Kamis, 28 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 184

Setelah menyaksikan Kim-lun Hoat-ong secara keji membinasakan Tiang-si-kui dan Toa-thau-kui, dalam hati Kwe Siang menjadi berduka. Dia pun insaf tak akan bisa lolos dari cengkeraman elmaut, maka dengan kepala tegak dia menantang:

“Hayolah, bunuhlah aku, tunggu apa lagi?”

“Hendak membunuh kau adalah pekerjaan yang terlalu mudah,” sahut Kim-lun Hoat-ong tertawa. “Tapi hari ini aku sudah membunuh dua orang, sudah cukup, lewat beberapa hari lagi nanti akan kusembelih kau. Sekarang lekas turut aku pergi.”

Kwe Siang pikir percuma saja hendak membangkang, biarlah nanti tunggu kesempatan untuk meloloskan diri. Maka ia pun cempIak ke atas kuda dan jalan perlahan.

Kim-lun Hoat-ong gembira, pikirnya: “Hongsiang dan Hongte (raja dan adik Raja) ingin sekali mencabut jiwa Kwe Ceng, tapi selama ini tidak berdaya. Hari ini aku dapat menawan puteri kesayangannya, dengan sandera ini mau tak mau Kwe Ceng harus tunduk kepala dan turut perintah. Umpama Kwe Ceng tak mau takluk, perlahan kita siksa lahir batin nona ini di bawah benteng di hadapan Kwe Ceng, biar dia menjadi ngenas dan pikirannya kacau, tatkala itu sekali gempur pasti Siang-yang akan bobol.”

Sampai hari malam, mereka mondok di rumah pinggir jalan. Tapi penghuni rumah sudah kabur, rumah itu kosong melompong. Hoat-ong mengeluarkan rangsum kering, lalu diberikan sedikit pada Kwe Siang. Anak dara itu disuruh tidur di dalam kamar, dia sendiri duduk sila bersemedi di ruangan luar.

Kwe Siang gulang-guIing di atas pembaringannya tak dapat pulas. Sampai tengah malam, secara berindap-indap ia mengintip ke ruangan tengah. Ia lihat Hoat-ong masih duduk sila menghadap tembok, sayup-sayup terdengar suara mendengkurnya perlahan, agaknya dia sudah tertidur. Kwe Siang girang bukan main. Perlahan-lahan ia melompat keluar jendela, ia robek kain buntalannya menjadi empat buat membungkus telapak kaki kuda, kemudian binatang itu dituntunnya perlahan. Sesudah agak jauh dan melihat Hoat-ong tidak mengejar barulah ia cemplak kuda lalu dilarikan secepat terbang. Ia pikir apa bila Hoat-ong mengetahui dirinya sudah lari, maka akan mengejarnya ke arah Siang-yang, jadi ke selatan, maka sekarang ia sengaja berlari ke jurusan barat laut.

“Betapa pun dia takkan menemukan aku,” demikian pikirnya.

Begitulah, dia keprak kudanya sekaligus berlari lebih satu jam. Karena binatang itu sudah payah, barulah dia lambatkan setindak demi setindak, sepanjang jalan dia selalu menoleh kalau-kalau Hoat-ong mengejarnya. Sampai hari terang tanah, kira-kira telah beberapa puluh li jauhnya, hati anak dara ini barulah lega. Dia memasuki jalan kecil pegunungan yang menanjak, makin lama semakin tinggi. Sesudah membelok ke sana, tiba-tiba terdengar suara ngorok orang tidur sekeras guntur, seorang terlentang melintang di tengah jalan lagi mendengkur. Ketika Kwe Siang mengawasinya, hampir saja dia merosot jatuh dari kudanya.

Ternyata orang yang melintang di tengah jalan itu berkepala gundul dan berjubah kuning, siapa lagi dia kalau bukan Kim-lun Hoat-ong, sungguh sulit dimengerti bagaimana caranya tahu-tahu orang malah sudah berada di bagian depannya. Lekas-lekas Kwe Siang memutar kudanya terus lari ke bawah bukit. Ketika dia menoleh, Hoat-ong tampak masih enak-enak tidur tak mengejarnya. Sekali ini ia tidak menuju ke jalan tadi, tapi ke arah tenggara, ke tempat yang sepi. Setelah setanakan nasi, tiba-tiba terlihat di atas pohon di depan sana ada seorang menjungkir, kedua kakinya menggantoI pada dahan pohon dan sedang nyengir padanya. Kurangajar! Siapa lagi dia kalau bukan Hoat-ong? Namun Kwe Siang tidak lagi terkejut, sebaliknya ia menjadi marah, damperatnya:

“Hwesio keparat, kau mau mencegat boleh cegat saja, kenapa mesti permainkan nonamu?” Habis berkata ia keprak kudanya ke depan, ketika sudah dekat, mendadak pecutnya disabetkan ke muka orang.

Dia melihat Hoat-ong sama sekali tidak berkelit, maka tepat sekali ujung pecut mengenai mukanya. Pada saat itu juga kuda tunggangan Kwe Siang melewati tubuh Hoat-ong yang tergantung itu. Ketika Kwe Siang menarik pecutnya, mendadak tenaga maha besar melibatnya sehingga tanpa kuasa tubuhnya mencelat ke udara. Ternyata ketika pecut sampai di muka Hoat-ong, secepat kilat Hoat-ong membuka mulut kemudian menggigit ujung pecut. Karena tubuhnya tergantung menjungkir, maka ia terayun tinggi ke atas sehingga Kwe Siang ikut terangkat.

Meski tubuh di atas udara namun Kwe Siang tidak menjadi gugup. Ketika dilihatnya Hoat-ong hendak mengayunnya kembali, cepat ia lepaskan pecutnya. Hoat-ong terkejut. Ia kuatir anak dara itu terbanting luka, maka cepat melompat turun dan menangkapnya sambil berseru:

“Awas!”

Tetapi Kwe Siang juga tidak kurang cerdiknya. Dia sengaja berteriak-teriak: “Tolong!”

Ketika tubuhnya sudah dekat Hoat-ong, mendadak kedua tangannya memukul berbareng, tepat sekali dada Hoat-ong kena digenjotnya. Serangan Kwe Siang ini cepat sekali dan di luar dugaan, sungguh pun ilmu silat Hoat-ong sangat tinggi dan orangnya juga cerdik, namun tidak sanggup berkelit lagi. Kedua kakinya menjadi lemas dan orangnya terkulai ke tanah, kaku tak berkutik.

Tak tersangka oleh Kwe Siang bahwa sekali serang akan berhasil, keruan ia kegirangan. Cepat ia angkat sepotong batu besar hendak dikeprukkan ke atas kepala Hoat-ong yang gundul itu. Tapi selamanya belum pernah ia membunuh orang, meski ia benci orang telah membunuh dua kawannya, namun ketika hendak turun tangan hatinya tidak tega. Ia tertegun sejenak, lalu batu besar itu diletakkannya kembali. Sebagai gantinya segera dia totok ‘Thian-teng-hiat’ di tengkuk Hoat-ong, ‘Peng-hong-hiat’ di punggung, ‘Sin-hong-hiat’ di dada, ‘Jing-ling-hiat’ di lengan serta ‘Hok-hou-hiat’ di atas mata, sekaligus tanpa berhenti ia totok tiga belas tempat jalan darah orang. Anak dara ini masih belum puas, ia angkat empat potong batu yang beratnya hampir beratus kati, batu-batu itu ia tindih di atas badan Hoat-ong.

“Wahai, Hwesio jahat, hari ini nona tak ingin membunuh kau, maka selanjutnya kau harus perbaiki diri dan jangan mencelakai orang lain lagi,” demikian kata Kwe Siang kemudian. Habis itu dia kebut bajunya yang berdebu, lalu cemplak kuda hendak tinggal pergi.

Namun kedua mata Kim-lun Hoat-ong yang berkilau-kilau terus memandanginya, tiba-tiba katanya dengan tertawa:

“Hati nona cilik ternyata berperi-kemanusiaan, Hwesio tua amat suka padamu.”

Kemudian terdengar suara keras beberapa kali, beberapa potong batu tadi membal semua, lalu orangnya melompat bangun. Aneh, entah mengapa ke-13 tempat jalan darah yang ditotok Kwe Siang tadi terlepas semua. Dalam terkejutnya Kwe Siang ternganga tanpa bisa buka suara. Kiranya meski Hoat-ong terkena pukulannya tadi dan dadanya terasa sakit juga, tapi selisih kepandaian mereka terlalu jauh, mana mungkin dua kali pukul Kwe Siang merobohkan Hoat-ong? Apa lagi hendak menotoknya hingga tak berkutik? Ia hanya berpura-pura saja dan hendak melihat apa yang hendak diperbuat anak dara itu.

Ketika melihat Kwe Siang tak jadi mengepruknya dengan batu, diam-diam ia merasa suka akan kebaikan hati anak dara itu. Pintar dan cerdik, jauh lebih baik dari pada murid-murid yang pernah dia terima. Tanpa terasa timbul keinginan Hoat-ong menjadikan Kwe Siang sebagai muridnya, apa lagi mengingat usianya sudah lanjut, sedangkan muridnya yang dahulu seperti Darba, orangnya jujur, bertenaga raksasa, tetapi otaknya kurang tajam untuk bisa memahami inti sari pelajaran Iwekang yang tinggi, ada pun Hotu orangnya tidak berbudi, dalam keadaan berbahaya tidak segan-segan selamatkan diri sendiri dan malah menjerumuskan guru.

Karena itu kadang-kadang Hoat-ong menjadi sedih, karena kuatir ilmu kepandaiannya akan terpendam begitu saja. Kini melihat Kwe Siang berbakat bagus, boleh dibilang susah dicari. Meski puteri musuh, tapi usianya masih muda. tidaklah sukar untuk mengubahnya, asal diajarkan ilmu kepandaian hebat kepadanya, lama-lama dengan sendirinya anak dara itu akan melupakan segala persoalan yang Ialu.

Orang-orang Bu-lim atau kalangan persilatan pada umumnya sangat memandang berat soal murid dan keturunan. Sekali Hoat-ong timbul pikiran begitu, untuk sementara urusan menggempur Siang-yang, memaksa Kwe Ceng menyerah dan lain-lain dikesampingkan semua.

Melihat biji mata orang mengerling tajam, tapi sama sekali tidak buka suara, segera Kwe Siang melompat turun dari kudanya lalu berkata:

“Kepandaian Hwesio tua memang hebat, sayangnya tidak mau berbuat baik.”

“Kalau kau kagum pada kepandaianku, asal kau angkat guru padaku, aku ajarkan seluruh kepandaianku ini kepadamu,” ujar Hoat-ong tertawa.

“Cis!” semprot Kwe Siang. “Buat apa aku mempelajari kepandaian Hwesio? Toh aku tidak ingin menjadi Nikoh?”

“Apakah belajar kepandaianku lantas harus menjadi Nikoh?” sahut Hoat-ong tertawa, “Kau menotok jalan darahku, aku dapat meIepaskan diri. Kau menindih badanku dengan batu-batu besar, batu-batu itu bisa terpental sendirinya. Kau lari menunggang kuda, tahu-tahu aku sudah tidur di depanmu, apakah semua kepandaian ini tidak menarik?”

Kwe Siang pikir kepandaian-kepandaian itu memang menarik juga, akan tetapi Hwesio tua ini adalah orang jahat mana boleh mengangkat guru? Pula dia sendiri buru-buru hendak mencari Yo Ko, tiada tempo buat mengobrol, maka katanya sambil geleng kepala:

“Lebih tinggi lagi kepandaianmu juga tak mungkin kuangkat sebagai guru.”

“Dari mana kau tahu aku orang jahat?” tanya Hoat-ong.

“Sekali hantam kau membinasakan Tiang-jiu-kui dan Toa-thau-kui, apakah itu tidak jahat?” sahut Kwe Siang, “Mereka tidak ada dendam dan tidak bermusuhan dengan kau, kenapa kau turun tangan begitu keji?”

“Itu justru karena aku hendak mencari kuda untukmu, mereka sendiri yang menyerangku lebih dulu, tadi kau sendiri menjadi saksi,” kata Hoat-ong. “Coba bila kepandaianku sedikit rendah, mungkin aku mati dihantam mereka. Seorang Hwesio harus welas asih, jika tidak terpaksa, tidak akan membunuh orang.”

Akan tetapi Kwe Siang menjengek tidak percaya, katanya: “Dan bagaimana kehendakmu sebenarnya? Kalau kau orang baik-baik, kenapa aku tidak boleh pergi?”

“Bilakah aku melarang kau pergi?” sahut Hoat-ong. “Kau menunggang kuda ke timur, tak kularang, ke barat, aku juga tidak mencegah, aku hanya tidur di tengah jalan, apakah aku menghalangi kau?”

“Jika begitu, kau lepaskan aku pergi mencari Yo Ko, Yo-toako, dan jangan mengikuti aku,” kata Kwe Siang.

“Itu tak boleh,” ujar Hoat-ong sambil geleng kepala. “Kau harus mengangkat guru padaku, belajar silat 20 tahun dengan aku, habis itu, kemana kau pergi, siapa ingin kau cari, boleh sesukamu.”

“Kau Hwesio ini kenapa begini tak tahu aturan? Aku tidak suka mengangkat guru padamu, kenapa kau paksa?” damperat Kwe Siang.

“Kau anak dara cilik tak kenal adat, guru pandai seperti aku, kemana bisa kau cari di seluruh jagat?” sahut Hoat-ong pula. “Kalau orang lain, sekali pun menyembah tiga kali padaku dan mohon dengan sangat agar aku menerimanya sebagai murid, belum tentu aku mau. Tapi kini kau diberi kesempatan bagus, malah berlagak jual mahal, sungguh aneh!”

“Tak tahu malu, hmm, tidak tahu malu,” tiba-tiba Kwe Siang mengolok-olok. “Guru macam apa kau ini? Paling banyak kau bisa menangkan aku seorang gadis cilik, apanya yang harus diherankan? Tapi apa kau bisa menangkan ayah-ibuku? Bisa menangkan Gwakong-ku Oey Yok-su? Jangankan mereka, seumpama Toakoko Yo Ko saja kau takkan sanggup melawannya!”

“Siapa bilang? Siapa bilang aku takkan sanggup melawan Yo Ko si anak ingusan?” tanya Hoat-ong cepat tanpa pikir.

“Semua ksatria, setiap pahlawan di kolong langit ini semuanya bilang begitu,” sahut Kwe Siang. “Tempo hari waktu ada pertemuan besar para pahlawan di Siang-yang, semuanya juga bilang bahwa tiga orang Kim-lun Hoat-ong tak akan mampu menangkan seorang Sin-tiau-tayhiap Yo Ko yang berlengan tunggal.”

Sudah tentu apa yang dikatakannya hanya untuk membikin marah Kim-lun Hoat-ong saja, tapi yang omong tidak sengaja, yang mendengar justru kena. Sebab belasan tahun yang lalu memang beberapa kali Kim-lun Hoat-ong benar-benar dikalahkan oleh Yo Ko, ia sangka kejadian ini benar-benar selalu dibuat buah tutur semua ksatria diseluruh jagat. Keruan tidak tahan api amarahnya, bentaknya segera:

“Apa bila Yo Ko si anak busuk itu berada di sini, biar dia mencicipi lihaynya aku punya ‘Liong-jio-pan-yok-kang’ (ilmu sakti tenaga naga dan gajah), setelah dia tahu rasa barulah akan ketahuan sebenarnya dia Yo Ko lebih hebat atau aku Kim-lun Hoat-ong yang lebih lihay.”

Pikiran Kwe Siang jadi tergerak melihat orang betul-betul penasaran, maka katanya pula:

“Ah, sudah terang kau tahu Toakoko-ku sekarang tidak berada di sini, kau meniup harga diri setinggi langit. Coba, jika kau bernyali besar, kenapa kau tak pergi mencarinya untuk bertanding? Kau punya ilmu sakti tenaga babi dan anjing...!”

“llmu sakti naga dan gajah!” demikian Hoat-ong memotong membetulkan.

“Kalau kau menangkan dia barulah naga dan gajah, tetapi kalau kau tidak tahan sekali gebuk, paling banyak hanya jadi babi dan anjing saja!” ujar Kwe Siang, “Jika ilmu silatmu bisa menangkan dia, tidak perlu kau paksa aku, dengan sendirinya aku menyembah kau sebagai guru. Cuma aku yakin, mungkin kau tak berani mencari dia, maka percuma soal ini dibicarakan. Menurut aku, boleh jadi melihat bayangannya saja kau sudah ketakutan lantas lari ter-birit-birit.”

Hoat-ong adalah seorang cerdik, sudah tentu dia pun tahu akan kata-kata pancingan Kwe Siang. Tapi selama hidupnya dia sangat tinggi menilai dan lantaran pernah dikalahkan Yo Ko, maka sekarang ilmu sakti bertenaga naga dan gajah itu telah dilatihnya hingga tingkat ke-11. Memang dia sudah mencari Yo Ko buat menuntut balas atas kekalahannya dahulu. Maka kini mendengar kata-kata Kwe Siang, tak tahan ia menyahut keras-keras:

“Tadinya aku bilang Yo Ko berada di mana, itu hanya untuk membohongi kau saja, tapi sayangnya aku justru tidak tahu anak itu ngumpet di mana. Bila kau tahu, ajaklah, kalau aku tidak meluruk ke tempatnya dan menghajarnya hingga dia me-nyembah minta ampun!”

“Ha-ha-ha...!” tiba-tiba Kwe Siang ter-kekeh sambil tangannya bertepuk tangan: “Hwesio gundul membual anggap diri tiada bandingan, sekali melihat Yo Ko datang, tancap gas lari tunggang Ianggang!”

Hoat-ong menjengeknya satu kali, lalu membisu tanpa berkata.

“Ya, meski aku tidak tahu sekarang Yo Ko berada di mana, tetapi lewat sebulan lagi pasti dia akan datang ke suatu tempat, hal itu aku malah tahu pasti,” kata Kwe Siang kemudian.

“Datang ke mana?” tanya Hoat-ong.

“Percuma juga kukatakan padamu! Kau lak berani pergi menemuinya. jangan-jangan nanti malah bikin kau tak enak makan tak nyenyak tidur,” kala Kwe Siang.

Hoat-ong menjadi gemas kena di-kili-kili. “Katakan, coba katakan!” teriaknya sengit.

“Ia akan datang ke Coat-ceng kok, di atas jurang Toan-jong-khe, ia akan bertemu kembali dengan isterinya, Siao-liong-li,” kata Kwe Siang. “Tapi Hwesio besar, lebih baik jangan kau mengantar kematian ke sana, seorang Yo Ko saja bikin hati terkejut dan daging kedutan, apa lagi ditambah seorang Siao-liong-li.”

Memang selama belasan tahun ini Kim-lun Hoat-ong giat berlatih ‘ilmu sakti bertenaga naga dan gajah’ justru maksudnya ingin digunakan untuk melawan ‘Giok-li-soh-sim-kiam-hoat’ yang dimainkan Yo Ko dan Siao-liong-li ber-sama. Kalau dia tidak yakin akan satu dapat mengalahkan dua, tak akan dia datang ke daerah Tionggoan lagi. Kini kena di-kili-kili Kwe Siang, dia menjadi semakin murka, dari murka dia pun maIah tertawa.

“Ya, marilah sekarang juga kita pergi ke Coat-ceng-kok, kalau aku dapat mengalahkan Yo Ko dan Siao-liong-li, lalu bagaimana nanti?” tanyanya segera.

“Kalau ilmu silatmu benar-benar begitu tinggi, hm, masa aku tidak cepat mengangkat guru padamu? Bukankah itu sukar dicari?” sahut Kwe Siang. “Cuma sayang, Coat-ceng-kok itu tempatnya jauh dan sepi, tidak mudah mencarinya.”

“Kebetulan aku pernah ke sana, tak perlu kau kuatir,” ujar Hoat-ong tertawa. “Tetapi kini waktunya masih cukup lama, mari kau ikut aku pergi ke perkemahan pasukan Mongol dulu, setelah selesaikan beberapa urusan, kita pergi ke Coat-ceng-kok.”

Mendengar orang mau pergi ke Coat-ceog-kok untuk bertanding dengan Yo Ko, dalam hati Kwe Siang menjadi sangat lega, pikirnya diam-diam: “Aku kuatir kalau kau tidak mau pergi ke sana, tetapi kini kau mau pergi sendiri, ha, tahu rasa kau nanti! Kau Hwesio jahat ini tampaknya garang, nanti kalau sudah bertemu Toakoko, mungkin kau akan mengkeret seperti celurut.”

Maka ia pun pergilah ikut Hoat-ong ke tengah pasukan Mongol. Saat itu yang dipikir oleh Hoat-ong hanya ingin menjadikan Kwe Siang sebagai murid ahli-warisnya. Dia yakin asal bisa menaklukkan hati anak dara ini, kelak tentu akan menjadi muridnya yang terkemuka, Maka di sepanjang jalan dia sangat ramah tamah pada si nona. Harus diketahui, dalam kalangan Bu-lim guru pandai susah dicari, namun murid berbakat juga sukar didapatkan. Murid harus pilih guru, guru juga ingin memilih murid.

Demikianlah di sepanjang jalan Hoat-ong selalu mengajak Kwe Siang bicara dan bergurau. Dia semakin merasakan anak dara ini sangat pintar, otaknya tajam, diam-diam dia sangat girang. Kadang-kadang bila Kwe Siang berduka oleh kematian Toa-thau-kui dan Tiang-si-kui dan mencela kekejian Hoat-ong, selalu Hoat-ong anggap sepi saja tanpa gusar, malah dia anggap anak dara ini seorang berperasaan, tidak seperti Hotu yang rendah budi.

Pasukan Mongol adalah perkemahan pasukan bagian selatan yang dipimpin Kubilai, adik raja Mongol, sebaliknya tempat yang dicari Yo Ko adalah pasukan utara yang dipimpin Monko, si raja sendiri. Soalnya karena percakapan kedua kurir Mongol yang didengar Kwa Tin-ok itu kurang lengkap hingga Yo Ko buang waktu percuma, padahal waktu Yo Ko berangkat ke Coat-ceng-kok, tak lama kemudian Hoat-ong dan Kwe Siang juga berangkat seperti sudah direncanakan.

Jarak mereka tiada ratusan li, tapi jalan Yo Ko lebih cepat, lagi pula tak sabar karena ingin lekas bertemu dengan Siao-liong-li, maka dia tiba lebih dulu beberapa hari dari pada Hoat-ong dan Kwe Siang.

**** 184 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar