah dibelek sedikit daging di dekat panah nancap, dengan sekeras tenaga, ia cabut anak panah itu. Si luka menjerit, lalu pingsan. Panahnya tercabut, darahnya muncrat mengenai bajunya si nyonya.

Dengan hati memukul sendirinya, Pauw-sie lantas obati luka itu, ia bungkus dengan rapi.

Selang sekian lama, si luka sadar pula, tapi ia sangat lemah, rintihannya pun sangat perlahan.

Pauw-sie tidak kuat angkat tubuh orang, tetapi ia dapat akal, ia pulang untuk ambil sehelai papan pintu, ia letaki itu diatas salju, lalu ia tarik orang ke atas papan itu, lantas ia tarik sekuat-kuatnya. Ia tempatkan si luka di gudang kayu.

Sampai ia telah salin pakaian, hati Pauw-sie masih belum tentram betul. Ia masak daging kuwah semangkok, lalu ia bawa ke belakang. Hari sudah gelap, ia bawa lilin. Sejak di depan pintu gudang, ia sudah dengar suara bernapas perlahan. Jadi orang itu tidak mati. Ia masuk ke dalam, ia berikan daging kuwah itu.

Si luka makan sekira setengah mangkok, lalu ia batuk-batuk keras.

Dengan bantuan api lilin, pauw-sie awasi muka orang. Ia dapatkan satu pemuda yang tampan, hidungnya mancung. Karena tangannya gemetar, tanpa ia merasa ia kena bikin tetesan lilin jatuh ke muka orang itu, yang lantas buka kedua matanya. Kaget ia akan lihat si nyonya cantik, sinar matanya jernih, kulitnya merah dadu.

“Apa yang kau rasakan baikan?” Pauw-sie toh menanya. “Mari makan habis daging kuwah ini…..”

Orang itu ulur tangannya, akan sambuti mangkok, tetapi ia lemah, hampir ia bikin mangkok itu terlepas. Maka terpaksa Pauw-sie bawa mangkok itu kemulutnya.

Habis makan kuwah, nampaknya orang itu segaran. Dengan mata bersinar, ia awasi si nyonya, agaknya ia berterima kasih.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar